Penulis: Muzayin Nazaruddin, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
ZONAUTARA.com – Setelah mengalami bencana, masyarakat terdampak akan menghadapi tarik-menarik antara mengingat dan melupakan bencana. Di satu sisi, mereka harus mampu melupakan bencana yang dialami agar bisa move on. Di sisi lain, masyarakat penyintas harus tetap merawat ingatan bencana, khususnya untuk mengenang keluarga dan kerabat yang menjadi korban, juga untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi ancaman bencana serupa di masa depan.
Dalam tarik-menarik ini, ingatan bencana selalu ada, tapi bukan sebagai memori yang terus diingat dalam keseharian. Memori bencana tersebut akan muncul sebagai ingatan aktif ketika dipicu oleh pemantik tertentu, misalnya tempat, benda, atau peristiwa.
Memori ini erat kaitannya dengan pemaknaan atas bencana. Dalam tsunami Aceh 2004, masyarakat Aceh menafsirkan bencana secara beragam.
Awalnya, terdapat narasi awal tsunami sebagai hukuman atau peringatan dari Allah. Lalu, seiring berjalannya waktu, muncul makna atas bencana yang disepakati secara sosial, yaitu tsunami sebagai ujian dari Allah.
Narasi tsunami sebagai ujian ini terbukti ampuh mempercepat proses pemulihan pascatsunami. Pemulihan psikologis bisa berjalan cepat karena orang-orang move on dari trauma tsunami dengan meyakini bahwa keluarga yang meninggal adalah syuhada, berada di surga. Sementara mereka yang masih hidup diberi kesempatan oleh Allah untuk hidup lebih baik lagi.
Langkah menyepakati narasi ini disebut sebagai memory canonization (kanonisasi memori), yaitu ketika pemerintah dan para elit yang berkuasa mengajukan tafsir atau narasi tertentu atas bencana yang terjadi, termasuk tentang apa yang harus diingat dan bagaimana mengingat bencana tersebut.
Kanonisasi memori bencana juga mewujud dalam pendirian monumen-monumen bencana dan acara-acara peringatan bencana. Sayangnya, kanonisasi memori seperti ini kerap meminggirkan atau melupakan narasi-narasi lain yang tidak sejalan dengan narasi utama yang diajukan. Ini membuat banyak monumen bencana di Aceh yang justru tidak memicu ingatan penyintas akan tsunami.
Kontestasi memori bencana
Pembangunan memorial permanen setelah peristiwa bencana adalah tren umum di masyarakat modern. Di Aceh, kita bisa menjumpai banyak sekali monumen tsunami—banyak diantaranya bahkan menjadi destinasi wisata.
Secara umum, monumen tsunami bisa dibedakan menjadi dua berdasarkan proses pendiriannya.
Pertama monumen yang didirikan dari puing-puing sisa tsunami, yang sengaja dijaga, dimodifikasi atau ditambahi elemen tertentu, dan dirawat sebagai monumen tsunami. Contohnya adalah Kapal PLTD Apung, Monumen Kapal di Atas Rumah di Lampulo, atau puing tsunami di Masjid Rahmatullah Lampuuk.
Kedua monumen yang sengaja didesain dan didirikan setelah tsunami sebagai bangunan baru, misalnya Museum Tsunami Aceh atau Tugu Tsunami yang didirikan di lebih dari 50 titik di Banda Aceh dan Aceh Besar.
Pendirian memorial bencana selalu bersifat politis. Monumen bencana adalah perwujudan nyata bagaimana pemerintah dan para elit mendorong dan merawat tafsir tertentu agar menjadi tafsir utama atas bencana. Ini bisa dilakukan dengan merancang desain arsitektur tertentu dan memilih koleksi atau narasi tertentu untuk disajikan di monumen.
Di sisi lain, proses kanonisasi tersebut tidak akan pernah final. Setelah didirikan, setiap monumen bencana akan menjadi tempat pembentukan, penguatan, modifikasi, pengubahan, hingga revisi tafsir atas bencana.
