Kumanem ko?

Kekayaan kultural Minahasa ini seyogyanya menjadi sokongan kultural khas kepada program makan bergizi gratis bagi siswa-siswa saat bersekolah.

Kontributor
Penulis:
Editor: Redaktur
Salah satu kebiasaan orang Minahasa kala berkumpul bersama, adalah menyantap makanan di atas daun pisang. (Foto: Zonautara.com/Ronny A. Buol)
Oleh: Pitres C. Sombowadile

SAAT berkunjung ke handai taulan di Amurang kita akan ditanyai kerabat di sana: “kumanem ko?” (artinya: sudah makan kau?). Pertanyaan itu dapat juga berbentuk: “ayom kumano ko”. Pertanyaan secara spontan lazimnya dilontarkan oleh tuan rumah ke para tamunya di awal perjumpaan atau anjangsana.

Kebiasaan itu bukan saja terjadi di lingkungan komunitas para penutur tountemboan (bahasa terbesar di Minahasa), tapi merupakan realitas umum semua kelompok sub-bangsa Minahasa. Pertanyaan itu, bahkan juga diucapkan dalam bahasa Manado: ”so makang ngana/ngoni?”

Ini satu petikan fragmen saja dari realitas fakta sosial budaya yang masih hidup. Inilah salah satu bentuk dari kebiasaan hidup atau tradisi. Kebiasaan itu terpelihara selama ratusan hingga ribuan tahun.

Tindak untuk menanyakan makan itu merupakan satu leluri atau tindak budaya yang bermula dari dalam diri, dalam benak dan nurani seorang pemangku kebudayaan tertentu.

Budaya atau kebudayaan memang lazimnya sekadar dipahami orang pada level permukaannya sebagai benda-benda, peralatan, atau instrumen hasil buatan manusia terkait dengan aktivitas kebudayaan tertentu. Kebudayaan bendawi ini disebut artefak.

Di samping itu, ada aspek lain berupa sekumpulan aturan atau kode tata relasi sosial dan panduan berperilaku yang rela akan dimanuti para insan pemangku kebudayaan. Ini yang disebut sebagai sosiofak kebudayaan atau sebut saja sebagai sisi adati dari kebudayaan.

Masih ada sisi lain kebudayaan yang tidak terlihat, namun dapat dikuak eksistensinya, yaitu: sisi mentifak kebudayaan.

Sisi ketiga ini terkait dengan kepercayaan, nilai dan alam pikir tertentu yang menjadi ruh, semangat serta rasio penggerak dari terwujudnya kebudayaan. Ini adalah alam pikir, alam nurani dan alam jiwa yang menguasai dan menuntun persepsi pemangku kebudayaan. Inilah mentifak, yaitu sisi mental dari kebudayaan. Sisi ini menyediakan alasan, sistem penalaran, reason d’etre dan rationale yang darinya lahir artefak maupun sosiofak.

Sampai di sini, menjadi relevan bagi kita untuk mempertanyakan: “lantas, apa sebenarnya sisi mentifak dari fragmen kebiasaan “kumanem ko” di atas itu?” Tulisan ini mencoba menganalisisnya, sebagai upaya awal semata.

Sudah pasti, di balik pertanyaan “kumanem ko” itu terselip di latar belakangnya satu nilai budaya yang menginspirasi, menyemangati bahkan yang merasuk sehingga muncullah fakta kepedulian makan nan khas Minahasa itu.

Yang pertama, pantas disimpulkan bahwa nun di relung alam pikir orang Minahasa terdapat satu kepedulian yang tulen akan situasi atau status makan dari orang lain. Kepedulian ini sangat sentral dalam jati diri kultural orang Minahasa. Bahkan kepedulian memberi makan itu menjadi norma moral utamanya.

Mereka dirasuki nilai budaya yang mendorong mereka sedemikian untuk sigap memastikan bahwa sanak saudara, sobat karib atau kenalannya berada dalam kondisi sudah makan, cukup makan alias tidak lapar. Lewat tindak peduli makan dan memberi makan itu, orang Minahasa memperoleh satu prestise sosio kultural tertentu.

Pantas disimak bahwa segala pernak-pernik kebudayaan Minahasa yang direkam oleh Pdt. Nicolaas Graafland pada abad ke-19, di antaranya, memaparkan sekian banyak kegiatan foso, yaitu ritual atau upacara tradisional. Dominan di antaranya dilakukan dengan sesi penyajian makan-minum. Apalagi untuk foso yang mengundang orang-orang se-wanua dan se-kawanua untuk hadir.

Penyajian makanan dalam upacara merupakan ungkapan syukur yang diberikan kepada khalik, yang ilahi dan kepada para leluhur. Sedang pada tahap berikutnya, penyajian makanan diberikan pada para sanak keluarga dan para karib yang hadir. Salah satu dari foso itu adalah upacara rumages um wanua, yaitu upacara ungkapan syukur besar sesudah panen.

Di Minahasa modern masa kini foso ini telah bertransformasi atau bermalih rupa menjadi tradisi pengucapan (syukur). Tradisi makan besar secara bergantian di antara sekian wilayah ini mungkin punya andil signifikan pada terciptanya pangsa pengeluaran konsumsi makanan Sulawesi Utara yang lebih tinggi dibanding dengan konsumsi non makanan. Tercatat rata-rata pengeluaran per kapita sebulan makanan dan bukan makanan di Provinsi Sulawesi Utara tahun 2020-2023 naik dari Rp. 1.211.839 pada tahun 2020 menjadi Rp. 1.315.176 di tahun 2023.

Dalam tradisi pengucapan itu, penduduk di satu wanua merasa terpanggil dan merasa berkewajiban untuk secara sukarela menyajikan makanan bagi orang-orang yang datang berkunjung. Para tamu itu akan makan, hingga kenyang bahkan sebagian di antaranya makan berlebih alias tahede-hede. Itupun masih ditambah lagi dengan pemberian bingkisan makanan untuk dibawa pulang. Ini bonusnya berupa budaya babungkus alias budaya tas plastik.

Budaya makan bersama di Minahasa sekurangnya terungkap pada satu eskavasi (galian) arkeologis. Regu penggalian arkeologis ilmuwan kondang Peter Bellwood mengungkap temuan mereka ihwal tinggalan sisa-sisa makanan dan peralatan rumah tangga/dapur. Sisa makanan yang ditemukan berupa sisa kerang (renga) di lokasi Passo, wanua di antara Remboken dan Kakas. Kebudayaan makan bersama di Passo itu terhitung terjadi sekitar 7000-8000 yang lalu.

Jelaslah, leluri memberi makan punya latar kultural, moral dan filosofi tertentu. Kekayaan kultural Minahasa ini seyogyanya menjadi sokongan kultural khas kepada program penyediaan makan bergizi gratis bagi siswa-siswa saat bersekolah. Secara kebetulan program makan bergizi gratis itu digagas oleh presiden yang punya jejak genealogis Minahasa-nya.

Artinya, program Presiden Prabowo itu sangat bersesuaian dengan leluri budaya, moral sosial dan pandangan filosofis Minahasa.

Nah, alkisah pasca anjangsana ke Amurang, Tompaso, Pinabetengan dan Langowan, penulis pergi ke wanua Tumaluntung di dekat Airmadidi. Di situ dengan penuh sukacita ditawari ajakan khidmat sejenis berbahasa Tonsea: “meimo kuman” (mari makan). **

1 Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com