ZONAUTARA.com –
“Saya jangan terlalu bahagia dan bergembira, setelah ini pasti ada kemalangan yang luar biasa”
Apakah anda akrab dengan perasaan itu?
Saat peristiwa bahagia dan gembira terjadi, bagi sebagian kita seringkali diikuti oleh perasaan khawatir yang mendalam.
Misalnya, saat kita mencoba untuk berpakaian yang nyentrik setelahnya kita akan mulai khawatir akan penilaian orang terhadap keseluruhan pribadi kita. Walaupun sebenarnya cara kita berpakaian adalah bentuk ekspresi diri dan mencintai diri sendiri.
Atau, saat scroll di sosial media dan menemukan mutual kita posting pencapaian terbarunya, entah mengapa perasaan kita bukan malah turut bangga dan bersemangat memotivasi diri tetapi justru merasa kita semakin tertinggal di belakang.
Contoh lain, pada beberapa malam kita kesulitan untuk tidur dan beristirahat karena kembali teringat kesalahan konyol yang kita lakukan 7 tahun yang lalu.
Cerita di atas merupakan contoh sederhana dari Sabotase Diri. Sabotase diri adalah tindakan atau pola pikir yang menghalangi seseorang mencapai tujuan dan kesejahteraannya. Umumnya, ini terjadi secara tidak sadar, dan menjadi hal yang sangat rentan apabila ini terjadi secara sadar.
Sabotase diri umumnya muncul sebagai strategi mekanisme koping untuk menghindari situasi stress dan traumatis di masa lalu. Sayangnya, hal itu biasanya memperburuk gambar diri pribadi dan membatasi kemampuan individu untuk berkembang secara sehat mental.
Secara sederhana kita menyabotase diri karena merasa tidak cukup mencintai diri. Cinta diri berbeda dengan narsistik.
Narsistik selalu rakus akan pujian dan ingin menjadi pusat perhatian, berbeda dengan narsistik, cinta diri adalah keadaan kita bersahabat dengan diri sendiri dan mampu melakukan positive self-talk.
Ibarat tumbuhan kita adalah biji bunga yang memerlukan tanah yang baik, air yang cukup dan terpapar sinar matahari. Tanah dapat berupa komunitas di sekeliling kita. Air adalah apa yang kita konsumsi baik untuk perut maupun sensori tubuh. Dan, matahari yang adalah tantangan untuk mendewasakan.
Kemampuan kita menerima cinta dari orang lain, berbanding lurus dengan kemampuan kita mencintai diri. Seseorang yang tidak cinta diri cenderung merasa insecure, tidak aman.
Memang, memberi kritik bagi diri sendiri cukup penting untuk perkembangan kita namun kerap suara kritikan itu terlalu keras bahkan destruktif.
Kritik destruktif yang berkepanjangan dapat membuat kita putus asa, depresi bahkan cenderung bunuh diri.
Lalu bagaimana menjadi sahabat yang baik untuk diri sendiri?
- Sahabat yang baik dapat secara objektif menilai kekuranganmu. Lihat ke dalam, berikan kritik yang cukup untuk memperbesar gaya pantulmu ke atas. Apabila terasa berlebihan, latih kesadaranmu. Tak perlu mencambuk dirimu sendiri dengan komentar negatif secara terus menerus. Berhenti untuk menata sejenak dan berjalanlah kembali.
- Seorang sahabat yang baik pasti bisa memotivasimu dan mengarahkanmu saat dalam situasi membingungkan. Kamu dapat memotivasi dirimu sendiri dengan positive self-talk. Berbicara kepada diri sendiri seperti menyirami tumbuhan dengan air yang baik. Kamu dapat berbicara hal baik seperti manifestasi hal baik misalnya “I’m enough, I’m good, I can overcome this, I’m loveable, I’m brave and strong but also soft, delicate and genuine. I love me just as I am”.
Berbicara pada diri sendiri merupakan salah satu bentuk terapi yang digunakan oleh psikolog dalam Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) untuk mengarahkan klien memperbesar lensa pada kekuatan diri tetapi juga memiliki rasa welas asih pada keterbatasan yang dimiliki.
Dengan melakukan hal tadi, sedikitnya kita dapat terhindar dari sabotase diri. Bagasi emosi lebih terbuka untuk dapat menerima cinta dari siapa saja.