bar-merah

KMSAKS Sulut desak DPR segera bahas RUU PKS

MANADO, ZONAUTARA.com – Koalisi masyarakat sipil anti kekerasan seksual (KMSAKS) Sulawesi Utara mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera membahas rancangan undang-undang tentang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS).

Koalisi yang terbentuk dari setidaknya 14 lembaga itu mendesak Panja RUU PKS Komisi VIII untuk menyepakati judul dan sistematika rancangan undang-undang yang terus ditunda pembahasannya itu.

Koalisi juga mendesak Panja untuk mempertahankan enam elemen kunci RUU PKS yaitu sembilan tindak pidana kekerasan seksual, pencegahan, hukum acara, ketentuan pidana dan pemantauan.

Pembahasan RUU PKS juga diharapkan membuka ruang dan pelibatan masyarakat serta segera membentuk tim perumus. Untuk mengamplifikasi desakannya, KMSAKS akan menggelar dua aksi di Manado.

“Aksi pertama digelar hari ini Kamis (19/9/2019) di Zero Point dan pada Senin (24/9) koalisi akan kembali menggelar aksi di kantor DPRD Sulut,” tulis Humas KMSAKS sebagaimana rilis yang diterima Zonautara.com, Kamis (19/9).

Sebagaimana diketahui, DPR telah mengabaikan pembahasan RUU PKS selama tiga tahun sejak DPR memasukan RUU itu dalam Prolegnas prioritas pada 2016, dan menjadi inisiatif DPR pada April 2017.

Dari catatan koalisi selama tiga tahun penundaan pembahasan RUU PKS itu setidaknya telah terjadi 16.943 kasus kekerasan seksual di Indonesia.

Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama BPS Tahun 2016, menemukan sebanyak 33,4 % perempuan Indonesia yang berusia 15  –  64 tahun mengalami kekerasan dan kekerasan seksual adalah kasus yang tertinggi yaitu 24,2%. 

Bahkan penelitian yang dilakukan Forum Pengada Layanan di tahun 2015–2016 di 20 Provinsi menemukan bahwa hanya 10-15 % pelaku kekerasan seksual yang dihukum pengadilan.

“Padahal para korban kekerasan seksual yang terus berjatuhan ini membutuhkan akses pemulihan dari negara, penjeraan bagi pelaku, dan hukum acara penanganan kasus yang lebih berpihak pada kebutuhan korban,” kata Nurhasanah.

Hanya karena  penyebaran  rangkaian  fitnah  terhadap  RUU P-KS  dari  para pihak  yang tidak mengerti pentingnya RUU ini bagi korban, Panja  RUU P-KS  cenderung  mengabaikan perintah konstitusi dimana negara harus hadir untuk melindungi setiap  warga negara, termasuk dari kekerasan seksual. 

Padahal  RUU P-KS ini menjadi sangat penting sekali, tidak hanya untuk melindungi hak-hak korban serta menghukum para pelakunya, tetapi juga untuk menegakkan harkat derajat kemanusiaan semua orang, mewujudkan keamanan, dan pembangunan yang berkeadilan  bagi Indonesia.  Sebagaimana pasal 28I ayat (4)  UUD 1945,  perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara.

Sudah banyak hasil penelitian  objektif  dan kesaksian yang diberikan para korban, bahwa tingginya resiko kekerasan seksual telah menghambat, membatasi serta merampas kebebasan dan hak-hak fundamental warga negara. 

“Tidak main-main, para  korban terhambat  untuk mendapatkan pekerjaan,  pendidikan, serta hak-hak lain dalam rangka keberkelanjutan hidup  yang layak.  Sebagai warga negara,  korban  juga terhambat  untuk berpartisipasi dalam pembangunan  sehingga  tidak dapat menjadi  ambil  bagian  sebagai sumber daya manusia yang berkualitas sebagaimana cita-cita Indonesia,” jelas Nurhasanah.

