Ini kali pertama saya ke Bali. Pulau dewata yang tak perlu didetilkan lebih. Tersohor di seluruh dunia, dan menjadi impian saban orang untuk mendatanginya. Saya juga. Maka, ketika kesempatan itu datang, saya bersemangat mencumbu Bali. Tengara saya adalah Sanur. Saya tiba saat matahari lagi sedang terik. Usai meletakkan tas bawaan di kamar hotel, saya bersegera menyusuri jalanan.
Pemandangan pantai saya abaikan, toh Inna Sindhu Beach Hotel tempat saya menginap tepat di depan pantai yang indah itu. Saya tertarik menyusuri jalanan Sanur.
Bali adalah magnet. Ekosistem pariwisata di sini sudah tercipta dengan begitu baik. Maka berseliweran dengan beragam suku bangsa adalah lumrah di Bali, termasuk siang itu. Saya berpapasan dengan beragam orang dengan bahasa yang berbeda-beda.
Sekitar 200 meter dari hotel, berbelok di pertigaan, mata saya tertarik dengan jejeran lukisan di kanvas di sebuah studio. Saya menghampirinya. Dan dua pria menyapa saya dengan ramah. Sedemikian ramah, hingga tak sadar beberapa saat kemudian, kami mengakrabi suasana dalam cangkir kopi.
Erwin Bastomi bertemu dengan Haryanto Albar dalam sebuah kelas pameran lukisan. Keduanya terbiasa mendaraskan imajinasi dalam seni lukis. Tak sekedar hobi, namun bagi kedua lelaki yang menjamu saya siang itu, melukis adalah bagian dari hidup.
Keduanya mengelola Argent Gallery yang terletak di ruas jalan Danau Toba, nomor 14, Sanur, Denpasar Selatan, Bali. Di studio yang tak begitu luas ini, Erwin dan Haryanto menuangkan imajinasi mereka di kanvas lukis.
Cat acrilic bagi dua lelaki ini adalah nafas kehidupan. Dengan cat dan kanvas, rupa imajinasi dalam pikiran mereka menjelma menjadi karya yang menganggumkan. Erwin beraliran realis, sementara Haryanto beraliran impresionis.
Perbedaan selera diantara mereka berdua adalah kekuatan. Dengan itu mereka melayani klien mereka hingga ke luar negeri. “Lukisan wajah kami sudah diekspor hingga ke Australia, Belanda dan Jerman,” cerita Erwin.
Begitupula dengan lukisan-lukisan impresionis Haryanto. Banyak yang sudah menjadi koleksi penyuka lukisan mancanegara.
Soal harga mereka tak mematok tinggi. Sebuah lukisan wajah atau lukisan keluarga yang diselesaikan sekitar 2 hari berharga paling tinggi Rp 1 juta.
“Untuk orang lokal bisa nego, sekitar lima ratus ribu rupiah,” jelas Erwin.
Di studio ini mereka tak sekedar melukis dan menjual hasil lukisan, namun Erwin dan Haryanto juga membuka kelas belajar melukis bagi siswa SMP dan SMA.
Kopi di cangkir perlahan menyusut, seiring obrolan kami yang akrab dan diselinggi canda tawa. Saya penasaran bagaimana kedua orang ini tidak terjebak kebosanan karena saban hari melukis.
“Kami hanya perlu jalan-jalan saja jika sedang jenuh. Bali sangat indah, tidak pernah akan selesai menikmatinya. Menikmati makanan kesukaan juga dapat mengusir kejenuhan,” kata Erwin sambil tertawa.
Tak terasa, saya sudah menghabiskan waktu beberapa jam di studio ini. Kekaguman saya menyeruak bagi sosok Erwin dan Haryanto yang telah menekuni seni lukis sejak kanak-kanak.
“Nanti kalau adinda sudah menikah, saya akan lukis adinda bersama pasangan,” Erwin memberikan tawaran.
Wah, saya jadi terharu. Lampu jalanan mulai menyala, pertanda malam akan menjemput. Bali menyambut saya dengan ramah. Dua sosok itu menginspirasi. Kapan lagi saya balik kesana ya?
Editor: Ronny Adolof Buol
Makasih Novi…atas tulisannya..
Judulnya bagus lho..