bar-merah

Ancaman Perubahan Iklim dan Banjir Rob terhadap Anak-anak Pesisir


Bagi anak-anak di wilayah pesisir, meningkatnya frekuensi banjir rob atau banjir pasang surut air laut akibat perubahan iklim kerap dianggap sebagai hiburan gratis mendadak. Namun di balik itu, ancaman kesehatan dan potensi disrupsi pendidikan mengintai anak-anak yang terdampak banjir rob. Lantas bagaimana mitigasi dan pemenuhan hak-hak anak ketika terjadi banjir rob?

VOA – Lisa seorang pelajar sekolah menengah pertama (SMP) terpaku di depan pintu rumahnya. Anak perempuan berbaju pramuka tersebut hendak berangkat ke sekolah. Namun raut wajahnya muram tatkala memandang banjir rob atau banjir pasang surut air laut perlahan-lahan memenuhi seisi rumahnya yang berada di Lorong Kenanga, Kelurahan Belawan I, Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan.

Kawasan Medan Belawan kerap diterjang banjir rob. Banyak seumuran Lisa yang bermain air banjir itu, mulai dari mandi-mandi hingga berenang. Mereka menikmati bencana langganan itu, seakan-akan merupakan hiburan mendadak dan suguhan menarik bagi anak-anak pesisir. Padahal ada ancaman serius yang mengintai mereka.

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) perubahan iklim secara nyata menimbulkan dampak terhadap kesehatan anak-anak, mulai dari kekurangan gizi, permasalahan mental, aksi kekerasan hingga kematian.

Ketua Satgas Penanggulangan Bencana IDAI, Kurniawan Taufiq Khadafi, mengatakan perubahan iklim seperti suhu panas yang ekstrem berpotensi menyebabkan kematian bayi secara mendadak serta mengakibatkan morbiditas atau angka kecacatan pada anak-anak.

Begitu pun dengan suhu dingin yang ekstrem juga berpotensi menyebabkan kematian pada bayi akibat hipotermia. “Perubahan iklim juga berdampak besar pada peningkatan infeksi yang ditularkan melalui vektor seperti demam berdarah atau malaria. Faktor yang berperan dalam peningkatan infeksi ditularkan vektor antara lain suhu kelembaban dan curah hujan,” katanya.

Selanjutnya, perubahan iklim yang memicu meningkatnya frekuensi banjir rob bisa membuat anak-anak terserang penyakit yang ditularkan melalui media air, misalnya diare dan penyakit kulit.

“Banjir rob juga dapat menyebabkan kecemasan dan trauma pada anak. Sebuah penelitian yang dilakukan di sebuah daerah di Pekalongan mendapatkan hasil selama banjir rob 6 persen anak mengalami depresi dan 93 persen anak mengalami kecemasan,” jelas Kurniawan.

Cara paling sederhana agar terhindar dari penyakit-penyakit akibat banjir rob ini adalah mengganti baju anak jika terpapar banjir dan senantiasa memiliki pasokan air bersih. “Sehingga anak terhindar dari diare dan penyakit kulit,” ujar Kurniawan.

Ibunda Lisa, Rapeah (40), mengatakan banjir rob turut mengganggu aktivitas anaknya untuk mendapatkan hak atas pendidikan. Tak jarang anaknya enggan sekolah ketika banjir rob membanjiri kawasan rumah mereka. “Kadang juga malas sekolah karena banjir,” katanya kepada VOA.

Bagi warga sekitar Kelurahan Belawan I, banjir rob kerap disebut dengan air pasang. Dahulu, kata Rapeah, banjir rob hanya terjadi setahun sekali. Namun dalam beberapa tahun terakhir banjir rob kian rutin menerjang kawasan rumah mereka.

 

Pada periode April-Mei 2023 banjir rob setidaknya telah menerjang kawasan Medan Belawan lebih dari sekali. Banjir rob mulai menggenangi permukiman masyarakat sejak pukul 11.00 WIB dan surut sekitar pukul 16.00 WIB dengan ketinggian air mencapai 30-50 sentimeter.

“Sekarang dua minggu sekali. Hampir lima tahun terakhir rutin dua minggu sekali,” ucapnya.

Banjir Tak Hentikan Aktivitas Sekolah

Secara terpisah, Camat Medan Belawan, Subhan, mengatakan enam kelurahan di wilayahnya yaitu Belawan I, Belawan II, Sicanang, Bahari, Bahagia, dan Bagan Deli memang menjadi langganan banjir rob. Meskipun begitu anak-anak tetap bersekolah saat banjir rob melanda permukiman masyarakat.

“Tetap sekolah karena banjir rob sifatnya sebentar saja sudah surut kembali,” ujarnya kepada VOA.

Adapun mitigasi yang dilakukan pemerintah setempat ketika banjir rob melanda permukiman masyarakat adalah membersihkan saluran drainase dan sampah akibat dari air pasang surut laut tersebut.

“Kami melaksanakan posko pemantauan banjir rob bekerja sama dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Medan,” ucap Subhan.

