Penny Manoppo (54) sedang memotong sirip dari hiu yang baru saja didaratkannya di Batuwingkung. Penny sebagaimana nelayan lainnya di Batuwingkung langsung mengolah predator laut itu di pantai. (Foto: Tim Zonautara.com)

LIPUTAN KHUSUS

Penangkapan dan perdagangan hiu tak terawasi di Sangihe (Bagian 1)

Peliput: Marshal Datundugon

Editor : Ronny Adolof Buol

Liputan ini diproduksi dengan dukungan dari Environmental Justice Foundation dan Tempo Institute

Senja baru saja berlalu di awal Juni 2022. Matahari belum lama menghilang ketika Petrus Lesawengen (62) menyambut Zonautara.com di kediamannya di pulau Batuwingkung, Kecamatan Tabukan Selatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Pulau yang dijuluki sebagai pulau hiu, karena sebagian besar nelayan di sana menggantungkan hidup dari menangkap predator laut itu.

Di usia senjanya, Petrus masih turun ke laut, berperahu jauh dari Batuwingkung. Tujuannya berburu hiu, pekerjaan yang sudah turun temurun mereka lakoni. Tak heran dua anak laki-lakinya, Yohanis (32) dan Timotius (26) mengikuti jejaknya.

“Sekarang sudah bagus. Perahunya sudah lebih besar dan menggunakan mesin. Alat pancingnya juga sudah menggunakan metode long line. Sekali turun pernah dapat 28 ekor,” cerita Petrus di sela-sela merapihkan peralatan pancingnya.

Dari hasil berburu hiu itu, Petrus dapat membiayai pendidikan Timotius hingga meraih sarjana teknik komputer dan komunikasi di Politeknik Nusa Utara, Sangihe. Harapannya menjadi PNS. Tapi berkali-kali ikut CPNS, Timotius tak pernah lolos.

“Ya sekarang ikut papa turun ke laut,” sela Timotius.

Ditengah percakapan malam itu, Timotius mengajak Zonautara.com ke bagian dapur. Di sana tergantung ratusan sirip hiu yang sudah kering, hasil buruan mereka selama beberapa bulan.

“Yang paling banyak tertangkap itu jenis lanjaman, di sini kami sebut menehe,” jelas Timotius, sembari memperlihatkan pula beberapa karung berisi sirip hiu kering.

Namun selain lanjaman ada pula sirip hiu tikus dan hiu martil. Rata-rata nelayan di Batuwingkung telah mengenal jenis hiu yang mereka tangkap.

“Meski musiman, tapi kami di sini menggantungkan hidup dari menangkap hiu. Dan itu sudah terjadi sejak orang-orang tua dulu. Saya bisa sekolah hingga sarjana juga dari hasil menjual sirip hiu,” kata Timotius.

Hiu
Seekor hiu yang baru saja diturunkan dari perahu jenis pump boat diletakkan di pasir pantai Batuwingkung. (Foto: Tim Zonautara.com)

Keesokan harinya, Zonautara.com mencoba menunggu kedatangan nelayan penangkap hiu lainnya yang berangkat melaut sehari sebelumnya. Sekitar pukul 10.30 WITA, satu perahu berukuran sekitar 8 meter pun bersandar di bibir pantai. Dua orang nelayan, Noldi Diawang (33) dan rekannya Aljufri Kaemba (35) langsung menurunkan hasil tangkapan.

Tampaknya, mereka sedang kurang beruntung. Hanya satu ekor hiu jenis lanjaman berukuran sekitar 2 meter yang berhasil ditangkap. Tubuh predator laut itu diseret ke tepi pantai. Dengan pisaunya Noldi cekatan menjagal hiu itu. Tak butuh waktu lama, ia melucuti semua sirip pemangsa di laut itu satu persatu. Tak sampai disitu, bagian tubuh hiu juga dibelah dan isi perutnya dikeluarkan.

Tubuh hiu kemudian dipotong menjadi dua bagian. Potongan tubuh hiu dan sirip yang sudah terpisah kemudian dicuci. Sirip dimasukkan dalam ember disimpan di rumah yang tak jauh dari pantai. Sementara daging hiu, akan dijual ke pasar Petta.

Sirip-sirip tersebut nantinya dikeringkan dengan cara dijemur selama tiga hingga empat hari, tergantung cuaca.

“Kalau sudah kering, dikumpul dulu. Nanti kalau sudah banyak, kemudian dijual ke pengepul yang ada di Pasar Manalu. Namanya Koh Ance,” jelas Noldi.

