Sekolah dan kampus masih jadi area paling rawan terjadi kekerasan seksual

Ronny Adolof Buol
Penulis Ronny Adolof Buol
Ilustrasi (Pexels.com)



ZONAUTARA.com – Sepanjang bulan November yang baru saja lewat, ada tiga kasus pelecehan seksual yang menyita perhatian publik secara luas.

Kasus pertama adalah yang menimpah Agni, mahasiswi UGM yang dilecehkan oleh teman satu timnya saat sedang menjalani KKN. Ini kasus sudah cukup lamu dan mencuat kembali ke publik. Agni yang merasa dirugikan malah tidak mendapat dukungan dari kampusnya.

Kedua adalah ketidakadilan yang diterima oleh Baiq Nuril, korban kekerasan seksual verbal oleh mantan atasannya. Dia justru dihukum bersalah oleh Mahkamah Agung karena dianggap melanggar UU ITE.

Dan yang paling anyar, adalah seorang guru SD di Sukabumi yang punya hobi mencium bibir murid perempuan dengan alasan memberi reward. Guru ini belum diberi hukuman dan masih berstatus tersangka.

Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap perempuan (Komnas Perempuan), mencatat angka kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.

Pada tahun 2017 ada terdapat 348.446 orang yang melapor mengalami kasus pelecehan seksual. Untuk kasus perkosaan ada sebanyak 619 kasus dan persetubuhan atau eksploitasi seksual terdapat 555 kasus.

Data dari Komnas Perempuan juga mencatat ada sebanyak 1.528 kasus kekerasan seksual dilakukan di ranah privat dan dilakukan oleh pacar sendiri. Pelecehan ayah kandung ada sebanyak 425 orang dan yang dilakukan oleh paman sendiri sebanyak 322 kasus.

Di ranah publik angka kekerasan seksual pada 2017 mencapai 2.670 yang terdiri dari 911 kasus pencabulan, 708 kasus pelecehan seksual dan 669 kasus perkosaan.

Data ini menunjukkan kenaikan yang cukup tajam dibanding catatan setahun sebelumnya yang hanya 291.150 kasus.

Walau kasus yang dicatat oleh Komnas Perempuan cukup tinggi, namun banyak kalangan yang meyakini masih banyak korban yang memilih bungkam daripada melapor apa yang dialaminya.

Koordinator pelayanan hukum LBH APIK, Uliarta Pangaribuan, mengatakan rata-rata korban merasa tertekan bila harus menguak identitasnya sebagai korban pelecehan seksual.

Ada beberapa faktor yang melekat. Salah satunya adalah ketakutan dilaporkan balik oleh pelaku dengan dalih pencemaran nama baik. Selain itu, tidak mudah menunjukkan bukti dan saksi dalam kasus pelecehan seksual. Karena biasanya pelecehan seksual dilakukan di lokasi sepi dan tanpa CCTV.

“Misalkan ketika ada korban datang melaporkan kalau dia mengalami kekerasan seksual atau pun pelecehan seksual nah polisi akan menanyakan siapa saksinya, buktinya apa, sementara kita ketahui untuk mendapatkan saksi dan alat bukti itu masih sulit,” ujar Uliarta seperti dikutip dari kumparan.com, Selasa (27/11).

Menurut data pengaduan di Lembaga APIK, paling banyak pelecehan seksual terjadi di kampus dan sekolah. Selain itu area publik juga rawan kasus pelecehan seksual.

“Kayak di UGM misalnya, itu pencitraannya tinggi banget kan sekolah-sekolah itu enggak mau mendorong atau membantu korban untuk proses-proses seperti ini, apa lagi dilakukan oleh pihak sekolah. Biasanya kecenderungannya melindungi, menutupi, terkait nama baik sekolah,” imbuh Uli.

Editor: Ronny Adolof Buol



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
Follow:
Pemulung informasi dan penyuka fotografi
4 Comments
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com