ZONAUTARA.com – Kabar tentang Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) akan dijual menghebohkan warga. Alasannya dilatarbelakangi oleh adanya penurunan kualitas secara signifikan bangunan museum yang terletak di Kelurahan Lawangirung, Jalan WR Supratman, Kecamatan Wenang, Kota Manado itu.
Demikian disebutkan Plh. Kepala Seksi Museum UPTD Taman Budaya dan Museum, Alfred Pontolondo, dalam keterangan tertulis yang diterima Zonautara.com, tertanggal 14 Februari 2025.
Lelaki yang juga dipercayakan sebagai Koordinator Forum Perupa Sulawesi Utara ini, berharap agar Pemerintah Provinsi Sulut dapat mengambil langkah serius untuk menyelamatkan museum sebelum kondisinya semakin buruk.
Namun, dikatakannya, jika memang tidak memiliki komitmen untuk menyelamatkan museum sesuai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan serta Peraturan Pemerintah nomor 66 tahun 2015 tentang Museum, maka untuk menyelamatkan dan merevitalisasi museum, diharapkan Pemprov Sulut dapat mengambil salah satu dari dua langkah yang dia sarankan.
“Pertama, mengembalikan Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara untuk dikelola di bawah Direktorat Sejarah dan Permuseuman Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Kedua, menjual Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara ke pihak Swasta agar dikelola secara profesional,” ucapnya.
“Akan tetapi, yang jauh lebih diharapkan adalah, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dapat mengubah arah kebijakan dan mau menyelamatkan Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara,” tuturnya.

Sejarah berdirinya Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara
Bagaimana sejarah awal berdirinya Museum Negeri Sulut? Alfred menguraikan, ceritanya berawal dari inisiatif Bola Lensun, seorang warga dari Rasi, Minahasa Tenggara yang menyerahkan benda-benda temuannya.
Pada tahun 1974 hingga 1978, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia membangun Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara.
Ada ribuan benda koleksi dari berbagai daerah di Sulawesi Utara tersimpan di Museum ini. Salah satu koleksi bersejarah adalah meja tempat Letkol Ch Taulu memimpin rapat di rumah Mayor Servius Wuisan di Manado. Rapat itu menghasilkan gerakan 14 Februari 1946 di mana para penjuang merebut markas Tentara Belanda di Teling Manado dan di Tomohon.
Hingga tahun 2016 kondisi Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara berjalan dengan baik. Berbagai koleksinya dipamerkan lewat pameran tetap koleksi di Museum, pameran temporer, serta pameran keliling Nasional.
Awal perubahan kondisi Museum
Keadaan berubah sejak tahun 2017, ketika Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara tidak lagi dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetapi beralih menjadi bagian dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara di bawah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan lalu setelah dimekarkan, beralih di bawah kewenangan Dinas Kebudayaan Daerah.
Alfred menerangkan bahwa sejak itu, kualitas pengelolaan Museum terus menurun hingga kondisinya kritis seperti saat ini. Penurunan dimulai dari kondisi fisik bangunan Museum dan gedung konservasi yang semakin tua, dengan struktur bangunan yang mulai rapuh.
Di sana-sini temboknya retak dengan tulang besi yang sudah keropos. Atap dan plafon bangunan pun banyak yang bocor bahkan runtuh. Di dalam gedung, sebagian besar ruang pamer dalam kondisi gelap tanpa penerangan sama sekali.
Penurunan berikutnya adalah hilangnya sejumlah besar asset barang non-koleksi milik Museum. Termasuk ratusan buku koleksi perpustakaan yang terpaksa dimusnahkan karena telah rusak oleh rayap.
“Dari tenaga pengelolanya pun menyusut. Sebelum beralih, Museum dikelola oleh lebih dari 50 orang pegawai dan tenaga teknis. Kini, Museum hanya dikelola oleh 7 orang staf yang tidak memiliki kompetensi dalam mengkonservasi benda koleksi,” sebutnya.
Penurunan kualitas di semua lini mengancam keberadaan benda-benda koleksi Museum. Salah satu koleksi yang beresiko rusak adalah specimen ikan Coelacanth yang dititip oleh Gubernur Olly Dondokambey ke Museum.
Specimen ini menjadi ikon yang sangat menarik perhatian pengunjung, khususnya anak-anak. Kini, specimen tersebut dipenuhi jamur dengan cairan pengawet yang tidak diganti dalam tiga tahun terakhir. Museum tidak memiliki anggaran untuk membeli cairan pengawet baru.
