Pekan ini, beberapa penantang baru ikut memperebutkan tiket calon presiden AS dari Partai Republik, untuk menjegal kans mantan Presiden Donald Trump menjadi capres untuk ketiga kalinya berturut-turut. Yang paling familiar di antara mereka adalah mantan wakil presiden pada masa kepemimpinan Trump, Mike Pence. Kali ini, Pence tanpa ragu mengkritik Trump – sesuatu yang sebelumnya enggan ia lakukan dengan blak-blakan.
Pada ulang tahunnya yang ke-64, mantan Wakil Presiden AS Mike Pence untuk pertama kalinya mengkritik kandidat calon presiden unggulan dari partainya sendiri, yaitu mantan Presiden Donald Trump. Trump adalah bos Pence selama empat tahun, dari 2017 hingga 2021.
“Saya percaya, siapa pun yang menempatkan diri mereka di atas Konstitusi tidak boleh menjadi presiden Amerika Serikat. Dan siapa pun yang meminta seseorang untuk menempatkan dirinya di atas Konstitusi tidak boleh menjadi presiden Amerika Serikat lagi,” jelasnya.
Ketika massa pendukung Trump menyerbu gedung US Capitol, alias Kongres AS, pada 6 Januari 2021, mereka meneriakkan kata-kata “Gantung Mike Pence,” karena ia menolak menuruti permintaan Trump untuk menghentikan pengesahan kemenangan Joe Biden dalam pilpres AS 2020.
Pence menganut nilai-nilai tradisional Partai Republik dalam isu ekonomi dan kebijakan luar negeri. Ia adalah pria kulit putih penganut Kristen injili, yang merupakan konstituen utama partai tersebut. Selain itu, Pence juga menggambarkan dirinya sebagai sosok paling konservatif di antara semua kandidat capres Partai Republik dalam isu-isu sosial, termasuk aborsi.
“Setelah memimpin pemerintahan paling pro-kehidupan dalam sejarah Amerika, Donald Trump dan kandidat lain dalam persaingan ini mundur dari perjuangan membela bayi-bayi yang belum dilahirkan,” komentar Pence.
Partai Republik yang cenderung konservatif mendukung kebijakan antiaborsi, yang dikenal dengan istilah ¬pro-life atau pro-kehidupan. Meski demikian, popularitas Pence masih jauh mengekor sang mantan bos, Donald Trump, dan Gubernur Florida Ron DeSantis, yang dianggap paling mungkin mengalahkan Trump. Dosen ilmu politik Universitas George Mason, Jeremy Mayer, menjelaskan alasannya.
“Pengabdiannya sebagai wakil presiden telah sangat melemahkan sosoknya jika dibandingkan dengan kebanyakan wakil presiden lainnya. Presiden Donald Trump menuntut kesetiaan ekstrem hingga pada taraf merendahkan diri.”
Hanya dua mantan wakil presiden AS yang berhasil kembali ke Gedung Putih sebagai presiden melalui proses pemilu. Pertama, Richard Nixon dari Partai Republik, yang memenangkan pilpres AS 1968. Kedua, tiga tahun lalu, ketika Joe Biden dari Partai Demokrat mengalahkan capres petahana Donald Trump dan wapresnya, Mike Pence.
Kembali, Jeremy Mayer:
“Trump telah mengubah partai itu. Lihat saja orang-orang yang ingin menggantikan Trump, misalnya Ron DeSantis, ia mengarah pada populisme dan mengarungi perang budaya. Dan Mike Pence dapat melakukan itu dari aspek substansinya, ia bisa membahas kebijakan perang budaya. Tapi yang tidak bisa ia lakukan sejauh ini, yang belum ia tunjukkan kepada kita, adalah kemampuannya untuk menjadi seorang populis. Dan itulah yang dicari Partai Republik setelah Trump,” kata Jeremy Mayer, George Mason University.
Apa pun hasil pemilihan pendahuluan Partai Republik tahun depan, Mike Pence telah mencetak sejarah sebagai mantan wakil presiden AS pertama yang secara langsung berhadapan dengan mantan pasangannya dalam pemilu terdahulu. [rd/jm]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia