Stigma lari sebagai olahraga yang murah, akankah tinggal kenangan?

Karena gengsi yang melonjak, orang-orang pun rela menghadiri sebuah perhelatan lari yang jauh sekalipun seperti luar kota bahkan luar negeri.

Ronny Adolof Buol
Penulis: Ronny Adolof Buol Editor: redaktur
Ilustrasi dari Pixabay/com (Efes)

Penulis: Niken P. Satyawati, Universitas Muhammadiyah Karanganyar

Lari adalah olahraga yang murah. Cukup dengan modal sepatu lari saja, yang harganya memang mahal untuk merk dan tipe tertentu saja, semua orang bisa melatih pernapasan dan aliran darah yang biasa disebut olah raga kardio. Tapi hal tersebut agaknya sudah mulai bergeser. Karena perubahan gaya hidup dan kemajuan teknologi khususnya media sosial yang bisa membagikan momen seseorang kapan pun dan di mana saja, olahraga lari sudah berkembang menjadi gaya hidup yang mendorong pelakunya untuk ‘bergaya’.

Semua berhulu pada tingkat kesadaran berolah raga masyarakat yang memang sudah tinggi. Karena itu banyak masyarakat yang memilih untuk melakukan lari bersama-sama secara berkelompok.

Hal inilah yang disambut oleh berbagai pihak untuk membuat acara lari dengan sentuhan bisnis. Gayung pun bersambut, animo masyarakat yang amat tinggi membuat hampir setiap event lari tidak pernah sepi. Karena itulah, mungkin karena terdorong ingin tampil keren dan menonjol di kerumunan, peserta lari juga berlomba-lomba untuk bisa tampil keren.

Konten dari akun Instagram @raythefitguy memuat wawancara terhadap beberapa pelari di Batam. Para peserta event lari mengaku mengalokasikan bujet yang cukup fantastis hingga belasan juta. Dari kepala sampai kaki, seorang pelari mengaku membeli seperangkat alat lari mulai dari topi (Rp1 juta), kacamata (Rp1 juta), headset (Rp2,8 juta), ikat pinggang (Rp700 ribu), kaos (Rp70 ribu), celana (Rp700 ribu), sepatu (Rp4 juta), jam tangan lari (Rp5 juta- Rp17 juta).

Geliat tinggi konsumerisme olah raga lari

Fenomena konsumerisme di dunia olah raga khususnya lari, sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Komunitas pelari tumbuh pesat di berbagai tempat bak jamur di musim hujan. Influencer lari bermunculan di aneka platform media sosial.

Garmin Indonesia mengungkap jumlah pelari di Indonesia pada 2024 meningkat tiga kali lipat dalam setahun terakhir. Per Mei 2024, jumlah pelari di Tanah Air yang mencatatkan perkembangan larinya melalui aplikasi Garmin sebanyak lebih dari 80.000 orang, naik dua kali lipat dari tahun lalu sebanyak 35.000 orang.

Advertisment:

Asosiasi lari Indonesia mencatat jumlah peserta event lari mengalami peningkatan 30%. Tidak kurang dari 257 event lari digelar di Indonesia hingga Agustus 2024. Ragam nomor lari yang digelar pun cukup variatif mulai dari fun run maupun race run berjarak menengah- jauh (800 meter- 10 kilometer). Lomba lari jarak pendek dengan mode balap sprint jarang diadakan karena tidak populer di kalangan masyarakat.

Karena gengsi yang melonjak tersebut, orang-orang pun rela menghadiri sebuah perhelatan yang jauh sekalipun seperti luar kota bahkan luar negeri. Beberapa event lari di Indonesia menjadi agenda rutin berskala internasional. Sebut saja Borobudur Marathon 2024 yang diikuti 10.500 peserta dari 32 negara. Siksorogo Lawu Ultra diikuti lebih dari 5.000 peserta dari 16 negara.

Padahal untuk ikut sebuah event, seseorang harus merogoh kocek cukup dalam. Kita ambil contoh biaya pendaftaran Siksorogo Lawu Ultra 2024. Untuk ikut kategori terendah 7 km senilai Rp300 ribu. Adapun yang menengah, kategori 30 km senilai Rp900 ribu. Kategori 50 km Rp1,2 juta dan kategori 120 km Rp1,75 juta. Itu biaya pendaftaran untuk peserta lokal. Biaya pendaftaran peserta asing lebih mahal. Ini pun baru biaya pendaftaran. Masih ada biaya kostum, penginapan, logistik, transportasi dan belanja foto yang harus dialokasikan setiap pelari untuk bisa tampil maksimal.

Jasa fotopun kebagian berkah lari

Antusias tinggi masyarakat terhadap olah raga lari otomatis menggairahkan perekonomian yang berefek domino mulai dari aparel olah raga, minuman isotonik, makanan sehat, perhotelan, leisure. Berkah efek domino olah raga lari kian luas hingga membuka pangsa pasar unik yaitu market place yang khusus menjual foto-foto bernama Fotoyu.

