Absurditas: refleksi kematian atas covid-19

Penulis Tamu
Penulis Penulis Tamu
Situasi di Italia (Foto: Getty)



zonautara.com

Refleksi dari Pater Amandus J. Balubun, MSC

Lonceng kematian setiap menit berdentang di sudut kota dunia. Laporan kematian 24 jam terakhir terus dipublikasikan. Angkanya fantastic. Ribuan jiwa melayang. Ribuan jiwa lain tengah berada pada serious critical.

Mereka tinggal menunggu 24 jam berikutnya masuk dalam daftar kematian baru.

Media barat menyebut situasi ini sebagai yang terburuk setelah perang dunia ke II. Kemajuan teknologi kesehatan bahkan yang paling modern sekalipun tak dapat membendung angka kematian yang terus melonjak.

Para dokter dan perawat mungkin menjadi saksi detik detik sakratul maut terbanyak dalam sejarah medik.

Orang orang yang bulan lalu masih bersama-sama merayakan indahnya hidup, kini ini harus berpisah secara tragis. Tak ada yang menemani. Mereka seakan pergi menguburkan dirinya sendiri.

Jutaan orang kehilangan pekerjaan. Jutaan orang harus self quarantine dari dunia luar. Interaksi antar manusia dibatasi. Pada titik ini bagi mereka yang sejauh ini merasa fine saja mungkin masih bisa tertawa dan tersenyum.

Tapi bagaimana dengan para korban? Orang tua atau saudara. Opa dan oma. Teman dan kolega. Mereka tentu berada dalam rasa duka yang mendalam. Kehilangan orang yang dikasihi adalah hujaman terberat dalam hidup.

Membaca pada kolom komentar di media barat. Ada saja reaksi gelisah dengan pertanyaan fundamental. Apa arti hidup? Gaung tanya itu bahkan jauh lebih retoris filosofis, jika Tuhan itu ada mengapa membiarkan kematian dan penderitaan seperti ini.

Albert Camus, filsuf eksistensial pada eranya gelisah dengan fakta penderitaan manusia yang seakan tak pernah usai. Ia menghentak, apa arti hidup manusia? Dalam mitos Sisyphus, ia berhasrat agar batu yang didorongnya sampai di puncak gunung namun kenyataannya batu itu kembali menggelinding ke bawah.

Ia berusaha lagi tapi batu itu tak pernah sampai ke puncak. Itulah hidup yang absurd.

Namun demikian absurditas di sini bermakna tidak sekadar sesuatu yang repetitif tanpa makna. Camus menunjuk persis perjuangan manusia yang terus menerus mencari sesuatu yang lebih di tengah tengah penderitaan, kejahatan bahkan kematian.

Memang bahwa Camus tidak pernah menemukan kepuasan atas pertanyaan tentang makna hidup tapi sekurang-kurangnya hasrat terhadapnya terus bergema.

Kaum religius puritan melihat kematian sebagai bagian dari cobaan bahkan hukuman Allah. Dan karenanya Allah menjadi penawar bagi penderitaan ini. Konsep yang bagi Camus hanyalah pelarian dari kenyataan hidup.

Friedrich Nietzsche bahkan menyebut ‘kepercayaan akan Allah adalah pelarian yang paling mudah untuk memecahkan persoalan, tetapi tidak tepat mengena inti permasalahan, maka juga tidak efektif sebagai jalan keluar.

Pada titik ini saya juga tidak berdiri pada titik ilahi tapi lebih sependapat dengan sementara orang bahwa bumi butuh waktu untuk tidur sesaat.

Polusi udara selama ratusan tahun telah melukai lapisan dan kulit kulit bumi. Bumi sementara menyembuhkan dirinya sendiri.

Madre Terra atau Ibu bumi kata Paus Francis dalam “Laudato Si” kiranya sementara menangisi anak-anaknya yang mati secara tragis. Namun kiranya ini kematian yang memulihkan sang Ibu, Madre Terra.

Kata kata terakhir di atas sekali lagi mungkin kehilangan makna di depan kematian orang orang tercinta. Namun itulah temuan terindah dari realitas kematian hari hari ini.

Memang tanpa makna tapi Sisyphus pun tetap disebut sebagai pahlawan absurd karena terus berjuang mencari makna hidup.

Editor: Ronny Adolof Buol



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
Leave a comment
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com