Apa yang dilakoni keluarga Petrus serta Noldi dan Aljufri adalah aktivitas yang jamak dilakukan oleh nelayan penangkap hiu di Batuwingkung. Dari keterangan Kepala Desa Batuwingkung Risno Mangune terdapat 134 kepala keluarga di pulau itu, dan 98 persen adalah nelayan, serta lebih dari setengahnya menjadi penangkap hiu.

Saat Zonautara.com mengunjungi Batuwingkung tak nampak pihak terkait yang melakukan pengawasan pendaratan hasil tangkap hiu dan ikan lainnya. Tidak ada pos yang didirikan baik dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) maupun dari Dinas Perikanan dan Kelautan. Praktis tak ada aktivitas pendataan berapa banyak hiu yang tertangkap, sirip dan daging yang dijual. Nelayan seperti Noldi dan Aljufri dengan leluasa mendaratkan hiu.

Aktivitas yang sama terlihat di sekitar Pelabuhan Petta, Kecamatan Tabukan Utara, salah satu titik utama perdagangan produk perikanan di Pulau Sangihe. Beberapa nelayan terlihat menurunkan sembilan ekor hiu dari sebuah perahu. Hiu yang sudah tidak ada kepalanya ini dibongkar tanpa ada pengawasan sama sekali dari petugas. Lantas ditampung di sebuah rumah yang jaraknya sekitar 20 meter dari tepi pantai.

Salah satu warga di Petta, Marwan Samara menuturkan bahwa nyaris setiap hari ada perahu nelayan yang datang membawa hiu.

“Tak hanya dari Batuwingkung, ada juga dari (pulau) Tinakareng, Lipang, Matutuang dan Para,” ujar Marwan yang berbincang dengan Zonautara siang itu, Rabu (7/6/2022).

Sangihe
Diolah dari Google Map

Di Petta terdapat pasar tradisional yang digelar seminggu tiga kali. Saat hari pasar, nelayan-nelayan dari berbagai pulau datang menjual hasil tangkapan. Hasil penjualan itu lantas dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari.

Sebagaimana di Batuwingkung, nelayan yang datang ke Petta, menjual sirip hiu ke pengepul. Dari keterangan Kepala Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan (KIPM) Tahuna, Geric Lumiu, ada pengepul besar di Petta. Namanya Rommy di Tabukan Utara.

“Seingat kami ada tiga pengepul sirip hiu di Sangihe,” jelas Geric Lumiu kala ditemui di Kantor Stasiun KIPM, di hari yang berbeda.

Ketiadaan petugas mendata hasil tangkapan hiu tersebut diakui pula oleh beberapa penjual di Pasar Petta. Salah satu pedagang yang ditemui di lapaknya mengaku bahwa jika sedang ramai dirinya dapat menjual ratusan kilogram daging hiu dalam sehari.

Pedagang ini menyatakan sanggup memasok hingga 6 ton sekali pengiriman, karena sudah sering memasok daging hiu untuk dikirimkan ke Bitung dan Manado. Daging hiu dijualnya seharga Rp 10 ribu per potong.

Hiu
Nelayan sedang menurunkan hiu dari perahu di Petta, Sangihe. (Foto: Tim Zonautara.com)

Menurut Oktavianto Prasetio Darmono dari Rekam Nusantara Foundation, sebuah lembaga nirlaba yang melakukan berbagai kajian kekayaan alam dan keanekaragaman hayati serta aksi konservasi di Indonesia, seharusnya pemerintah hadir di sana menyediakan fasilitas pendaratan seperti pelabuhan perikanan.

“Apalagi ada penangkapan ikan jenis dilindungi,” ujar Darmono yang akrab dipanggil Tejo.

Dari 400 lebih jenis hiu yang teridentifikasi di dunia, ada sebanyak 12 spesies hiu yang masuk dalam kategori Apendiks II CITES. Ke-12 spesies hiu ini akan terancam punah jika tidak dimasukkan dalam daftar perlindungan dan perdagangannya terus berlanjut.

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), yang telah diratifikasi oleh Indonesia, mengelompokkan pemanfaatan komoditas menjadi tiga apendiks. Yaitu Apendiks I untuk perlindungan penuh, Apendiks II untuk pembatasan dengan kuota, dan Apendiks III untuk pencatatan setiap pemanfaatan.

Dari 12 spesies hiu yang masuk dalam Apendiks II CITES tersebut, sebanyak sembilan spesies ada di perairan Indonesia. Beberapa jenis, terutama jenis hiu lanjaman, teramati ikut tertangkap oleh nelayan yang ada di Batuwingkung dan nelayan yang menurunkan hasil tangkapan di Petta.

