Ragam Tradisi Ramadhan Yang Hanya Dimiliki Indonesia

Rizaly Posumah
Penulis Rizaly Posumah



MANADO, ZONAUTARA.com Dalam iman Islam, bulan Ramadhan adalah bulan suci. Diyakini, di bulan ini pahala berlipat-lipat didapat mereka yang gemar beramal sholeh sebulan penuh. Doa dan harapan pun dipercaya mudah dikabulkan. Untuk itu, setiap muslim di dunia, selalu berharap keberkahan di bulan Ramadhan.

Namun soal tradisi, Ramadhan di Indonesia miliki tradisi khas. Keragaman tradisi ini, menjadi pokok yang membedakan Ramadhan di Indonesia dengan Ramadhan di negara-negara dengan mayoritas muslim lainnya.

Di Jawa misalnya, orang-orang akan melakukan nyadran, atau berziarah ke makam-makam leluhur pada seminggu terakhir menjelang Ramadhan. Juga ada tradisi mandi-mandi di sumber zaman.

Di Gorontalo, ada tradisi Tumbilotohe. Yakni menyalakan lampu minyak, atau obor di depan rumah masing-masing. Tradisi ini, dikenal juga di Sulawesi Utara, terutama di daerah Bolaang Mongondow (Bolmong) Raya. Masyarakat Bolmong menyebutnya “Monuntul” atau kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia kira-kira artinya “Memasang Obor.” Malam pemasangan lampu atau obor ini biasanya dilakukan tiga hari terakhir bulan ramadhan.

Di Pekanbaru, ada ritual yang bernama Petang Megang, di mana para penduduk beramai-ramai mandi bersama di Sungai Siak. Mereka tak hanya sekadar mandi di sungai, pada saat yang sama, anak-anak juga berlomba berebut telur dan bebek yang sengaja dilepas untuk dikejar. Bisa dibayangkan ya, betapa ramainya.

Di Aceh, masyarakat biasa mengumpulkan uang untuk membeli kerbau atau sapi atau kambing, kemudian menyembelih dan memakannya bersama. Tradisi ini disebut dengan meugang. Masyarakat di Serambi Makkah tersebut biasa memakan daging sembelihan menjelang hari penting, baik Ramadhan maupun hari raya. Meski tak diwajibkan, tak afdal rasanya jika tak melakukan meugang. Bahkan, bagi yang tak mampu, warga lain akan saling membantu agar semua orang dapat menikmati daging.

Di Padang, ada tradsi balimau. Maksudnya mandi, lalu keramas dengan menggunakan jeruk nipis (limau). Dalam tradisi ini masyarakat menyambut Ramadhan dengan beramai-ramai turun ke sungai, danau, atau pantai, kemudian mandi bersama. Mereka bermaksud membersihkan diri sebelum memasuki bulan suci.

Tradisi mandi bersama juga dilakukan di Lampung dengan nama ngelop. Warga beramai-ramai ke laut pada sore hari menjelang masuknya Ramadhan. Sebagian warga Lampung lain juga melakukan tradisi belangiran. Tradisi yang juga bermaksud menyucikan diri tersebut menggunakan kembang tujuh rupa dan air yang dianggap suci dari Gunung Betung. Mereka pun kemudian membawa kembang tersebut ke sungai dan mandi bersama.

Di Cirebon, ada tradisi drugdag yang rutin dilakukan Kraton Kasepuhan untuk menyambut Ramadhan. Keturunan keraton akan memukul beduk di masjid Keraton Cirebon sebagai pemberi kabar bagi masyarakat, bahwa Ramadhan telah tiba. Tradisi tersebut dipercaya telah dilakukan sejak era Wali Songo pertama kali mendakwhkan Islam di Cirebon.

Di Kudus, terdapat tradisi dandangan. Masyarakat melakukan kirab budaya keliling kota dan berakhir di Menara Kudus dalam rangka menyambut datangnya bulan suci. Konon, tradisi ini biasa dilakukan Sunan Kudus acap kali Ramadhan tiba. Tradisi pun diturunkan hingga kini oleh masyarakat Kota Kretek tersebut.

Selain daerah-daerah tersebut di atas, masih banyak lagi tradisi unik lain dari daerah-daerah lain di Indonesia. Tradisi-tradisi ini, semakin memerteguh identitas budaya orang Indonesia. Sebagaimana kata tokoh bangsa Abdurahman Wahid atau Gus Dur, “kita bukan orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia, kita orang Indonesia yang beragama Islam”.

Ucapan Gus Dur ini, maknanya kurang lebih sama dengan pandangan salah satu pendiri bangsa, Soekarno, “kalau jadi orang Islam, jadilah orang Islam Indonesia bukan Islam Arab.” Kata-kata Soekarno ini tidak bermakna sebagai kebencian pada satu bangsa tertentu.

Kedua tokoh bangsa tersebut, hanya hendak menegaskan, bahwa sebagai satu bangsa kita memiliki identitas. Identitas itu berupa tradisi, bahasa dan adat istiadat, serta budaya yang berbeda dengan bangsa lain. Dan perbedaan perihal identitas kebangsaan itu, adalah sunatullah atau ketetapan yang maha kuasa.

Yang harus disyukuri dan diterima sebagai bagian dari rahmatan lil alamin. Beryukurlah kita yang tinggal di negara yang kaya tradisi ini. Sangat tak etis kalau kita justru membenci budaya sendiri, identitas kita sendiri.

Editor : Christo Senduk



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
3 Comments
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com