Bagian 8 dari catatan perjalanan ke Kalimantan ini dapat dibaca di sini.
Benturan keras helm saya ke helm yang digunakan Kak Ronny telah membangunkan tidur. Saya benar-benar tidak bisa menahan ngantuk. “Bubur Banjar so naek ka mata?”, tanya Kak Ronny. Saya diam saja, sebab saya tahu seperti itulah guyonan saat ngantuk menyerang setiap usai makan.
Lintasan kali ini cukup menguji fokus. Jalanan lurus, sepi terkesan kurang menantang adrenalin, tapi justru itulah tantangan yang sebenarnya. Kondisi seperti ini biasa membuat pengemudi terbuai dan gampang lalai. Apalagi jika sudah mengantuk, risikonya lebih besar. Daripada mengambil risiko, kami memutuskan untuk singgah tidur sejenak di sebuah pondok kosong di tepi jalan di Kabupaten Pulang Pisau.
Belum juga terlelap, seorang laki-laki paruh baya datang. Ternyata lelaki itu adalah pemilik pondok. Kami izin untuk istirahat sebentar, dia tak keberatan. Sebagai satu dari sedikit pondok di lintasan yang panjang, sepertinya pondok ini memang biasa dijadikan tempat singgah oleh pengendara.
Soalnya, di pondok itu banyak para-para yang dibuat seperti dipan. Setelah beberapa menit, lelaki itu keluar dari dalam pondok lalu pamit meninggalkan kami. Dia mau ke kebun, anak dan istrinya ada di kota.
Mie Instan yang bikin tertawa
Di situasi begini, kasur empuk ala hotel bintang lima atau di tanah, sama saja. Saya hanya butuh menutup mata untuk bisa menuntaskan tidur. Terbukti, tidur di pondok pinggir jalan ini bisa saya catat dan ingat sebagai tidur paling berkualitas yang pernah saya lakukan. Saking berkualitasnya, saya sampai mendengkur. Kabar baiknya, yang mendengkur bukan hanya saya, melainkan kami semua. Kami semua tidur sangat pulas, walau Bios dan Kak Ronny harus bergantian jaga untuk bisa tidur.
Setelah menghabiskan waktu kurang lebih sejam tidur, kami bergegas melanjutkan perjalanan. Kami harus segera berada di lokasi dengan jaringan internet yang stabil. Kak Ronny harus ikut meeting virtual. Akhirnya setelah setengah balapan, kami sampai di sebuah warung kopi. Di warung ini, jaringan internet lumayan bagus.
Kak Ronny memulai meeting. Kami bertiga memanfaatkan waktu dengan rebahan, ada yang memesan minuman dingin, dan kopi. Saya sendiri memesan mie goreng instan. Setelah lama menunggu, akhirnya seorang anak kecil membawakan mie instan pesanan saya.
Yang membuat saya terkejut, cara penyajiannya yang unik. Mie direndam dengan air panas langsung di dengan bungkusnya dan ditahan dengan sendok. Sementara penyedap rasanya sudah dikeluarkan. Katanya, tunggu sampai mie matang baru keluarkan airnya. Saya terheran-heran sambil menahan tawa.
Dengan penuh keheranan saya mencoba memakan mie yang sudah membengkak karena rendaman air panas tadi. Rasanya, ya sama seperti rasa mie goreng, mie goreng bengkak ha ha ha.
Saya menghabiskan mie yang saya pesan. Bagi saya, pantang membuang makanan dalam perjalan seperti ini, bahkan jika pun tidak sedang dalam perjalanan. Sejak kecil saya sudah diajarkan ibu untuk tidak berlaku mubazir.
Ingatan rumah kembali muncul. Ibu yang selalu ketat saat memasak mie instan. Selalu dua kali mengganti air rebusan, tidak pernah hanya merendam mie di air panas. Saya rindu ibu, rindu rumah.