Pengaturan perdagangan hiu dengan mekanisme CITES ini bertujuan untuk memastikan keberlanjutan, sesuai aturan dan ketelusuran dari spesies hiu yang diperdagangkan. Pengaturan perdagangan ini juga dapat mencegah perdagangan illegal dan meningkatkan kepatuhan pada mekanisme CITES.

Hiu
Timotius Lesawengen (26) memperlihatkan stok sirip hiu yang sial dijual. Ratusan sirip dari berbagai jenis hiu ini dikumpulkan selama berbulan-bulan. (Foto: Tim Zonautara.com)

Pembatasan pemanfaatan

Pada tahun 1999 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, yang merupakan peraturan perundangan pertama yang mengatur pemanfaatan hiu dan pari di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalam peraturan tersebut memang hanya pari gergaji yang masuk sebagai jenis yang dilindungi secara penuh. Artinya, jenis hiu dan pari lainnya masih dapat dimanfaatkan secara bebas.

Namun pada tahun 2012, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatur tata cara penanganan hiu tikus yang tertangkap (bycatch) melalui Peraturan Menteri (Permen) KP nomor PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap Di Laut Lepas. Di tahun berikutnya, Pemerintah mengeluarkan pula Keputusan Menteri (Kepmen) KP nomor 18/KEPMEN-KP/2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus (Rhincodon typus).

Dan pada tahun 2014, Pemerintah menerbitkan lagi Kepmen KP nomor 4/KEPMEN-KP/2014 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Pari Manta dan Permen KP nomor 59/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pengeluaran Hiu Koboi (Carcarinus longimanus) dan Hiu Martil (Sphyrna spp.) Larangan tersebut mencakup larangan perdagangan atau mengeluarkan bentuk apapun dua jenis hiu tersebut dari wilayah Negara Republik Indonesia ke luar wilayah Negara Republik Indonesia. Peraturan ini diperbaharui kembali dengan Permen KP nomor 5/PERMEN-KP/2018 tahun 2018.

Berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut bertujuan agar pemanfaatan beberapa jenis hiu dapat dikendalikan, mengingat kecenderungan perburuan semakin meningkat sementara populasi hiu semakin menurun.

Tak hanya dalam lingkup nasional, pengaturan pemanfaatan komoditas hiu dan pari ini secara internasional juga diatur melalui CITES. Pada tahun 2003, hiu paus dan hiu basking masuk dalam Apendiks II. Pari gergaji masuk dalam Apendiks I CITES sejak tahun 2007. Sementara itu hiu koboi, hiu martil, dan pari manta masuk dalam Apendiks II CITES sejak tahun 2014, dan yang paling update adalah hiu kejen, hiu tikus, dan pari mobula masuk dalam Apendiks II CITES sejak tahun 2016.

Dari amatan secara langsung di Batuwingkung dan Petta, beberapa jenis hiu yang perdagangannya harus memenuhi kuota lewat regulasi yang diatur oleh pemerintah, dengan bebas dibawa pulang nelayan, tanpa ada pencatatan. Jenis-jenis tersebut antara lain, hiu lanjaman (Carcharhinus falciformis) dan hiu koboi (Carcharhinus longimanus). Bahkan para nelayan mengaku masih sering juga membawa pulang hiu martil (Sphyrna lewini).

Tejo, dari Rekam Nusantara Foundation berpendapat bahwa seharusnya hasil tangkapan perikanan tersebut dicatat.

“Pencatatan dilakukan di pelabuhan pendaratan. Apabila nelayan tidak melakukan pendaratan di pelabuhan memang tidak ada kewajiban pencatatan terhadap apa yang dia tangkap,” ujar Tejo saat dihubungi Zonautara.com beberapa waktu lalu.

Menurutnya, sesuai regulasi seharusnya nelayan melakukan pendaratan di pelabuhan perikanan, baik yang dikelola oleh pemerintah pusat maupun daerah.

“Atau pemerintah kabupaten dan provinsi dapat melakukan sosialisasi agar nelayan melakukan laporan hasil tangkapan,” jelas Tejo.

Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah memang dilakukan melalui dokumen perizinan kapal ikan. Setiap kapal yang memiliki bobot di atas 5 GT hingga 30 GT wajib memiliki beberapa dokumen, seperti tanda daftar kapal perikanan (TDKP), surat izin penangkapan ikan (SIPI), NIB dan pas kapal. Dokumen-dokumen ini diterbitkan oleh pemerintah provinsi dan UPP Pelabuhan.

Persoalannya adalah, nelayan-nelayan tradisional di Sangihe, terutama yang ada di Batuwingkung adalah nelayan yang hanya memiliki kapal atau perahu dengan bobot di bawah 5 GT.

