JAKARTA, ZONAUTARA.com – Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender, mengapresiasi disahkannya Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Seribu Hari Pertama Kehidupan atau (UU KIA) yang disahkan DPR RI pada 4 Juni 2024 dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024. Namun demikian, sejumlah catatan kritis terhadap muatan UU KIA muncul, mengingat masih lemahnya beberapa aspek yang berpotensi menyebabkan kerancuan dalam implementasinya.
UU KIA Disahkan: Apresiasi dan Kritik
Salah satu kritik utama yang disorot Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender adalah ketidakinklusifan UU KIA yang belum melindungi ibu rumah tangga, perempuan adat, perempuan petani, perempuan nelayan, buruh migran, serta pekerja di sektor informal, termasuk pekerja rumah tangga dan pekerja rumahan.
Padahal, jumlah tenaga kerja di sektor informal mencapai sekitar 82,67 juta orang (55,9%), yang sebagian besar adalah perempuan.
Cuti Melahirkan dan Tantangan Implementasi
Tak hanya itu, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender menilai UU KIA membuat terobosan dengan menambah cuti melahirkan bagi ibu bekerja menjadi paling lama 6 bulan.
Namun, hak cuti ini hanya akan diberikan jika terdapat kondisi khusus terkait kesehatan ibu dan/atau anak yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Walaupun UU KIA mengatur skema penggajian untuk cuti melahirkan bagi ibu, cuti mendampingi istri bagi laki-laki tidak diatur skema penggajiannya dan hanya disebutkan 2 hari dalam UU Ketenagakerjaan.
Pada kenyataannya, hak cuti melahirkan selama 3 bulan sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan (sekarang menjadi UU Cipta Kerja) sulit diimplementasikan dan belum maksimal karena lemahnya pengawasan. Banyak perusahaan tidak melaksanakan atau hanya melakukannya di atas kertas agar tidak berdampak pada perijinan perusahaan.
Buruh perempuan sering harus melakukan negosiasi dengan perusahaan melalui serikat buruh untuk mendapatkan cuti melahirkan, tetapi banyak buruh perempuan yang belum berserikat dan tidak semua perusahaan memiliki serikat buruh/serikat pekerja.
Potensi Diskriminasi dan Pembakuan Peran Gender
Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender menyorot, dengan adanya cuti melahirkan 6 bulan, ada potensi perusahaan meminggirkan perempuan dengan tidak mempekerjakan buruh perempuan yang sudah menikah dan berpotensi hamil, atau bahkan memberhentikan buruh perempuan yang mengambil cuti melahirkan.
UU KIA berpotensi menyebabkan diskriminasi tidak langsung kepada buruh perempuan ketika pemberi kerja lebih memilih buruh laki-laki untuk mengurangi beban pelaksanaan UU.
Selain itu, UU KIA juga melanggengkan pembakuan peran domestik perempuan karena hanya menyebutkan hak atas pendidikan pengembangan wawasan pengetahuan dan keterampilan tentang perawatan pengasuhan, pemberian makan, dan tumbuh kembang anak sebagai hak ibu, tidak menjadi hak ayah.
Dalam Pasal 4 UU KIA tentang hak ibu, tidak dijelaskan siapa yang bertanggung jawab melakukan pengawasan dan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan ibu, seperti pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau pada masa sebelum hamil, masa kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan, serta jaminan gizi pada masa kehamilan, persalinan, pasca persalinan sampai anak berusia 6 bulan.
Narahubung:
- Dian Septi Trisnanti – 081804095097
- Rena Herdiyani – 08129820147