Lewat jembatan layang Tumbang Nusa sepanjang 10 Km
Dari jauh Kak Ronny sepertinya sudah selesai meeting, pembicaraannya terdengar tidak formal lagi. Setelah meneguk semua minuman bersodanya, Kak Ronny mengajak kami untuk segera melanjutkan perjalanan agar bisa tiba di pemberhentian selanjutnya sebelum larut malam.
Kendaraan terus dipacu, sudah cukup lama kami di perjalanan, tapi kami benar-benar mulai merasa sangat asing, apalagi saat perlahan memasuki sebuah jembatan. Saya terbawa suasana, sesuatu yang begitu sulit digambarkan. Adalah sebuah jembatan yang tentu tidak seperti jembatan-jembatan raksasa yang kami lintasi sebelumnya. Warna orens menyala membela lahan gambut, dipenuhi varietas tumbuhan yang berbeda-beda. Saya takjub, seperti merasa berada di luar negeri, Selandia Baru barangkali.
Kejutan tak berhenti sampai di situ saja, yang membuat kami bersorak setengah aneh adalah jembatannya tidak habis-habis, sangat panjang. Jembatan ini bernama jembatan Layang Tumbang Nusa. Kabarnya, jembatan ini merupakan jembatan terpanjang di Indonesia. Tak tangung-tanggung, panjangnya 10 kilometer.
Saking terkejutnya, kami lupa untuk mengabadikannya. Tapi tidak apa, saat ikut Kak Ronny berburu foto, saya sering dengar Kak Ronny bilang: terkadang tidak semua momen harus ditangkap lensa, adakala kita cukup menikmati.
Tak terasa, tepat pukul 14.54 WIB setelah melewati jembatan menakjubkan, akhirnya kami putuskan untuk kembali singgah di warung makan yang berjejer setelah lepas dari jembatan. Kami memilih rumah makan Nissa. Kami memesan 3 porsi lalapan. Saya tidak makan, mie bengkak yang saya makan sepertinya benar-benar bengkak di perut saya. Untuk menjaga stamina saya memesan segelas teh dan membeli timun untuk dicemil.
Bertemu burung Rangkong di Palangka Raya
Usai makan dan berkomunikasi dengan orang rumah lewat telepon, kami terus melanjutkan perjalanan. Berbeda dengan di Banjarmasin, sejak perjalanan kami memasuki Kalimantan Tengah, belum sekalipun kami bertemu hujan di jalan. Semesta sedang berbaik hati.
Perlahan tapi pasti kami terus berpindah, pinggang yang mulai keram sangat wajar jika melihat langit yang mulai jingga. Sudah satu jam lebih sejak dari jembatan kami belum istirahat. Sore kali ini sepertinya akan kami habiskan di suatu tempat yang lebih ramai. Kami telah memasuki sebuah kota.
Tak lama kemudian, sebuah tulisan sangat besar “Palangka Raya Kota Cantik” menjemput kami di sekitar Masjid Kubah Kecubung, Bundaran Burung persimpangan jalan RTA Milono, jalan Adois Samad dan jalan Soekarno yang merupakan jalan trans penghubung Provinsi Kalimantan Selatan dengan Provinsi Kalimantan Tengah.
Kami langsung mengabadikan momen, berswafoto dan memperhatikan sekeliling. Palangka telah mencuri hati saya. Tentu masuk dalam daftar beberapa kota cantik selama perjalanan ke Kalimantan versi saya. Tak berlebihan jika pemerintah kotanya menjadikan frasa kota cantik sebagai jargon. Tertata rapi, terlepas dari keindahan burung Rangkong yang menjadi ikonnya, saya menyukai suasana kotanya.
Seperti biasa, kami tidak boleh berlama-lama. Harus berpindah agar bisa sampai di tujuan selanjutnya. Apalagi hari sudah sore, kami meninggalkan Palangka. Belum jauh, kami tiba-tiba harus menepi di depan sebuah toko. Hujan lebat turun. Ini adalah hujan pertama kami di Kalimantan Tengah.
