ZONAUTARA.COM – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulawesi Utara (Sulut) resmi meluncurkan program TPS rawan dan menggelar koordinasi bersama media untuk persiapan peliputan tahapan pengawasan pungut hitung pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur 2024. Acara ini berlangsung di Kantor Bawaslu Sulut pada Selasa (25/11/2024).
Kegiatan tersebut dihadiri oleh sejumlah insan pers, perwakilan masyarakat, dan dibuka oleh pSteffen Linu, Anggota Bawaslu Sulut Divisi Pencegahan, Parmas, dan Humas.
Dalam pemaparannya, Steffen menegaskan pentingnya pemetaan potensi kerawanan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebagai upaya antisipasi terhadap gangguan yang dapat menghambat jalannya pemungutan suara.
“Bawaslu Sulut telah memetakan TPS rawan berdasarkan delapan variabel dan 25 indikator yang melibatkan data dari 1.568 kelurahan/desa di 15 kabupaten/kota. Dari hasil pemetaan tersebut, ditemukan 4 indikator dengan tingkat kerawanan tinggi, 6 indikator yang cukup banyak terjadi, serta 7 indikator lain yang jarang terjadi namun tetap perlu diantisipasi,” jelas Steffen.
Ia juga menyampaikan bahwa pemetaan ini menjadi panduan penting bagi berbagai pihak, termasuk KPU, pasangan calon, aparat penegak hukum, pemantau pemilu, dan masyarakat, untuk memastikan kelancaran pelaksanaan pemilu.
Sebagai bagian dari upaya mitigasi, Bawaslu menyediakan posko pengaduan masyarakat yang dapat diakses secara offline maupun online.
“Secara offline, masyarakat dapat datang langsung untuk melaporkan potensi pelanggaran. Sedangkan secara online, kami menyediakan akses melalui platform media sosial Bawaslu,” tambahnya.
Melalui peluncuran ini, Bawaslu Sulut berharap seluruh pihak dapat berperan aktif dalam menjaga integritas pemilu, sehingga proses demokrasi berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti.
“Kami mengajak semua elemen masyarakat untuk bersama-sama memitigasi potensi gangguan di lapangan dan memastikan pemilu yang demokratis dan berkeadilan,” tutup Steffen.
Variabel dan indikator potensi TPS rawan mencakup beberapa aspek penting. Pertama, terkait penggunaan hak pilih, meliputi DPT yang tidak memenuhi syarat, DPTb, potensi DPK, penyelenggara pemilihan di luar domisili, pemilih disabilitas yang terdaftar di DPT, serta adanya riwayat PSU atau PSSU.
Kedua, aspek keamanan, yang mencakup riwayat kekerasan, intimidasi, atau penolakan terhadap penyelenggaraan pemungutan suara. Ketiga, potensi terjadinya politik uang.
Keempat, politisasi isu SARA dan ujaran kebencian. Kelima, permasalahan netralitas, yang melibatkan penyelenggara pemilihan, ASN, TNI/Polri, kepala desa, dan/atau perangkat desa. Keenam, masalah logistik, seperti riwayat kerusakan, kekurangan atau kelebihan, serta keterlambatan logistik pemilu.
Ketujuh, lokasi TPS yang mencakup faktor sulit dijangkau, rawan konflik, rawan bencana, dekat dengan lembaga pendidikan, pabrik, pertambangan, rumah pasangan calon, posko tim kampanye, atau berada di lokasi khusus. Terakhir, kedelapan, adalah ketersediaan jaringan listrik dan internet.