“Secara regulasi memang tidak diwajibkan untuk melakukan pencatatan dan tidak diwajibkan untuk melakukan pendataan kapal,” jelas Tejo.

Namun melihat intensitas aktivitas nelayan di Batuwingkung dan yang mendaratkan hasil tangkapan hiu di Petta, paling tidak instansi terkait seperti BPSPL serta Dinas Kelautan dan Perikanan harus melakukan sosialisasi pengendalian tangkapan hiu, terutama jenis-jenis yang dibatasi dengan kuota.

Tidak ada data pasti berapa banyak hiu yang tertangkap oleh neyalan di Sangihe. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sangihe tidak memiliki data sama sekali soal total hasil tangkap.

“Data yang kita punya itu hanya jumlah produksi tangkapan hasil laut secara keseluruhan. Sumber datanya pun berasal dari Satu Data KKP, yang selama ini dibantu oleh teman-teman penyuluh di lapangan,” ujar Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Sangihe, Marthin Pudihang saat dijumpai di ruang kerjanya pada Senin (13/7/2022).

Hiu
Katrina Musa sedang menyelesaikan pengasapan daging hiu di rumahnya di Batuwingkung. Daging hiu asap dijual di pasar di Manalu dan di Tahuna. (Foto: Tim Zonautara.com)

BPSPL Makassar Satuan Kerja (Satker) Manado yang didatangi di Kantor mereka di ruas jalan A. A. Maramis, Kairagi Dua, Mapanget, Manado tidak bersedia memberikan data. Staff yang ditemui Zonautara.com beralasan, data yang diminta harus dikeluarkan oleh pejabat struktural, sementara pejabat yang dimaksud berada di Kantor BPSPL Makassar yang ada di Sulawesi Selatan.

Zonautara.com telah berupaya untuk menyurati Kepala BPSPL Makkasar, dan berulang kali menghubungi Staff BPSPL Makassar Satker Manado, tetapi menunggu hingga berbulan-bulan, dan berulang kali ditindaklanjuti, permintaan data tersebut tidak pernah direspon.

Data tentang berapa banyak hiu yang tertangkap di Sangihe, hanya bisa diperoleh dari Balai Pengendalian Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Tahuna. Dari data yang dikirimkan oleh Kepala BKPIM Tahuna, Geric Lumiu tercatat ada 28.430 kilogram komoditas hiu yang dikirim dari Sangihe ke luar Sangihe pada tahun 2021. Komoditas tersebut sudah termasuk sirip dan daging hiu.

Data yang tercatat di Stasiun KIPM Tahuna ini tidak mencerminkan jumlah real hasil tangkapan hiu nelayan di Sangihe. Pasalnya, data yang tercatat adalah data dari  mereka yang mengurus dokumen perizinan pengecekan mutu sebagai syarat agar bisa mengirim produk perikanan keluar dari Sangihe melalui jalur resmi pengangkutan kapal yang berangkat dari Pelabuhan Tahuna.

Sementara beberapa nelayan di Sangihe mengaku, pengiriman keluar Sangihe, terutama ke Manado dan Bitung juga dilakukan melalui kapal-kapal penampung ikan, atau kapal pajeko (kapal penangkap ikan berukuran besar).

Tidak semua pengiriman komoditas hiu ke luar dari Sangihe mengurusi ijin itu diakui pula oleh penjual daging hiu di Pasar Petta. Menurutnya dia dan penjual lainnya dapat memasok daging hiu dalam jumlah besar, tanpa perlu mengurus dokumen apapun. Daging hiu yang diminta bisa dikirim ke Manado atau Bitung tanpa melalui urusan perizinan.

Dalam tiga tahun terakhir permintaan terhadap daging hiu juga terus meningkat. Hal itu tercermin dari data yang disodorkan oleh Kepala Stasiun KIPM Tahuna, Geric. Menurutnya dulu orang hanya mengeksploitasi sirip, namun saat sekarang permintaan terhadap daging juga meningkat.

Hal itu terlihat pula di tingkat nelayan. Jika dulu badan hiu dibuang ke laut ketika siripnya diambil, tetapi kini daging hiu dimasukkan ke cool box untuk dijual. Seperti yang terlihat di Batuwingkung dan di Petta.

“Ada dua perusahaan di Bitung yang membeli daging hiu. Jadi untuk daging dari Sangihe dan Talaud itu larinya ke Bitung,” ujar Kepala Stasiun PSDKP Tahuna, Bayu Suharto, saat ditemui di ruang kerjanya di Tahuna.

Bersambung ke artikel ini: Diburu di laut, Dikumpulkan di Sangihe, Dikirim ke Manado.

Zonautara. Com


Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article