“Sebenarnya, Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara memiliki kesempatan untuk berbenah. Di tahun 2021, Direktorat Museum dan Cagar Budaya Kemendikbudristek RI memberi bantuan Dana Alokasi Khusus non fisik untuk pengembangan Museum sebesar 1,3 miliar rupiah. Tahun 2022 sebesar 1,5 miliar rupiah dan tahun 2023 sebesar 1, 8 miliar rupiah,” kata dia.
Namun, di tahun 2024, Kemendikbudristek menghentikan pemberian bantuan DAK setelah mengevaluasi tidak ada dampak positif yang terlihat baik secara fisik maupun kualitas pelayanan Museum pasca bantuan itu diberikan.
“Hal itu baru diketahui setelah salah seorang pejabat Kemendikbudristek berkunjung ke Museum pada tahun 2023. Kemana dan untuk apa dana itu dipakai, tidak banyak yang tahu, karena akses informasi di internal Dinas Kebudayaan Daerah Provinsi Sulawesi Utara tertutup terkait hal ini,” sebutnya.
“Evaluasi lain yang mendorong Kemendikbudristek menghentikan pemberian bantuan Dana Alokasi Khusus ke Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara adalah tidak adanya Rehabilitasi Fisik atas bangunan Museum oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara,” urai Alfred lagi.
Menurutnya, sejak Agustus 2024 hingga Februari 2025, Museum tidak didukung anggaran sedikitpun untuk pemeliharaan bangunan dan koleksi. Demi membeli bahan dan alat kebersihan, pengelola bergantung pada belas kasihan para pengunjung yang secara sukarela mengisi kotak donasi.
Kondisi dengan ketiadaan anggaran operasional, sumberdaya pengelola yang terus menyusut serta fisik bangunan museum dan gedung konservasi yang semakin tua dan beresiko ambruk, dapat berujung Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara ditutup dan sejarahnya pun hilang.
Kata Dinas Kebudayaan Sulawesi Utara
Kepala Dinas Kebudayaan Sulawesi Utara, Jani Niclas Lukas, menegaskan bahwa kabar mengenai penjualan Museum Negeri Sulawesi Utara adalah tidak benar.
Menurutnya, informasi tersebut muncul akibat tindakan salah satu pegawai museum yang memasang baliho bertuliskan “Museum Dijual” tanpa seizin pihak terkait.
Lukas menjelaskan bahwa tindakan pegawai tersebut dilakukan secara diam-diam dan mengejutkan banyak pihak. Ia juga menekankan bahwa sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), tindakan semacam itu melanggar kode etik dan tidak dapat dibenarkan.
“Saya tidak tahu apa motifnya, tetapi sebagai ASN, tindakan seperti ini tidak boleh dilakukan. Ini murni ulah individu dan bukan kebijakan resmi,” ujar Lukas.
Lukas juga mengungkapkan bahwa meskipun kabar penjualan museum tidak benar, kondisi bangunan memang membutuhkan perbaikan serius. Museum yang telah berusia lebih dari 50 tahun ini mengalami berbagai kerusakan, terutama pada jaringan listrik dan sistem air.
Menurutnya, selama beberapa tahun terakhir hingga 2023, Direktorat Museum dan Cagar Budaya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah mengalokasikan anggaran bagi Museum Negeri Sulawesi Utara. Namun, dana tersebut hanya diperuntukkan bagi pemeliharaan koleksi, sosialisasi, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM), bukan untuk perbaikan fisik gedung.
“Kementerian telah memberikan dana pendamping, tetapi pemerintah daerah juga diharapkan berkontribusi dalam penganggaran perbaikan fisik museum,” jelasnya.
Melihat kondisi museum yang memerlukan perbaikan besar, Lukas mengungkapkan bahwa pemerintah provinsi telah berupaya membangun museum baru. Namun, hingga saat ini, anggaran untuk pembangunan tersebut belum terealisasi.
Bahkan, Direktorat Jenderal Kebudayaan telah mengunjungi lokasi dan merekomendasikan relokasi museum ke tempat yang lebih layak.
Lukas juga membantah isu bahwa banyak koleksi bersejarah di Museum Negeri Sulawesi Utara telah hilang atau mengalami kerusakan. Ia menegaskan bahwa pihak museum secara berkala melakukan pengecekan dan inventarisasi terhadap koleksi yang dimiliki.
***