Pakar-pakar PBB pada hari Kamis (27/4) menuduh China memaksa ratusan ribu warga Tibet mengikuti program-program yang mengancam identitas budaya mereka dan dapat berujung pada aksi kerja paksa.
Enam pelapor khusus PBB menyuarakan kekhawatiran mereka terkait klaim bahwa apa yang disebut sebagai pelatihan kejuruan dan program transfer tenaga kerja di negara itu digunakan sebagai dalih untuk merusak identitas agama, bahasa dan budaya Tibet, dan untuk mengawasi sekaligus mengindoktrinasi warga Tibet.
“Ratusan ribu warga Tibet dilaporkan telah ‘dialihkan’ dari kehidupan pedesaan tradisional mereka ke pekerjaan dengan keterampilan rendah dan berupah rendah sejak tahun 2015, melalui sebuah program yang digambarkan bersifat sukarela, meski dilaporkan bahwa pada praktiknya mereka telah dipaksa ikut serta,” kata para pakar.
Mereka mengatakan bahwa program transfer tenaga kerja itu difasilitasi oleh sebuah jaringan pusat-pusat pelatihan vokasi, “yang tidak terlalu fokus pada pengembangan kemampuan profesional dan lebih fokus pada indoktrinasi budaya dan politik di suatu lingkungan militer.”
Mereka menemukan bahwa warga Tibet yang ikut serta dalam program itu dilaporkan dicegah berbahasa Tibet dan dihalang-halangi agar tidak menunjukkan identitas agama mereka.
Pernyataan itu ditandatangani oleh para pelapor khusus yang meneliti masalah perbudakan kontemporer, perdagangan manusia, rasisme kontemporer, hak-hak budaya, isu minoritas dan hak atas pembangunan.
Pelapor khusus diberi amanat oleh Dewan HAM PBB, namun mereka adalah pakar-pakar yang independen dan tidak dibayar, serta tidak mewakili PBB.
Pertanyaan Soal Persetujuan
“Warga Tibet dicerabut dari mata pencaharian mereka yang berkelanjutan, di mana secara tradisional mereka memiliki keunggulan komparatif, seperti produksi wol dan susu, ke pekerjaan berupah rendah dan berketerampilan rendah di bidang manufaktur dan konstruksi,” kata para pakar.
“Warga Tibet dialihkan langsung dari pusat-pusat pelatihan ke tempat kerja baru mereka, sehingga tidak jelas apakah mereka memberikan persetujuan terhadap pekerjaan baru ini. Tidak ada bentuk pengawasan yang dapat menentukan apakah kondisi kerja itu berifat kerja paksa.”
Para pakar mendesak Beijing untuk mengklarifikasi bagaimana caranya agar warga Tibet dapat keluar dari program-program tersebut, dan untuk memantau kondisi kerja mereka di tempat kerja yang baru.
Selama ratusan tahun status Tibet telah bergonta-ganti antar merdeka dan di bawah kendali China, yang mengatakan bahwa pihaknya telah “memerdekakan secara damai” dataran tinggi yang terjal itu pada tahun 1951 dan membangun infrastruktur dan pendidikan ke wilayah yang sebelumnya terbelakang itu.
Namun banyak warga Tibet di pengasingan yang menuduh Partai Komunis China yang berkuasa melakukan penindasan, penyiksaan dan mengikis budaya mereka.
Februari lalu, tiga pakar PBB mengatakan bahwa sekitar satu juta anak Tibet terpisah dari keluarga mereka dan menjalani “asimilasi paksa” di sekolah-sekolah di kawasan permukiman China.
Para pelapor khusus itu menyuarakan kewaspadaan mereka terhadap kebijakan China yang ditujukan untuk mengasimilasi warga Tibet secara budaya, agama dan bahasa melalui sistem sekolah. [rd/jm]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia