ZONAUTARA.com – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengurangi produksi nikel tahun ini di tengah merosotnya harga komoditas tersebut di pasar global. Namun, sejumlah pakar mengkritik kebijakan ini sebagai langkah yang tidak strategis dan merugikan Indonesia, negara dengan cadangan bijih nikel terbesar di dunia.
Kebijakan pemangkasan produksi nikel
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa rencana pengurangan produksi ini bertujuan menjaga keseimbangan pasar.
“Kami sedang mengkaji total kebutuhan nikel. Dari situ, akan dievaluasi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) agar produksi tidak berlebihan dan dapat terserap optimal oleh industri,” ungkapnya dalam konferensi pers di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bahlil menegaskan, langkah ini diambil untuk menjaga harga nikel agar tidak anjlok lebih jauh. Ia menjelaskan bahwa lonjakan produksi dapat menyebabkan harga semakin tertekan, sehingga perusahaan tambang akan mengalami kerugian.
“Yang terbaik adalah produksi sesuai kebutuhan dengan harga yang stabil. Kalau produksi terlalu banyak, harga akan jatuh, dan itu merugikan semua pihak,” tambahnya.
Kritik dari pakar
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai kebijakan ini kurang tepat. Ia mengungkapkan bahwa kebutuhan bijih nikel untuk smelter domestik saat ini belum mencukupi, sehingga beberapa smelter terpaksa mengimpor bijih nikel dari negara lain seperti Filipina.
“Kebijakan ini kontradiktif. Ketika Indonesia melarang ekspor bijih nikel mentah untuk mendukung hilirisasi, tetapi justru smelter kita bergantung pada impor. Hal ini mengurangi nilai tambah yang seharusnya dinikmati sepenuhnya oleh Indonesia,” ujar Fahmy.
Fahmy juga meragukan pemangkasan produksi nikel akan mampu mendongkrak harga global.
“Ada banyak negara penghasil nikel lain yang dapat memenuhi kebutuhan pasar, sehingga keseimbangan harga tidak akan banyak terpengaruh,” jelasnya.
Keuntungan dan kerugian kebijakan
Menurut Fahmy, pengendalian produksi nikel memang dapat memperpanjang usia cadangan tambang di Indonesia. Namun, di sisi lain, kebijakan ini mengorbankan potensi nilai tambah yang signifikan dari industri nikel.
Ia menyarankan pemerintah untuk membatasi pembangunan smelter baru, bukan memangkas produksi bijih nikel.
“Yang lebih penting adalah moratorium smelter. Dengan begitu, kebutuhan smelter yang ada bisa terpenuhi tanpa harus mengurangi produksi nikel,” paparnya.
Fahmy juga menyoroti kesalahan pemerintah saat awal pelarangan ekspor bijih mentah, yaitu mengundang banyak investor, khususnya dari China, untuk membangun smelter dalam jumlah besar.
“Sekarang, fokusnya seharusnya pada moratorium smelter untuk menjaga keseimbangan antara permintaan dan suplai,” tegasnya.
Perspektif lingkungan
Kepala Divisi Public Engagement WALHI, Adam Kurniawan, mempertanyakan implementasi kebijakan ini. Ia menyoroti apakah pemangkasan produksi berarti ada pencabutan izin tambang atau hanya penyesuaian skala pengolahan tanpa menyentuh jumlah tambang yang ada.
Adam menegaskan bahwa kebijakan ini tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap lingkungan jika tidak diikuti dengan pencabutan izin tambang dan rehabilitasi lahan yang telah dieksploitasi.
“Kerusakan lingkungan akibat tambang tidak langsung terlihat, tetapi akan menjadi bencana dalam beberapa tahun ke depan jika tidak ada langkah pemulihan,” jelasnya.
Ia juga mencurigai bahwa alasan utama kebijakan ini lebih terkait dengan harga nikel yang merosot, bukan pertimbangan lingkungan.
“Jika ingin mengurangi dampak lingkungan, pemerintah harus mencabut izin tambang dan melakukan rehabilitasi di lahan-lahan yang sudah rusak,” pungkas Adam.