ZONAUTARA.com – Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) kini sudah berusia 70 tahun.
Salah satu kabupaten dengan luas wilayah terbesar (2.871,65 km²) di Provinsi Sulawesi Utara itu, diresmikan sebagai kabupaten pada 23 Maret 1954.
Secara administratif Bolmong dibagi menjadi 15 kecamatan dengan 2 kelurahan dan 200 desa (data 2017).
Perjalanan panjang Bolmong sebagai kabupaten, tentu telah melewati berbagai hal di bawah beberapa kepemimpinan kepala daerah yang silih berganti.
Sebagaimana daerah lainnya, tahun 2024 ini, masyarakat Bolmong juga akan menyambut pesta demokrasi lima tahunan.
Pada 27 November 2024 mendatang daerah Bolmong akan memiliki pemimpin yang baru.
Tentu sejuta harapan akan dihantarkan kepada pemimpin baru yang akan menahkodai masyarakat Bolmong yang sebagian besar menggantungkan ‘isi balanga‘-nya (penghidupan) sebagai petani.
Bolmong yang menjadi cikal bakal daerah otonomi baru Kota Kotamobagu, Bolmong Timur, Bolmong Utara dan Bolmong Selatan itu punya tanah yang subur dan dilimpahi kekayaan alam.
Ini bisa dilihat pada orang-orang Bolmong, yang hebat di bidangnya saat ini, sebagian besar orang tuanya berprofesi sebagai petani.
Pemimpin Baru Bolmong Harus Tanggap
Sektor pertanian menjadi tulang punggung sebagian besar masyarakat Bolmong. Ini harus menjadi perhatian bagi para pemimpin baru daerah yang juga dijuluki Tanah Totabuan.
Sebab, daerah yang diklaim sebagai lumbung pangan Provinsi Sulut ini, kini tengah diintai oleh dampak perubahan iklim global.
Harapan diletakkan pada pundak pemimpin baru untuk mengatasi dampak perubahan iklim ini?
Masyarakat Bolmong harus cerdas mencermati visi-misi dari calon pemimpin terkait isu ini.
Terutama masyarakat yang menggantungkan ‘isi balanga‘ sebagai petani, karena ancaman perubahan iklim pada sektor pertanian nampak nyata.
Petani di Bolmong paling banyak menggarap tanaman padi dan jagung, dengan Lolak, Lolayan serta Dumoga bersatu sebagai penyumbang terbesar pertanian ini.
Idealnya pemimpin baru daerah ini mampu memetakan komoditas pertanian masing-masing wilayah. Agar, dapat mendongkrak hasil pertanian.
Selain itu, pemerintah dan calon pemimpin yang baru, juga mampu memulihkan kemuliaan profesi petani. Karena jika dilihat minat generasi muda saat ini pada sektor pertanian sangatlah minim.
Tentu ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah, serta pemimpin baru di tanah Totabuan.
Semua harus menanggalkan ego sektoral dan mau berkolaborasi mencari solusi terbaik bagi petani yang bisa mendompleng perekonomian keluarga serta meningkatkan roda ekonomi daerah.
Keterampilan petani harus ditingkatkan, demikian pula kualitas hasil garapannya sehingga dapat menarik minat anak muda.
Sebab, dengan perkembangan teknologi saat ini kita butuh kecakapan anak muda, yang bisa berkolaborasi dalam mengimplementasikan digital farming atau pertanian berbasis digital.
Digital farming, bertujuan untuk efisiensi dan produktivitas pertanian. Terutama penggunaan teknologi yang ramah lingkungan.
Ancaman Perubahan Iklim Nyata pada Sektor Pertanian
Tahun ini Kabupaten Bolmong telah merasakan dampak dari perubahan iklim yang nyata.
Tentu, belum terlupakan oleh seluruh masyarakat Bolmong, banjir yang terjadi di dataran Dumoga Bersatu pada Juni 2024.