Layaknya Shutterstock, Fotoyu jadi wadah untuk narsis melalui foto-foto yang bisa diperjual-belikan. Dengan penerapan teknologi artificial intelligence (AI), Fotoyu bisa mengenali wajah para pengguna. Begitu foto dibayar, pengguna akan mendapatkan fotonya yang sedang berolah-raga di event tertentu versi high resolution.

Fenomena pamer konten lari di media sosial saat ini makin marak. Pamer tak sekadar pamer. Namun pamer melalui konten yang berkualitas, hasil karya fotografer profesional. Orang-orang makin bersemangat olah raga di lokasi yang menjadi tempat mangkal para fotografer. Harga setiap foto di aplikasi beragam. Rata-rata fotografer menawarkan Rp30- 40 ribu per foto. Harga foto lebih gila lagi saat ada event lari. Satu foto dihargai Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu. Seorang kenalan penulis berkisah, dirinya biasa mengeluarkan jutaan rupiah hanya untuk belanja foto saat mengikuti event lari. Belum untuk membayar kebutuhan lainnya.

Mungkin sekarang baru ada satu atau dua market place fotografi terkait minat tertentu seperti olah raga. Kelak bisa jadi akan ada banyak. Tak sedikit orang ikut berolah raga setelah melihat foto kawan yang bagus-bagus saat berolah raga. Meski begitu, kehadiran platform market place fotografi, sedikit banyak telah membantu memengaruhi masyarakat untuk lebih giat berolah raga. Untuk mendorong gaya hidup lebih sehat.

Pelari dadakan ‘kalcer’ berjamuran

Kini era orang serba pamer keeksisan. Tidak hanya pamer ketika traveling, makan mewah, aktivitas berolah ragapun marak dipamerkan. Foto bagus, pose bagus, mengenakan kostum bagus dan keren. Semua yang dikenakan dari kepala sampai kaki tertulis merk luar negeri. Mereka ini biasa disebut sebagai pelari “kalcer”, dari kata “culture”. Ini istilah bagi orang yang memadukan olahraga dengan fesyen dan gaya hidup. Harga sepatu pelari kalcer bisa jadi setara gaji beberapa bulan seseorang. Olahraga lari yang mestinya murah jadi mahal.

Berdasarkan hirarki kebutuhan Maslow, para pelari kalcer ini berada di level tertinggi. Mereka orang-orang yang butuh mewujudkan dan mengembangkan potensi dan juga bakat yang dimiliki. Sebuah cara mengaktualisasikan diri yang rumit namun menarik. Mereka masuk ke dunia lari. Mereka ikut komunitas lari. Mereka mengikuti event lari agar lebih meyakinkan sebagai pelari. Mereka membeli aneka perlengkapan lari. Lalu mereka menjadi pengguna aplikasi fotografi. Dari situ mereka mendapatkan bahan untuk pamer di media sosial.

Pada satu sisi platform ini juga membuat masyarakat menjadi semakin konsumtif. Meski demikian, pengguna juga senang-senang saja karena bisa mendapatkan foto dirinya yang berkualitas. Fotografer pun senang ketika hasil karyanya laris manis. Supaya koleksi foto tidak membosankan, pengguna membeli kostum baru. Beli sepatu baru yang direkomendasikan para influencer lari. Penjual dan pengusaha perlengkapan olahraga ikut diuntungkan. Semua diuntungkan. Semua senang.

Di tengah fenomena pelari kalcer, ada yang tetap menempuh jalan sunyi. Mereka sebut saja pelari yang rendah hati. Orang yang berlari karena memang ingin berlari, bukan karena motif lain. Orang-orang yang tetap berlari meski tanpa dokumentasi. Mereka yang tetap berlari baik bareng-bareng maupun sendiri. Mereka tak memikirkan merk kostum, yang penting nyaman dan layak untuk lari. Mereka sudah berlari sebelum lari menjadi olah raga yang paling tren seperti saat ini.

Bagi penulis, tidak ada yang salah mau menjadi pelari kalcer ataupun menjadi pelari rendah hati. Keduanya tidak perlu dipertentangkan, misalnya dengan kalimat nyinyir “lebih baik outfit murah tapi larinya cepat, daripada outfit mahal tapi larinya lambat” seperti kata seorang influencer. Bagi penulis, semua sama-sama sah sebagai pelari. Kedua kelompok ini juga sama-sama bermartabat. Bukankah semua sama-sama berkontribusi membangun ekosistem hidup sehat yang melahirkan generasi sehat. Generasi Indonesia harus sehat, agar bangsa ini makin maju dan kuat.


Niken P. Satyawati, Dosen, Universitas Muhammadiyah Karanganyar

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



TAGGED:
Share This Article
Follow:
Pemulung informasi dan penyuka fotografi
Leave a Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.