Bagian 10 dari catatan perjalanan ke Kalimantan ini dapat dibaca di sini.
Sejak dari Sampit suasana hati saya begitu tenang. Setengah bulan berpindah-pindah, rasanya perjalanan kali ini begitu lain, tanpa tekanan, ekspetasi dan keruwetan. Semua berjalan begitu saja, sama seperti hari biasa ketika saya menghabiskan hari-hari di rumah.
Tentu ada hal baru memenuhi memori ingatan, di sepanjang perjalanan saya merasa telah belajar banyak. Saya menarik napas panjang, merasa emosi menjadi datar, sangat datar.
Aneka ciri ragam budaya, dan agama, satu persatu terlewat begitu saja, sampai kami mulai memasuki wilayah penuh simbol-simbol,yang saya duga, merupakan simbol kepercayaan asli suku Dayak, Kaharingan. Rasa penasaran saya mulai muncul lagi, namun sebagaimana telah saya dengar dari istri Kak Im, sebisa mungkin rasa penasaran tidak membuat kami melakukan hal-hal yang menyinggung. Ada beberapa hal yang disarankan tidak kami lakukan di wilayah ini, salah satunya adalah menunjuk.
Saya merasakan aura magis yang kental. Rasanya campur aduk antara penasaran takut dan tegang. Kak Ronny diam saja, mungkin apa yang saya rasa, bisa jadi biasa saja bagi seorang petualang seperti dia.
Setelah lewat, saya mulai membuka percakapan. Mencoba mencari tahu lebih jauh apa yang Kak Ronny ketahui soal Kaharingan.
Minum Kopi di Seruyan
Matahari kian terik, saya sudah tidak tahu pasti posisi kami di mana. Hanya saja, sesekali saya melihat beberapa sungai kecil airnya menjadi begitu coklat kehitam-hitaman. Tak lama kemudian, Kak Ronny menghentikan motor mengajak kami istirahat sejenak. Tepat pukul 11.27 WIB, kami minum kopi di sebuah kedai milik orang Jawa Timur di Seruyan.
Melihat kami, pemilik kedai langsung tahu kalau kami telah menempuh perjalanan jauh. Dia banyak membagi informasi. Sebagai perantau, dirinya juga sering berpindah. Barulah setelah pandemi mereka bertahan cukup lama membuka kedai di Seruyan.
Menunggu Kak Ronny menyelesaikan beberapa kerjaan, saya akhirnya memesan mie instan, bukan untuk saya tetapi untuk Kak Ronny.
Hari makin siang kami memutuskan melanjutkan perjalanan. Dengan senyum pemilik kedai yang saya lupa namanya itu, melepas kami. Sebelum pergi, saya sempat dikasih jeruk untuk dicemil di perjalanan.
Dijemput badai saat masuk Pangkalan Bun
Semakin lama, kami semakin jauh dari Seruyan, dan mulai masuk di Kabupaten Kotawaringin Barat. Ibu kotanya adalah Pangkalan Bun, pintu masuk kami menuju ke target utama: Tanjung Puting.
Perjalanan memang tak selalu sama, hari ini di langit awan hitam menggumpal dan terlihat mengerikan. Sepertinya tak akan lama lagi badai. Kami tak ada pilihan selain terus memacu laju kendaraan, berharap, ketika badai datang kami sudah berada di tempat yang aman.
Hati saya berdebar, apa yang pernah saya lihat saat perjalanan di rute Tinombo tidaklah seberapa. Kali ini langit seolah akan runtuh seperti yang pernah saya tonton di film-film akhir zaman. Angin berhembus kencang, menyertai kilat dan guntur. Tak ada orang-orang, mungkin memilih berdiam di dalam rumah. Dalam hati saya terus berdzikir—memohon penjagaan pemilik semesta.
