Mengenal Bannada di Talaud: Desa tertua, cerita mistis dan bermulanya Porodisa

Ronny Adolof Buol
Penulis Ronny Adolof Buol



TALAUD, ZONAUTARA.com – Jika ada yang menanyakan ingin belajar ilmu kebal dan kebatinan lainnya di Talaud, warga akan menyarankan pergi ke Desa Bannada. Sebuah desa yang berada di bagian Utara pulau Karakelang, Kabupaten Kepulauan Talaud.

Desa Bannada yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Gemeh ini, memang terhitung sulit untuk diakses.

Berbagai kondisi jalan yang harus dilewati untuk sampai ke Desa Bannada dari Melonguane, ibukota Talaud. Selepas dari Beo, tantangan perjalanannya harus melewati pasir pantai berkilo-kilometer, menyeberang dua sungai dengan rakit, jalanan berbatu, dan berlubang dengan variasi mendaki dan menurun, melewati semak belukar dan kebun warga. Jika hujan datang, jalanan lumpur menanti.

Banyak orang menganggap warga Bannada masih mempertahankan ilmu mistis untuk hal-hal gaib, semisal berkomunikasi dengan orang lain melalui media supranatural. Sehingga jika ingin bertandang ke sana, pejalan selalu diperingati untuk berhati-hati.

Namun, saat kami menyambangi desa ini beberapa waktu lalu, penerimaan yang sangat ramah ditunjukkan warga setempat.

“Dalam beberapa hal, kami memang masih mempertahankan aturan adat. Di antaranya, kami sangat melarang perbuatan tercela semisal mencuri. Jika ketahuan, ada sanksi adat yang akan diterapkan,” ujar Julianus Yoro, petinggi adat Bannada yang juga diyakini sebagai turunan Raja Porodisa ke-11.

Ada hukum adat di desa ini yang wajib dipatuhi warga desa, maupun pengunjung yang datang. Yakni tak boleh melakukan hal-hal yang melanggar norma-norma. Misalnya mabuk-mabukan, berbuat onar dan tindakan tak baik lainnya.

“Hukum adat itu harus dipenuhi. Ini membuat warga desa terus berbuat baik, sehingga kami nyaris tak perlu polisi. Ini yang terus kami jaga agar karakter warga desa terjaga,” ujar Julianus.

Bannada, dipercaya sebagai desa tertua di Talaud tempat bermula Kerajaan Porodisa atau Kerajaan Talaud.

Kerajaan Porodisa berawal pada abad ke-10 SM, saat hadirnya manusia pertama yang mendiami Talaud yang diyakini bermukim di Bannada.

Dia adalah seorang wanita cantik yang tinggal di gunung yang jaraknya sekitar lima kilometer dari desa. Wanita ini penyendiri. Satu ketika dia mendengar suara yang menyebutkan tanah yang didiaminya akan diberikan kepadanya dan keturunannya. Dan ia juga akan diberi pendamping hidup. Tetapi ia harus menghadap mata angin Selatan.

Ia kemudian bertemu ikan mas yang tiba-tiba menjelma menjadi seorang pria tangguh. Dari situlah kerajaan Porodisa diyakini dimulai.

Jejak Kerajaan Porodisa itu kini masih bisa disaksikan di Bannada. Komplek pekuburan Raja Porodisa di tepi pantai menjadi salah satu bukti bahwa Bannada dulunya menjadi wilayah penting Porodisa.

Begitupula dengan beberapa peninggalan kerajaan yang hingga kini masih tersimpan rapi. Benda-benda itu antara lain, berbagai peralatan jamuan makan raja, peralatan perhiasan raja, porselen, benda-benda penyembahan, dan beberapa barang lainnya.

“Kami selalu dinasehati untuk terus menjaga benda-benda warisan ini dan dilarang untuk menyerahkan kepada orang lain,” jelas Julianus yang diserahi tugas menyimpan benda-benda pusaka tersebut.

Tugas Julianus dan para tetua adat di Bannada untuk menjaga barang-barang terasa sedikit berat. Pasalnya, tidak ada tempat khusus seperti meseum untuk mencegah dari kerusakan.

Alhasil, warisan kerajaan itu hanya disimpan di rumah yang sekaligus dijadikan sebagai Kantor Desa.

Banyak kolektor yang mengetahui keberadaan benda-benda warisan leluhur itu, mendatangi Bannada seraya membujuk para tetua untuk melepasnya. Tetapi komitmen dari para tetua adat sudah bulat, bahwa warisan dari Payung Utara, -nama lain dari Kerajaan Porodisa- harus tetap berada di Bannada.

Keseharian Bannada adalah desa yang sangat sederhana, hanya beberapa rumah yang punya pasokan listrik. Walau memang sebagian dari masyarakatnya masih memercayai hal-hal mistik, namun kegiatan keagamaan di desa ini berjalan dengan sangat baik.

zonautara.com
Komplek kubur Raja-raja Porodisa. (Foto: zonautara.com/Ronny Adolof Buol)

Begitu juga dengan kegiatan sosial kemasyarakatannya. Masyarakat Bannada sangat ramah, terlebih kepada orang baru. Mereka akan menyambutnya dengan senyuman hangat serta candaan dan kehangatan. Konon, mereka yang akan ke Bannada, dengan niat jahat takkan menemukan lokasi desa ini.

Dalam menjalankan tugasnya, Julianus didampingi oleh William Sondengan yang merupakan Ratumbanua atau pembantu raja yang merupakan penguasa wilayah Desa Bannada. Serta Zakharia Potoboda yang merupakan kelapa suku Tal’au.

Kerajaan Porodisa mencakup empat wilayah desa yakni Desa Malat, Bannada, Apan, dan Lahu. Masing-masing desa itu dipimpin oleh Ratumbanua. Sementara sukunya terbagi empat yakni suku Tal’au, Laetu, Yoro dan Woe yang masing-masing dipimpin oleh kepala suku dengan Bannada sebagai pusat kerajaan.

Julianus mengatakan, kearifan lokal yang masih terjaga saat ini merupakan pesan dari nenek moyang mereka. Para petua sering mengadakan pertemuan kerajaan yang dihadiri empat suku. Semua warga kerajaan Porodisa diwajibkan hadir dalam pertemuan tersebut.

Di situ pula, anak-anak mendapat edukasi tentang budayanya. Menurut Julianus, pertemuan tersebut juga sebagai program warga adat untuk membantu meringankan program pemerintah. Program yang masuk, harus melalui adat dulu, baru dilanjutkan ke masyarakat. Warga sangat menghormati adat istiadat mereka.

Artikel ini ditayangkan kembali setelah penulis melakukan perjalanan beberapa tahun lalu. Artikel dengan isi yang mirip pernah tayang juga di Kompas.com, dengan penulis yang sama.



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
Follow:
Pemulung informasi dan penyuka fotografi
4 Comments
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com