Menginap di Losmen Citra Katingan
Setelah hujan mereda, kami kembali melanjutkan perjalanan. Waktu tidak bisa kami hentikan, perjalanan membawa kami pada malam hari. Ini kali pertama, selama perjalanan ke Kalimanatan kami bertemu malam di jalan. Kami sudah memasuki Kasongan, ibu kota Kabupaten Katingan. Hanya saja kami masih kesulitan mencari penginapan.
Bagi kami yang baru, tidak banyak informasi soal penginapan yang kami ketahui. Kecuali dari jasa internet. Kami harus mengitari kota ini. Setelah lumayan lama, akhirnya kami singgah di sebuah losmen, sayang lokasi parkirnya tidak representatif untuk kami yang membawa banyak barang.
Hari telah benar-benar gelap dan kami harus kembali mencari. Syukurlah, kami menemukan sebuah losmen yang cukup bagus, besar, bersih, dan parkirannya luas. Dari papan namanya, saya baru tahu setelah cek in, jika nama losmennya bernama losmen Citra.
Saat masuk kamar, saya langsung merasa seperti princes. Wallpapernya begitu menarik, bunga-bunga warna pink, serasi dengan kasur dan warna sprei yang bergambar salah satu karakter kartun Disney. Saya yakin, jika yang menginap adalah Aina (keponakan saya berusia 9 tahun), pasti dia akan sangat senang. Soalnya gambar di sprei adalah karakter favoritnya, Rapunzel.
Saat tiba, kami tidak dimintakan kartu identitas seperti biasanya. Cukup membayar sewa saja. Kami maklum. Petugas losmen sengaja mempermudah tamu. Katanya, saat pandemi losmen ini sangat jarang mendapat tamu lagi.
Makan di rumah makan Padang, Kasongan
Setelah menaruh semua barang di kamar losmen, kami langsung mencari makan. Biar saat istirahat perut kami dalam kondisi terisi. Kami kembali berputar-putar, dan memutuskan mampir di rumah makan Padang di Kasongan.
Aroma rendang begitu menggoda, bersanding sambal ijo yang disajikan bersama nasi hangat, daun singkong juga teh hangat. Sudah lama sekali rasanya saya tidak makan dengan begitu bersemangat seperti ini. Tanpa berlama-lama, kami langsung menikmati hidangan.
Saat asyik menikmati makanan, Uda yang jualan datang dan memberanikan diri bertanya. Logat bicara dan nomor kendaraan di motor kami sepertinya asing bagi si Uda. Uda yang terkejut mendengar kisah perjalanan kami, mulai membanjiri kami dengan banyak pertanyaan.
Piring di atas meja semuanya telah kosong, hanya tinggal teh yang kami seruput perlahan – lahan sampai benar-benar habis. Sebenarnya, kami masih ingin berbagi cerita dengan si Uda, hanya saja kami harus segera istirahat, perjalanan kami masih panjang. Meski masih menyisahkan rasa penasaran, Uda melepas kami dari rumah makannya.
Kami menutup malam di Katingan, berharap bisa tidur pulas di losmen Citra. Sesuai kesepakatan, besoknya pukul 10.00 pagi kami akan melanjutkan lagi perjalanan. Meski tak semewah hotel berbintang, tapi keramahan petugas losmennya membuat kami merasa nyaman, terutama saat meminta tolong membuka keran air di kamar mandi. Mereka memang menggunakan pompa air, harus ada teknik tersendiri. 🙂
Istirahat Jum’at di Kotawaringin Timur
Berbeda dari biasanya, kali ini perjalanan kami dihiasi dengan udara sejuk sampai akhirnya perlahan berubah menjadi terik. Panas matahari tak membuat perjalanan kami terhalang. Dengan yakin kami berpindah meninggalkan Katingan.
Saat memasuki pemukiman, banyak suara sholawat yang diputar di masjid-masjid. Sepertinya penduduk yang kami lewati banyak yang beragama muslim. Semakin lama, semakin jelas sholawat dan pengajian terdengar, ternyata hari ini adalah hari Jumat.
