MINSEL, ZONAUTARA.com – Di bagian Timur Desa Malola, Kecamatan Kumelembuai, Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), tepatnya di Jaga I, terdapat sebuah lokasi mata air yang dikenal warga dengan sebutan Air Terung.
Kata ‘Terung’ berasal dari bahasa daerah Minahasa, etnis Tountemboan, yang berarti ‘Gubuk’. Dengan demikian Air Terung secara harafiah berarti ‘Air Gubuk’.
Hingga saat ini, warga Desa Malola Raya meyakini, bahwa di lokasi tersebutlah awal mula terbentuknya Desa Malola.
Sinyo Lendo (57), warga setempat, saat ditemui Zona Utara di kediamannya Selasa (23/10/2018), menjelaskan, bahwa sesuai budaya tutur yang diwariskan para leluhur, akhirnya dia pun dapat mengetahui peran mata air tersebut, sebagai titik awal terbentuknya Desa Malola.
Menurut dia, kejadiannya berawal pada tahun 1857, lewat kehadiran tujuh warga Desa Wuwuk, Distrik Kawangkoan yang mencari lahan pertanian yang baru.
“Ketujuh orang tersebut, masing-masing bernama Pangkey, Suoth, Rompas, Sinaulan, Rompis, Piring dan Lintong,” kata Lendo.
Saat itu, kata dia, ketujuh orang tersebut mulanya tiba di sebuah sungai yang bernama Tewalen, sebelah Timur Desa Kumelembuai. Kemudian mereka menyusuri sungai tersebut, mengarah ke Selatan, dan tibalah mereka di suatu tempat yang memiliki dua mata air besar, yang masing-masing berjarak sekitar 30.meter.
Di mana, sekitar tahun 1980-an, sempat dijadikan sebagai lokasi pemandian warga Malola. Bagian selatan adalah tempat pemandian perempuan dan sebelah utara tempat mandi laki laki.
“Mereka pun istirahat, sambil membangun terung atau gubuk, untuk dijadikan tempat tinggal sementara, karena peristiwa mendirikan gubuk itulah akhirnya lokasi tersebut dikenal sebagai Air Terung,” papar Lendo.
Dia menjelaskan, sesuai dengan tuturan para tua-tua kampung, bahwa ketujuh orang tersebut memutuskan untuk membangun gubuk, karena perjalanan mereka terhenti dengan adanya tebing berdinding batu yang terjal dan memiliki ketinggian sekitar 50 meter, yang terhampar di hadapan mereka.
“Untuk memudahkan mereka melewati tebing terjal tersebut, cara Ma’alolang pun mereka gunakan,” ungkapnya.
Ma’alolang pun berasal dari bahasa etnis Tountemboan, yang berarti membuat tangga.
Dengan cara inilah mereka akhirnya bisa melewati tebing terjal tersebut dan menemukan suatu hamparan luas tanah rata, yang kemudian dirombak dan dijadikan lahan pertanian.
Mereka pun mulai bercocok tanam. Saat panen pertama tiba, sebagian dari mereka kembali ke Desa Wuwuk distrik Kawangkoan untuk menjemput keluarga mereka masing-masing.
Sejak saat itu, kehidupan sosial sebagai sebuah desa dimulai. Kata Malola pun diputuskan sebagai nama desa.
“Hal ini berangkat dari usaha mereka (Ma’alolang/membuat tangga), hingga berhasil menemukan daerah ini,” kata Lendo.
Akhirnya, pada tahun 1861, Desa Malola resmi berdiri dan diakui oleh pemerintah. Ini ditandai dengan diangkatnya Junus Pangkey sebagai Kepala Pemerintahan Desa Malola yang pertama.
Sementara itu, mata air ‘Air Terung’ sebagai titik awal tempat berdiamnya ketujuh orang perintis kampung, hingga saat ini tetap dengan setia mengeluarkan airnya yang sejuk dan jernih.
Untuk mencapainya pun tak terlalu jauh dan sulit. Untuk menuju ke lokasi tersebut, para pengunjung harus menuju ke bagian Timur perkampungan Malola yang terletak di Jaga I. Kemudian, menyusuri jalan setapak menurun yang berkelok-kelok.
Setelah menempuh jarak sekitar 150 meter, sambil melewati sejumlah rumpun pohon bambu, tibalah di tempat yang ditumbuhi beberapa pohon yang berukuran besar. Di balik rindangnya pepohonan tersebut, terletaklah sebuah sungai kecil yang dialiri air yang berasal dari mata air ‘Air Terung’.
Mata air ini menyembul keluar dari balik bebatuan dan sejumlah pohon besar di sekitarnya. Supaya airnya bisa dipergunakan untuk kepentingan membersihkan diri serta kebutuhan lainnya, maka warga menggunakan beberapa batang bamboo untuk mengalirkan airnya, dalam bentuk pancuran.
“Warga dan pengunjung dilarang keras berbuat keributan dan diharapkan turut menjaga kebersihan,” kata Lendo.
Sehingga, tidak berlebihan jika saat berada di lokasi tersebut, suasana hening sangat terasa, seakan menunjukkan, bahwa lokasi tersebut diselimuti suasana ketenangan dan kedamaian yang sangat tinggi.
“Cerminan ketenangan serta kedamaian inilah yang senantiasa dipertahankan serta dijalankan oleh seluruh warga Malola dalam kehidupan sehari-hari,” pungkasnya.
Penulis : Gary Kaligis
Editor : Christo Senduk