Begitu pun terkait dengan pemenuhan hak atas kesehatan anak yang dilakukan pemerintah setempat ketika banjir rob datang. Salah satunya bekerja sama dengan puskesmas mendirikan posko terpadu untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi anak-anak yang terdampak banjir rob.

“Terutama penyakit kulit. Kami juga mengimbau kepada masyarakat melalui sebuah surat edaran peringatan dini agar selalu waspada terhadap banjir rob,” kata Subhan.

Saat ini pembangunan prasarana pengendalian banjir rob di Belawan juga telah dilakukan. Pengendalian banjir rob di Medan Belawan merupakan bagian dari program penataan yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) secara bertahap mulai dari Agustus 2022 hingga beberapa tahun ke depan. Penataan ini dilakukan untuk mengatasi ancaman banjir rob, kemiskinan ekstrem, dan masalah kesehatan.

Ruang lingkup pekerjaannya meliputi pembangunan parapet (dinding pelindung) tanggul, rumah pompa, drainase kolektor, gorong-gorong, dan pintu air. Diperkirakan pembangunan tanggul itu akan rampung pada tahun 2023.

Kepala kelompok prakirawan Stasiun Meteorologi Kelas II Maritim Belawan Medan, Budi Santoso, mengatakan banjir rob melanda kawasan Medan bagian utara minimal sekali dalam setahun. Ada tiga kecamatan yang terdampak banjir rob yaitu Medan Belawan, Medan Labuhan, dan Medan Marelan. Namun tak ada catatan tahunan tentang rekam jejak banjir rob ketika menerjang kawasan Medan bagian utara.

“Pasang air laut dan fenomena meteorologi seperti gelombang, angin, dorongan dari ombak serta badai yang menyebabkan banjir rob. Lalu, banjir rob juga terjadi karena adanya pencairan es di kutub yang dipicu pemanasan global,” katanya.

Berdasarkan catatan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) setidaknya ada 17 provinsi mulai dari pesisir Aceh hingga Maluku Utara berpotensi disambangi banjir rob.

Perubahan Iklim Semakin Tingkatkan Frekuensi Banjir Rob

Dosen Program Studi Meteorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Joko Wiratmo, menjelaskan perubahan iklim bisa memicu meningkatnya frekuensi banjir rob di wilayah pesisir.

“Permukaan air laut bisa meningkat karena adanya pemanasan global yang terjadi selama ini. Itu menyebabkan meningkatnya permukaan air laut karena adanya pencairan es di kutub. Meskipun dalam jangka pendek penurunannya kecil. Tapi dalam jangka panjang itu makin besar,” katanya saat dihubungi VOA.

Selanjutnya, kejadian cuaca ekstrem itu bisa meningkat karena adanya pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. Fenomena banjir rob akibat perubahan iklim kian memberikan dampak beragam bagi masyarakat pesisir termasuk kelompok anak-anak.

“Perubahan iklim menyebabkan peningkatan dari cuaca ekstrem dan bisa mengakibatkan meningkatnya tinggi air laut. Itu bisa menyebabkan banjir rob. Tidak selalu bahwa banjir rob terjadi itu pada musim hujan. Bisa juga pada musim kemarau,” ujarnya.

Anak Paling Rentan Jadi Korban

Anak-anak menjadi salah satu kelompok yang paling rentan terdampak banjir rob. Bahkan dalam laporan terbaru Indeks Risiko Iklim Anak (CCRI) pada Mei 2023 yang dikeluarkan oleh Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) menyebut 28,3 juta anak di Indonesia sangat rentan terhadap banjir pesisir atau banjir rob.

Namun tak ada data pasti dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait catatan jumlah anak-anak yang terdampak banjir rob di Indonesia.

Kendati demikian, Direktur Mitigasi Kedeputian Bidang Pencegahan BNPB, Berton Suar Pelita Panjaitan, mengatakan pihaknya telah melakukan upaya mitigasi seperti peningkatan dan pembentukan keluarga tangguh bencana. Program tersebut menganjurkan agar setiap anggota keluarga perlu mengetahui risiko bencana yang berpotensi terjadi di lingkungannya. Tidak hanya risiko bencana di rumahnya. Namun juga risiko bencana yang ada pada lingkungan tiap-tiap anggota keluarga.

“Setiap keluarga yang berada di daerah rawan perlu merencanakan bagaimana evakuasi dilakukan jika bencana terjadi. Perencanaan tersebut disusun dengan memperhatikan aktivitas harian tiap-tiap anggota keluarga. Dalam pembuatan rencana ini setiap anggota keluarga (termasuk anak-anak) terlibat untuk memastikan bahwa mereka memahami dan menyetujuinya,” kata Berton.

Mitigasi berperspektif anak lainnya yang dilakukan BNPB adalah pembentukan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Maksudnya, sekolah mengakui dan melindungi hak-hak anak dari potensi bencana dengan menyediakan lingkungan yang menjamin proses pembelajaran, kesehatan, keselamatan, dan, keamanan siswanya setiap saat. SPAB secara resmi di Indonesia diatur dalam Permendikbud No 33 Tahun 2019.