Seharusnya hari masih siang tapi gelap. Di antara kegelapan, samar-samar terlihat gapura dengan tulisan: Selamat datang di kota manis Pangkalan Bun. Kebahagian belum berani mendominasi sebab cemas masih berkuasa. Akhirnya perjalanan masuk Pangkalan Bun yang seharusnya histeris penuh suka cita, berganti senyap.
Setelah melewati gapura, badai tidak bisa terhindari. Kami terpaksa singgah di sebuah bangunan tua penuh tumpukan kayu. Menikmati dingin dan menunggu kapan badai akan berakhir.
Kontemplasi di Hotel Diana
Berjam-jam menahan dingin, akhirnya kami bisa melanjutkan perjalanan. Sebenarnya hujan belum sepenuhnya reda, tapi kami bergegas menuju pusat kota. Kami menginap di Hotel Diana. Di sini kami tidak akan lama, rencananya esok kami langsung akan menuju tujuan inti, menyebrang dan masuk ke Taman Nasional Tanjung Puting.
Tanah-tanah di Pangkalan Bun masih basah. Setelah usai mengurus administrasi di hotel kami berjalan kaki mencari rumah makan terdekat. Untuk merasakan Pangkaln Bun kami memang sengaja memilih jalan kaki. Entah karena apa, sudah lebih dari lima warung makan yang kami datangi semuanya masih tutup.
Setelah lama keliling kami tiba di Ayam Bakumpul fried chicken. Di sana kami makan sekaligus janjian bertemu Alfin, guide yang akan menemani kami di Tanjung Puting nanti.
Kami menyantap makanan dengan nikmat, sebagai orang yang terbiasa makan pedas di kedai makan ini kami terpuaskan. Sambalnya pedas dan enak, saya sendiri berkali-kali tambah.
Di sela-sela kami makan, Alfin datang. Dirinya menjelaskan banyak hal, juga bertanya soal menu, barangkali kami memiliki permintaan menu khusus selama di sana. Mendengar itu, kami tertawa sambil bilang; kami tidak banyak permintaan, hanya saja makanan kami harus pedas. Kami butuh sambal dengan cabai ekstra.
Perut sudah terisi, pembicaraan juga sudah selesai. Kami kembali ke hotel untuk istirahat, tenang dan mulai menikmati apa yang sebentar lagi kami selami.
Di hotel, saya mengingat kembali awal perjalanan hingga bisa sampai ke sini. Entah sudah berapa ribu kilometer ditempuh, beragam kondisi yang dilalui. Kadang tertawa, kadang marah. Kadang di tanah, kadang di hotel bintang lima. Ketemu senyum ramah, tak jarang juga tatapan sinis. Semuanya menyatu.
Sampai di sini bukanlah mudah, ada banyak yang harus dikorbankan, banyak pelajaran mendewasakan. Belajar keluar dari keegoisan, membuka diri dari tempurung kepala sendiri, melihat orang lain sama tinggi, sama berharganya. Di samping, berupaya mengolah emosi agar tetap waras.
Dari Kak Ronny saya belajar tentang semua itu. Tentang kamera yang rusak, tentang pagi yang sangat dingin, dan tentang penerimaan pada kegagalan. Tentang membuat semuanya menjadi baik-baik saja.
Kini di kota Minat, Aman, Nikmat, Indah dan Segar (Manis) ini, saya bersiap jadi makhluk seapa-apa-adanya makhluk. Melebur jadi satu sebagai penghuni alam semesta yang luas. Jadi tanah, jadi daun, jadi bintang, jadi awan. Sama seperti katak, sama seperti manusia, sama seperti ikan, sama seperti orang utan—sama di tempat yang sama sebagai ciptaan.
Tuhan terima kasih atas segala kesempatan dan waktu untuk pengalaman dan perjalanan panjang ini.
Sebelum menikmati keindahan di Tanjung Puting, hati saya penuh terisi dengan kontemplasi. Setelah benar-benar yakin dengan rasa syukur, saya akhirnya siap untuk tiba dan merasakan atmosfir berada di habitat Orang Utan.
Bersambung….