ZONAUTARA.com – Pada Hari Kebebasan Pers Sedunia, UNESCO menerbitkan studi baru yang menganalisis serangan yang dilakukan terhadap jurnalis yang meliput lingkungan hidup. Studi ini meliputi:
Data UNESCO mengenai jurnalis yang diserang saat meliput isu lingkungan hidup (Metodologi: menggunakan meta-analisis dari berbagai sumber: contoh – laporan dari UN Special Rapporteurs tentang Keselamatan Jurnalis dari berbagai wilayah, laporan media, laporan polisi).
Sebanyak 44 jurnalis yang melaporkan isu lingkungan hidup telah dibunuh dalam 15 tahun terakhir, dan hanya lima kasus yang berujung pada hukuman, menurut Observatorium UNESCO tentang Jurnalis yang Dibunuh.
Pembunuhan dalam lima tahun terakhir meningkat sepertiga lebih tinggi dari lima tahun sebelumnya (16 pembunuhan dibandingkan dengan 12).
Selain itu, setidaknya 24 jurnalis selamat dari percobaan pembunuhan. Setidaknya 749 jurnalis, kelompok jurnalis, dan outlet berita yang melaporkan tentang isu lingkungan telah diserang di 89 negara sejak tahun 2009, menurut tinjauan rinci dari berbagai sumber data.
Para jurnalis dan media ini meliput berita dari berbagai topik, mulai dari penyebab perubahan iklim, pertambangan, deforestasi, dan bahan bakar fosil, hingga isu-isu khusus komunitas seperti agribisnis, perampasan lahan, proyek mega-infrastruktur, dan dampak dari cuaca ekstrim.
Aktor negara, seperti polisi, militer, pejabat pemerintah, dan pegawai negeri, melakukan setidaknya setengah dari 749 serangan tersebut. Pelaku swasta, termasuk perusahaan industri ekstraktif, kelompok kriminal, pengunjuk rasa, dan komunitas lokal, bertanggung jawab atas setidaknya seperempat serangan tersebut.
Sejak tahun 2009, setidaknya 204 jurnalis dan media berita yang meliput isu lingkungan hidup menghadapi tuntutan hukum. Pemerintah mengajukan tuntutan pidana terhadap 93 kasus di antaranya, yang merupakan jenis tuntutan hukum yang paling umum.
Selain itu, 39 jurnalis telah dipenjara, terutama di Asia dan Pasifik, terkait dengan pelaporan mereka tentang isu lingkungan. Gugatan pencemaran nama baik juga sering digunakan untuk menekan pelaporan investigasi lingkungan dengan setidaknya 68 kasus, dengan jumlah kasus yang lebih tinggi terjadi di Eropa dan
Amerika Utara.
Telah terjadi setidaknya 193 serangan terhadap jurnalis dan media saat meliput protes lingkungan dalam 15 tahun terakhir, terutama di Eropa, Amerika Utara, Amerika Latin dan Karibia. Polisi dan aparat militer adalah pelaku paling umum dengan 46% serangan, sementara pengunjuk rasa menyumbang 17% serangan.
Survei yang dilakukan oleh UNESCO dan Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) yang menerima tanggapan lebih dari 900 jurnalis, 41% di antaranya perempuan, dari 129 negara (Pembagian regional Afrika: 43%; Asia dan Pasifik: 19%; Amerika Latin dan Karibia: 16%; Eropa dan Amerika Utara: 14%; Negara-negara Arab: 8%).
Temuan utama adalah: Serangan, ancaman, atau tekanan saat meliput masalah lingkungan hidup. Lebih dari 70% jurnalis yang disurvei melaporkan mengalami serangan, ancaman, atau tekanan saat meliput isu lingkungan.
Di antara mereka yang melaporkan serangan, ancaman, atau tekanan: 60% terindikasi menjadi korban pelecehan online, 41% mengalami serangan fisik, Seperempatnya mengatakan mereka dituntut secara hukum, 75% mengatakan hal ini berdampak pada kesehatan mental mereka.
Sensor Diri
Hampir separuh jurnalis melaporkan telah melakukan praktik sensor mandiri, dan mengatakan bahwa hal ini didorong oleh ketakutan akan potensi serangan, narasumber terpapar bahaya, dan/atau kesadaran bahwa liputan isu lingkungan hidup mungkin bertentangan dengan kepentingan pemberi kerja atau pemasang iklan.
Gender
Lebih dari 80% jurnalis wanita yang melaporkan menjadi korban serangan saat meliput isu lingkungan menerima ancaman psikologis atau tekanan.
Dari seluruh responden yang melaporkan menjadi korban setidaknya satu serangan, responden perempuan mengatakan bahwa mereka lebih sering mengalami serangan digital dibandingkan laki-laki (62%).
Hal ini sejalan dengan tren global yang diidentifikasi dalam laporan Chilling bahwa
jurnalis perempuan lebih sering menjadi sasaran kekerasan online dibandingkan laki-laki. 83% jurnalis perempuan yang pernah mengalami serangan dan/atau ancaman saat meliput isu lingkungan mengatakan hal tersebut berdampak pada kesehatan mental mereka.
Disinformasi dan Perubahan Iklim
Lebih dari dua pertiga jurnalis berpendapat bahwa disinformasi terkait perubahan iklim telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dan menganggap jurnalisme belum berbuat banyak untuk melawannya.
Dari jumlah tersebut, 68% melaporkan bahwa hal ini terkait dengan konflikkepentingan dengan pemangku kepentingan yang bersangkutan.