“Satuan pendidikan aman bencana mempertimbangkan nilai-nilai perubahan budaya, berorientasi pemberdayaan, kemandirian, pendekatan berbasis hak, berkelanjutan, mempertimbangkan kearifan lokal, kemitraan, dan inklusif,” jelas Berton.

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Laksmi Dhewanthi, mengatakan saat ini pemerintah menargetkan penurunan gas emisi rumah kaca sebesar 31,89 persen pada tahun 2030 untuk mengurangi risiko perubahan iklim.

“Kami punya target 2030 mengurangi gas emisi rumah kaca sebesar 31,89 persen. Kalau dapat bantuan internasional kita akan tambah menjadi 43,2 persen di tahun 2030. Tapi buat kita itu tidak cukup. Tiap tahun kita tingkatkan lagi,” katanya, Senin (29/5).

Saat ini pemerintah telah memetakan daerah yang rentan terhadap perubahan iklim sehingga bisa dilakukan upaya untuk mengurangi dampaknya termasuk wilayah pesisir.

“Kalau di pesisir kami melakukan upaya untuk meningkatkan ketahanan iklim melalui restorasi mangrove. Kalau itu memang ekosistemnya. Kami juga pakai intervensi dengan tanggul-tanggul pemecah ombak sehingga tidak terjadi abrasi,” ungkap Laksmi.

Sementara itu, Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar, menegaskan upaya perlindungan ketika terjadi bencana termasuk banjir rob sudah seyogyanya diprioritaskan pada kelompok rentan. Hal itu berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan sampai dengan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan psikososial.

“Tantangan yang sering kali ditemukan di lapangan adalah memastikan anak berada dalam lingkungan yang layak dan memenuhi standar kebersihan, lumpuhnya pelayanan kesehatan, masalah gizi, masalah air bersih, dan penyakit menular,” katanya kepada VOA.

Pemenuhan hak anak ketika terjadi bencana juga sangat penting dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam melaksanakan mandat UU No 35 Tahun 2014 dan PP No 78 Tahun 2021.

“Hal ini dilakukan mengingat kondisi di lapangan yang sering kali ditemukan bantuan bahan makanan pokok cukup memadai. Namun bantuan spesifik untuk anak masih sangat minim dan sangat dibutuhkan oleh warga terdampak banjir. Bencana juga memberikan dampak psikologis bagi anak. Untuk itu KemenPPPA selalu memastikan anak yang terdampak bencana diberikan dukungan psikososial dengan menggandeng berbagai pihak atau lembaga yang kompeten di bidangnya,” ujar Nahar.

WALHI : Lebih 5.400 Desa di Pesisir Indonesia Terendam Banjir Rob

Manajer kampanye pesisir dan laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Parid Ridwanuddin, menjelaskan sejak tahun 2017-2020 lebih dari 5.400 desa di pesisir Indonesia telah terendam banjir rob. Selain krisis iklim yang kian buruk, faktor lain yang menyebabkan bentang alam semakin rentan karena adanya beban industri besar di sepanjang pesisir di Indonesia.

“Kemudian terjadi ekstrasi air tanah berlebihan sehingga tanah mengalami penurunan 13-15 sentimeter per tahun. Karena tanah mengalami penurunan, kemudian pada saat yang sama terjadi kenaikan air laut trennya 0,8-1 meter. Itu artinya akan terjadi percepatan desa-desa tenggelam. Banjir rob akan semakin sering,” jelasnya.

Adapun daerah yang paling terancam adalah wilayah-wilayah pesisir yang sudah dibebani izin industri terutama di kawasan pantai utara Pulau Jawa. “Kemudian di pantai barat Pulau Sumatra itu sudah banyak juga desa-desa pesisir yang tenggelam karena percepatan kenaikan air laut,” ungkap Parid.

Walhi menyerukan agar pemerintah menghentikan dan mengevaluasi beban industri besar di pesisir Indonesia terkait dengan mitigasi banjir rob.

“Pemerintah seharusnya mengevaluasi dan mencabut izin industri besar yang ada di pesisir termasuk pengambilan air tanah yang berlebihan seperti di Jakarta dan Jawa Tengah. Itu terjadi karena pembangunan tidak terkendali,” kata Parid.

Selanjutnya pemerintah harus memulihkan wilayah sempadan pantai untuk ekosistem pesisir.

“Seharusnya wilayah sempadan pantai 0-100 meter ke arah darat itu harus dialokasikan untuk wilayah terbuka hijau di pesisir dan tidak boleh dikaveling-kaveling untuk kepentingan industri,” ucap Parid.

Perubahan iklim telah berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat termasuk anak-anak di wilayah pesisir. Meningkatnya frekuensi banjir rob yang disebabkan perubahan iklim membuat semua pihak harus melakukan mitigasi dan memenuhi hak-hak anak ketika terjadi bencana demi keberlangsungan hidup serta tumbuh kembangnya.[aa/em]

Source link



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat




Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia
Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com