Editor: Ronny Adolof Buol



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article

MANADO, ZONAUTARA.com – Koalisi masyarakat sipil anti kekerasan seksual (KMSAKS) Sulawesi Utara mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera membahas rancangan undang-undang tentang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS).

Koalisi yang terbentuk dari setidaknya 14 lembaga itu mendesak Panja RUU PKS Komisi VIII untuk menyepakati judul dan sistematika rancangan undang-undang yang terus ditunda pembahasannya itu.

Koalisi juga mendesak Panja untuk mempertahankan enam elemen kunci RUU PKS yaitu sembilan tindak pidana kekerasan seksual, pencegahan, hukum acara, ketentuan pidana dan pemantauan.

Pembahasan RUU PKS juga diharapkan membuka ruang dan pelibatan masyarakat serta segera membentuk tim perumus. Untuk mengamplifikasi desakannya, KMSAKS akan menggelar dua aksi di Manado.

“Aksi pertama digelar hari ini Kamis (19/9/2019) di Zero Point dan pada Senin (24/9) koalisi akan kembali menggelar aksi di kantor DPRD Sulut,” tulis Humas KMSAKS sebagaimana rilis yang diterima Zonautara.com, Kamis (19/9).

Sebagaimana diketahui, DPR telah mengabaikan pembahasan RUU PKS selama tiga tahun sejak DPR memasukan RUU itu dalam Prolegnas prioritas pada 2016, dan menjadi inisiatif DPR pada April 2017.

Dari catatan koalisi selama tiga tahun penundaan pembahasan RUU PKS itu setidaknya telah terjadi 16.943 kasus kekerasan seksual di Indonesia.

Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama BPS Tahun 2016, menemukan sebanyak 33,4 % perempuan Indonesia yang berusia 15  –  64 tahun mengalami kekerasan dan kekerasan seksual adalah kasus yang tertinggi yaitu 24,2%. 

Bahkan penelitian yang dilakukan Forum Pengada Layanan di tahun 2015–2016 di 20 Provinsi menemukan bahwa hanya 10-15 % pelaku kekerasan seksual yang dihukum pengadilan.

“Padahal para korban kekerasan seksual yang terus berjatuhan ini membutuhkan akses pemulihan dari negara, penjeraan bagi pelaku, dan hukum acara penanganan kasus yang lebih berpihak pada kebutuhan korban,” kata Nurhasanah.

Hanya karena  penyebaran  rangkaian  fitnah  terhadap  RUU P-KS  dari  para pihak  yang tidak mengerti pentingnya RUU ini bagi korban, Panja  RUU P-KS  cenderung  mengabaikan perintah konstitusi dimana negara harus hadir untuk melindungi setiap  warga negara, termasuk dari kekerasan seksual. 

Padahal  RUU P-KS ini menjadi sangat penting sekali, tidak hanya untuk melindungi hak-hak korban serta menghukum para pelakunya, tetapi juga untuk menegakkan harkat derajat kemanusiaan semua orang, mewujudkan keamanan, dan pembangunan yang berkeadilan  bagi Indonesia.  Sebagaimana pasal 28I ayat (4)  UUD 1945,  perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara.

Sudah banyak hasil penelitian  objektif  dan kesaksian yang diberikan para korban, bahwa tingginya resiko kekerasan seksual telah menghambat, membatasi serta merampas kebebasan dan hak-hak fundamental warga negara. 

“Tidak main-main, para  korban terhambat  untuk mendapatkan pekerjaan,  pendidikan, serta hak-hak lain dalam rangka keberkelanjutan hidup  yang layak.  Sebagai warga negara,  korban  juga terhambat  untuk berpartisipasi dalam pembangunan  sehingga  tidak dapat menjadi  ambil  bagian  sebagai sumber daya manusia yang berkualitas sebagaimana cita-cita Indonesia,” jelas Nurhasanah.

Editor: Ronny Adolof Buol



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com