Dalam keseharian, masyarakat penyintas akan berinteraksi dengan monumen dalam beragam konteks—misalnya menjadi sumber penghasilan atau tempat menghabiskan waktu luang. Artinya, makna sebuah monumen bencana bisa bermacam-macam, yang seringkali tidak ada kaitannya sama sekali dengan narasi dan tujuan awal dari pihak-pihak yang menginisiasi monumen.
Penelitian yang sedang saya lakukan di Banda Aceh sejak November 2024 (belum dipublikasikan), menunjukkan bahwa di kalangan penyintas, ingatan tsunami justru sering kali dipicu oleh tempat tertentu yang berasosiasi dengan pengalaman mereka. Beberapa di antaranya seperti bangunan rumah tempat mereka selamat dari tsunami, kawasan pantai di mana mereka digulung tsunami, atau puing-puing rumah mereka.
Para penyintas ini merawat ingatan personal yang unik dan berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Ingatan ini juga berbeda dengan narasi utama yang dibangun pemerintah melalui monumen tsunami—saya menyebutnya sebagai the forgotten memories of tsunami (memori tsunami yang terlupakan).
Bagi para penyintas, monumen-monumen yang didirikan justru tidak memicu ingatan mereka pada tsunami. Memang, banyak monumen tsunami didirikan tanpa melibatkan warga lokal. Akibatnya, warga tidak merasa terhubung, alih-alih merasa memiliki monumen tersebut.
Monumen bencana dan pendidikan kebencanaan
Saat ini, 20 tahun setelah tsunami, kita masih bisa menjumpai para penyintas tsunami dengan mudah.
Dari mereka, kita bisa mendapatkan banyak kisah menarik yang sangat berguna untuk pendidikan kebencanaan. Misalnya: bagaimana penyintas membangun keluarga baru setelah tsunami; membangun kembali rumah dan desa mereka di tempat yang sama, di kawasan pantai; membangun kesadaran kultural tentang tsunami sembari hidup di tempat yang sangat rentan gelombang pasang, dan seterusnya.
Namun, seiring waktu para penyintas tersebut akan meninggal dan generasi berganti. Dari mana orang-orang baru dan generasi baru akan belajar tentang tsunami? Terlebih para pendatang yang pindah ke sana setelah tsunami dan menyewa rumah di kawasan pantai.
Lama kelamaan, mereka akan bergantung dari memorial tsunami di sekitar mereka, karena hanya itu artefak yang tersisa. Sayangnya, banyak memorial tsunami yang kini terlupakan, bahkan sengaja tidak dirawat.
Untuk memitigasi potensi risiko tersebut, saya merekomendasikan beberapa hal.
Pertama, kita bisa mendokumentasikan ‘memori tsunami yang terlupakan’ secara kreatif, misalnya dengan video dokumenter, komik, foto, konten media sosial, atau lainnya. Ini bisa berfokus pada ingatan dan kisah yang memberikan wawasan bagi upaya pengurangan risiko bencana dan pendidikan kebencanaan untuk generasi muda.
Kedua, kita perlu mendorong interaksi yang berkelanjutan dan bermakna antara warga lokal dengan monumen-monumen tsunami. Memorial bencana akan berfungsi secara maksimal—dalam merawat ingatan bencana sekaligus mendidik generasi muda tentang bencana—ketika terhubung dengan aktivitas keseharian warga sehingga memiliki makna, peran dan fungsi tertentu bagi warga.
Dalam konteks Aceh, ini dapat dilakukan melalui pelibatan siswa sekolah untuk berkunjung dan melakukan aktivitas tertentu di monumen. Langkah lainnya adalah pelibatan warga sekitar untuk merawat kembali memorial tsunami yang mulai terlupakan. Masyarakat juga dapat diajak berpartisipasi dalam pencarian dan pemilihan koleksi-koleksi yang akan dipamerkan di monumen atau museum tsunami.
Langkah-langkah tersebut bertujuan mendorong rasa kepemilikan warga atas monumen tsunami yang ada di lingkungan mereka. Dengan cara itu, mereka akan sukarela merawat monumen tersebut, menjadikannya bagian integral dalam upaya pengurangan risiko bencana.
Muzayin Nazaruddin, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.