Kak Ronny memutuskan untuk singgah berisitirahat, menunggu ibadah sholat Jumat sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Di sebuah warung di Kabupaten Kotawaringin Timur kami singgah. Tak hanya kami, sebuah mobil berisikan dua orang pemuda juga berhenti. Sepertinya mereka bekerja memasang spanduk di titik-titik tertentu.
Dari pemilik warung kami tahu bahwa tidak jauh lagi kami akan segera memasuki kota Sampit. Sebenarnya tujuan pemberhentian kami bukanlah Sampit, namun tawaran singgah dari seorang kawan istimewa, yang sudah lama menetap di sana tak bisa kami tolak. Sepertinya akan semalam lagi kami istirahat di sana.
Setelah orang-orang selesai melakukan ibadah sholat Jumat, kami akhirnya melanjutkan perjalanan. Motor kembali dipacu, tempat-tempat baru kembali dilintasi. Seperti perjalanan kami di hari lainnya, pinggang mulai merasa tidak nyaman. Tapi kami akan selalu menikmati setiap perpindahan ini.
Makan rambutan di pondok nenas dekat Sampit
Entahlah, selain bahwa ini adalah hari Jumat, tak ada apa-apa lagi yang saya ingat. Capek dan kantuk kembali menyerang. Saya mengira saya ada di Lobong (Bolmong, daerah asal saya), deratan nenas begitu banyak menghiasi sepanjang jalan. Suasana yang tidak asing bagi saya. Mata saya setengah tertutup, saya tidak yakin jika sebelumnya, kami melewati sebuah tugu nenas.
Hari sudah makin siang, tapi mendung. Tak lama, hujan tipis mulai turun, di sebuah pondok tempat jualan nenas kami singgah. Pondok ini kosong, bisa digunakan untuk berteduh. Saat menunggu hujan reda, sebuah kantong berisi rambutan dikeluarkan Bios. Kami menikmati rambutan yang dibeli di perjalanan di dalam pondok tempat jualan nenas. Terasa begitu random, tapi begitulah faktanya.
Menunggu selalulah membosankan untuk saya, syukur hujan kali ini tak berlangsung lama. Kami tidak harus kedinginan menunggu untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Perlahan kami berpindah, dari kebun-kebun nenas, pemandangan mulai berubah. Di mana-mana ada pohon sawit. Dan ya, tak lama setelah itu kami mulai memasuki ibu kota Kotawaringin Timur, Sampit. Sungguh perjalanan yang mengasyikkan.
Kami tidak kesulitan mendapat penginapan, sebagai ibu kota kabupaten yang lumayan maju dan besar, Sampit mengoleksi banyak hotel. Ditambah lagi, oleh seorang karibnya Kak Ronny, kami memang sudah dipesankan tempat menginap.
Tiba di Sampit sebenarnya membuka pemahaman saya menjadi lebih luas. Entah karena apa, saya selalu merasa takut ketika mendengar kata Sampit disebut, tapi setelah mulai memasukinya, segalanya berbeda. Di gapura masuk gerbang Sehati, tertulis ucapan selamat datang. Kalimatnya, Sampit kota aman, hijau, agamis dan tertib.
Ya, terkadang seseorang harus menyelam lebih jauh ke dalam dasar lautan untuk bisa melihat kehidupan bawah laut yang indah. Mungkin, ungkapan itu tepat untuk menggambarkan apa yang saya bayangkan di sepanjang perjalanan menuju Sampit.
Kedamaian dan keamanan justru saya rasakan baru setelah saya berada di sini. Pikiran saya dipenuhi hal-hal buruk dan rasa cemas selama perjalanan. Dan lihatlah apa yang terjadi, di Sampit saya berkesempatan bilang ke semua orang di tempat lain, bahwa Sampit luar biasa.
Di sini, saya akan belajar memahami kehidupan, komunikasi dalam menjalankan hidup dengan sebaik-baiknya. Tiba-tiba saya merindukan ibu, saya harus berkomunikasi dan bilang bahwa saat ini kami akan tinggal semalam lagi di Sampit. Tujuan kami masih sangat jauh: pulang ke rumah sesudah tiba di tujuan!