Mengenal ‘Monuntul’, tradisi masyarakat Bolmong di penghujung Ramadan

Komodifikasi budaya jadi tantangan eksistensi monuntul.

Indra Umbola
Penulis:
Editor: Marsal Datundugon
Seorang warga sedang memasang lampu tradisional di Desa Otam. (Foto: Zonautara.com/Ronny A. Buol)

ZONAUTARA.com—Sebuah pemandangan unik akan terlihat pada penghujung bulan Ramadan di wilayah Bolaang Mongondow Raya (selanjutnya disebut Bolmong), Sulawesi Utara. Di wilayah ini ada sebuah tradisi unik yang dilakukan masyarakat pada malam ke-27 hingga 29 Ramadan.

Tradisi dimaksud adalah monuntul yang berasal dari kata dasar tuntul yang berarti lampu. Sedangkan, monuntul berarti pasang atau menyalakan lampu.

Umumnya lampu yang digunakan dalam tradisi ini adalah lampu botol yang terbuat dari bekas botol minuman yang diberi sumbu dan berbahan bakar minyak tanah atau minyak kelapa. Ada juga sebagian kecil masyarakat yang menggunakan lilin sebagai pengganti lampu botol.

Beberapa waktu belakangan, masyarakat juga mulai menggunakan lampu hias bertenaga listrik untuk menambah kemeriahan monuntul.

Tradisi ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari bulan Ramadan di Bolmong. Pendek kata, tanpa diinstuksikan pun tradisi ini akan tetap terlaksana. Hal itu mengindikasikan bahwa tradisi monuntul telah mengakar dalam laku hidup masyarakat khususnya umat muslim setempat.



Sejarah tradisi monuntul

Budayawan Bolmong, Chairun Mokoginta berpandangan, monuntul telah ada sebelum masyarakat BMR memeluk agama Islam. Menurutnya, tradisi monuntul berawal dari kebiasaan orang yang menerangi rumah baru sebelum menempatinya.

“Sebelum seluruh keluarga menempati tempat ini maka terlebih dahulu dipasangkan lampu di sana. Dan dijaga seseorang yang sepanjang malam tidak tidur,” ujarnya saat dihubungi Zonautara.com, Kamis (27/03/2025).

Tradisi itulah yang kemudian berkembang menjadi monuntul ketika agama Islam mulai dipeluk oleh masyarakat Bolmong.

Akademisi Bolmong, Donal Qomaidiasyah Tungkagi juga berpendapat demikian. Dijelaskannya, meski saat ini belum ada riset khusus tentang genealogi tradisi ini namun dapat dipastikan monuntul yang berfungsi sebagai penerangan sudah ada jauh sebelum Islam hadir.

“Meski perlu diverifikasi lagi, sejauh ini saya sependapat jika tradisi monuntul untuk penerangan rumah, jalan dan masjid khusus di akhir Ramadan dipengaruhi Gorontalo. Tepatnya ketika Tim Sembilan yang dipimpin Imam Tueko menyebarkan agama Islam di pedalaman Bolmong, tepatnya di Simboi Tagadan atau Motoboi Kecil saat ini. Islam di Gorontalo secara historis lebih tua dari Bolmong,” terangnya saat dihubungi.

Lanjut Donal, sejauh ini interpretasi historis yang paling rasional tentang tradisi monuntul adalah pengaruh Imam Tueko dari Gorontalo yang datang ke Bolmong di masa Raja Jacobus Manuel Manoppo (1833-1858).

“Karena narasi historis tentang tumbilotohe (tradisi pasang lampu di Gorontalo) lebih tua, sekitar abad 15 atau 16,” ungkapnya.

Adapun yang terjadi ketika budaya Mongondow berjumpa dengan budaya Islam dari Gorontalo adalah proses inkulturasi.

“Berupa penerimaan dan penghayatan tradisi baru secara organik sehingga menyatu tanpa terlihat lagi sebagai unsur asing,” ujar Donal yang juga merupakan Dosen di IAIN Gorontalo.

Makna jumlah tuntul yang dinyalakan

Dalam prakteknya, monuntul dilakukan dengan menyalakan lampu botol dan diletakkan di depan rumah, entah itu di pagar atau di area teras rumah. Jumlah lampu botol setiap rumah cukup beragam, umumnya sesuai dengan jumlah penghuni rumah. Misalnya, jika penghuni rumah berjumlah lima orang maka lima lampu botol akan dinyalakan.

“Karena masyarakat Mongondow beranggapan bahwa orang per orang masing-masing punya rezeki, jalan hidup yang berkaitan dengan kehidupan di dunia ini,” ucap Chairun.

Di sisi lain, Donal menjelaskan, jumlah lampu yang dipasang erat kaitannya dengan solidaritas sosial masyarakat Bolmong.

“Dulu jumlah tuntul yang dipasang di depan rumah sebanyak jumlah penghuni rumah. Itu simbol komunikasi pada amil zakat ketika berkunjung, baik untuk mengambil zakat atau pun memberi zakat,” jelas Donal.

Monuntul merupakan wujud ekspresi religius sekaligus kultural yang memiliki narasi mendalam tentang spiritualitas, solidaritas sosial, dan identitas kultural. Hal itulah, menurut Donal, yang membuat monuntul mengakar kuat dalam kesadaran kolektif masyarakat Bolmong.

“Meski mulai pudar, sisi spiritualitas ini punya makna terdalam. Sebelum tuntul dinyalakan, dibacakan surat Al-Qadr, harapannya mendapatkan keberkahan dan pencerahan di malam Lailatul Qadar,” terang Dosen Sosiologi Agama ini.

Komodifikasi budaya dan tantangan eksistensi monuntul

Dalam sisi identitas kultural, tuntul menjadi simbol kebersamaan dan penegas identitas lokal Bolmong.

“Ini yang paling tampak sekarang, terutama pasca lampu minyak diganti lampu listrik dan diperlombakan. Tuntul bergeser tidak hanya ritual spiritual, tapi jadi ajang prestise sosial,” ujarnya.

Dengan adanya kandungan spiritualitas, solidaritas sosial, dan identitas kultural, ia optimis monuntul akan tetap dipertahankan masyarakat Bolmong sebagai tradisi sekalipun tak ada aturan yang mewajibkan pelaksanaan tradisi itu setiap Ramadan.

“Meski tidak ada kewajiban, masyarakat akan terus pertahankan tuntul sebagai tradisi. Bukan semata karena idealisme tradisi sebagai jati diri. Lebih dari itu, tuntul belakangan jadi alat komodifikasi budaya,” terangnya.

Bahkan menurut Donal, ada desa yang mampu menjadikan tradisi monuntul sebagai objek wisata Ramadan dan sumber pendapatan desa.

Meski tidak selalu bermakna negatif, akan tetapi pergeseran makna akibat modernitas menjadi tantangan tersendiri dalam diskursus tentang monuntul.

“Di sini justru jadi ruang reinterpretasi tradisi. Tantangannya justru bagaimana budayawan, imang (imam), jiow (pemuka agama), guhanga (tetua atau tokoh masyarakat) dan lain-lain mampu memastikan reinterpretasi itu tidak menjadikan nilai kultural dan spiritual sekedar larut dalam komodifikasi budaya,” tutupnya.

Follow:
Mengawali karir junalistik di tahun 2019, mulai dari media cetak hingga beberapa media elektronik sebelum akhirnya bergabung dengan Zonautara.com di tahun 2024.
1 Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com