Bencana itu tidak hanya berdampak pada sektor pertanian, tetapi juga merusak fasilitas umum, pendidikan, hingga kerugian material bagi masyarakat.
Bahkan menjelang perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), bencana banjir kembali menerjang di lima kecamatan yang ada di Bolmong.
Dari dua kejadian di atas, ribuan lahan pertanian pun terdampak, yang berakibat terancam gagal panen.
Perubahan iklim yang nyata ini akan membawa berbagai ancaman serius terhadap sektor pertanian, yang merupakan tulang punggung ketahanan pangan dan ekonomi di Indonesia termasuk Bolmong.
Perubahan iklim dapat menyebabkan perubahan dalam pola curah hujan, termasuk terjadinya kekeringan yang lebih sering dan panjang, atau sebaliknya, banjir yang lebih sering.
Kekeringan dapat mengurangi ketersediaan air untuk irigasi, sementara banjir dapat merusak tanaman, menyebabkan kehilangan hasil panen, dan mengikis tanah pertanian.
Peningkatan suhu global dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Suhu yang terlalu tinggi dapat mempercepat evapotranspirasi, mengurangi kelembaban tanah, dan memperlambat pertumbuhan tanaman.
Tanaman yang tumbuh di suhu yang lebih tinggi juga mungkin mengalami penurunan kualitas hasil panen, seperti beras yang berkurang kandungan proteinnya.
Perubahan iklim dapat memperluas area yang dapat ditempati oleh hama dan penyakit tanaman.
Peningkatan suhu dan kelembaban dapat menciptakan kondisi yang lebih mendukung untuk penyebaran hama seperti belalang, serta penyakit yang disebabkan oleh jamur, bakteri, atau virus.
Ini dapat mengurangi produktivitas pertanian dan meningkatkan biaya produksi.
Perubahan iklim dapat mempercepat degradasi tanah melalui erosi dan penurunan bahan organik tanah.
Tanah yang kurang subur menghasilkan tanaman yang kurang produktif, memerlukan lebih banyak input seperti pupuk dan air, yang meningkatkan biaya produksi dan berdampak negatif pada lingkungan.
Dengan perubahan suhu dan curah hujan, musim tanam di berbagai wilayah mungkin bergeser.
Ini memaksa petani untuk menyesuaikan waktu penanaman dan pemanenan, yang bisa saja tidak sesuai dengan kondisi cuaca lokal yang baru.
Hal ini juga bisa mengakibatkan ketidaksesuaian antara periode tanam dengan waktu ketersediaan air.
Gabungan dari semua faktor di atas dapat menurunkan produksi pangan secara keseluruhan.
Penurunan hasil panen dapat menyebabkan kelangkaan pangan, kenaikan harga, dan memperburuk masalah kelaparan dan malnutrisi, terutama di daerah-daerah yang sangat bergantung pada sektor pertanian.
Untuk menghadapi ancaman-ancaman ini, diperlukan strategi adaptasi seperti pengembangan varietas tanaman yang lebih tahan terhadap kekeringan dan suhu ekstrem, perbaikan teknik irigasi, serta diversifikasi sumber daya pangan dan pendapatan petani.
Juga tak kalah penting menerapkan serta mengembangkan sistem pangan berkelanjutan, agar masyarakat petani tidak tergantung pada pupuk kimia yang dapat merusak lahan pertaniannya serta berdampak pada lingkungan sekitar.
Dengan perkembangan teknologi dan informasi tidak ada salahnya kita mengadopsi gaya pertanian daerah lain yang maju.
Lalu, diterapkan dan dikembangkan di Tanah Totabuan sesuai dengan kultur, sosial budaya masyarakat kita.
Sembari menunggu waktu menyalurkan hak suara pada Pilkada Bolmong 2024, yang akan menentukan siapa pemimpin baru Tanah Totabuan ini, kita merenung pada siapa suara kita akan dititipkan agar masa depan Bolmong sebagai lumbung padi terus terjaga.
Saatnya pemimpin baru Bolmong merdekakan petani!
***