ZONAUTARA.com – Setelah sempat tertunda beberapa hari, akhirnya pada Sabtu (05/04/2024) rencana perjalanan ke Gorontalo pun terwujud. Beberapa tahun terakhir setelah Idul Fitri, saya selalu melakukan perjalanan dengan rute Kotamobagu-Gorontalo. Perjalanan kali ini tak berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya.
Awalnya, saya menarget start pukul 09.00, namun saya baru selesai persiapan mendekati pukul 11.00. Dalam perjalanan kali ini, saya ditemani dengan Ramdan dan Atika. Dua sejoli ini pun sama, mereka telat bersiap. Meski tak terucap namun saya menduga circle pertemanan ini menganut konsep slow living . Kami sama sekali tak buru-buru.
Di sisi lain, Burak (nama sepeda motor kesayangan saya) sudah siap jauh-jauh hari. Bahkan dalam tiga tahun terakhir Burak selalu siap sedia diajak bepergian kemanapun, kapanpun. Entah berapa rupiah yang telah keluar untuk membuatnya selalu siaga. Saya tak ingat pernah menghitungnya.
Setelah berpamitan dan merapal sekian banyak doa yang bisa diingat sebagai modal di jalan, kami perlahan menuju batas kota. Pukul 11.26 saat matahari sedang terik-teriknya, setelah menyelesaikan segala hajat, kami mulai memacu kendaraan keluar dari Kotamobagu.
Burak yang memang siap sedia diajak touring sama sekali tak rewel sejak tarikan pertama. Bahkan dulu, ia seringkali dipacu lebih dari 120 km/jam. Tentu itu adalah masa-masa sebelum saya dan Burak menghantam Toyota Kijang Super di Blongko, Minahasa Selatan dua tahun lalu dengan kecepatan yang sama.
Sedikit menikung saat mendaki puncak Tumuyu dan turun ke Toruakat, kami disuguhi trek lurus di wilayah Dumoga selama kurang lebih 40 menit. Rute yang kami ambil kali ini adalah rute pantai Selatan. Lalulintas yang tak begitu ramai membuat sepeda motor melaju mulus. Beberapa kali kami harus melambat ketika melewati kantin pembangunan rumah ibadah. Tak kurang dari delapan kantin pembangunan berdiri di sepanjang jalan utama Dumoga. Sungguh sebuah bentuk solidaritas sosial yang telah terbangun dan mengakar di masyarakat.
Setelahnya, kami mengarah ke pantai Selatan dengan trek yang mulai menikung. Di sini saya sengaja menambah kecepatan dan menyalip Ramdan yang sedari tadi di depan. Ini semacam penyesuaian agar tak kagok di medan menikung. Keterampilan berkendara mulai diuji di jalur ini.
Kurang lebih pukul 12.31 kami tiba di SPBU Molibagu. Ramdan harus menambah bahan bakar. Perjalanan dilanjutkan dengan pemandangan laut di sebelah kiri dan gunung di sebelah kanan.
Meski lengang, sesekali ada rombongan-rombongan kecil harus kami salip. Tak ada kendala, hanya sesekali saya harus mengumpat ketika beberapa mobil dari arah berlawanan dengan sengaja mengambil lajur kanan dan hampir menyerempet kami di tikungan. Rasanya mengumpat para sopir itu termasuk dalam beberapa dosa awal saya setelah bulan puasa.
Keperluan akan kandungan nikotin untuk rileks sejenak membuat kami sepakat berhenti di spot foto Landia, di jalan Mamalia-Taludaa. Letaknya yang berada di punggungan bukit dan dipenuhi macam-macam pohon rindang membuatnya teduh. Cocok untuk tempat istirahat. Bila memandang ke arah laut akan terlihat hamparan luas berwarna biru. Sayang penglihatan kami agak terhalang dengan beberapa pohon yang mulai meninggi.
Pemandangan yang terlihat sepanjang menyusuri pantai selatan relatif sama. Di desa-desa dekat pantai terlihat banyak perahu tertambat. Entah karena si empunya perahu sedang libur lebaran atau karena laut tak lagi menghasilkan.

Melewati perbatasan Sulut dan Gorontalo, kami terus melaju hingga harus melambat saat tiba di Kabupaten Bone Pantai, jalan berdebu akibat perbaikan di sana-sini adalah penyebabnya. Kondisi jalan yang sama hingga kami tiba di Pelabuhan Gorontalo. Debu di mana-mana, bahkan hingga masuk ke mata.
Di pelabuhan kami harus singgah, kira-kira pukul 16.00. Dan inilah alasan kenapa mengambil jalur selatan sebagai rute pergi, padahal biasanya jalur ini adalah rute pulang.
Tadi sebelum berangkat saya telah membuat janji bertemu dengan Tommy, seorang sahabat lama yang sore hari ini sudah harus naik kapal pulang ke Bau-bau, Sulawesi Tenggara.
Setelah menunggu kurang lebih satu jam, Tommy tiba di pelabuhan. Kami mencarinya, tak kunjung bersua. Ternyata salah pelabuhan. Kami menunggunya di Pelabuhan Ferry Gorontalo. Sedang dia di Pelabuhan Gorontalo. Jaraknya 15 menit perjalanan.

Setelah bertemu, kami bertukar kabar dan lanjut bercengkrama tentang hal-hal lucu di masa lalu. Kami sepertinya sama-sama sepakat tak membanggakan pencapaian masing-masing sebab bisa merusak suasana reuni dadakan tersebut. Sepertinya orang-orang harus menormalisasi prinsip seperti ini.
Karena waktu yang terbatas, pertemuan harus berakhir dengan tak banyak canda yang ditertawakan. Untung kami sempat foto bersama sebagai kenang-kenangan dan jadi bahan candaan di grup Whatsapp.
Selepas Maghrib kami berpisah. Tommy berangkat menuju dek kapal, sedangkan saya, Ramdan dan Atika menuju Isimu di rumah salah satu teman yang sedari tadi meminta kami singgah.
Melewati Kota Gorontalo, kami disambut dengan segala hiruk pikuk khas perkotaan. Di kiri kanan jalan utama nampak pusat perbelanjaan dan keramaian. Sepertinya Gorontalo memang benar-benar serius berbenah dan membangun sejak pisah dari Sulut tahun 2001 silam. Kota Gorontalo betul-betul memantaskan diri sebagai wajah Provinsi Gorontalo, seperti Manado di Sulut. Lantas bagaimana dengan Bolaang Mongondow Raya? Entahlah.

Satu jam berkendara, kami tiba di Isimu di rumah Mei dan disuguhi makan malam. Tak satu pun alasan menolak. Setelah makan, kami segera bersiap melanjutkan perjalanan. Waktu menunjukkan pukul 20.36. Tujuan saya ke Marisa, Ramdan dan Atika ke Paguat, keduanya ada di Kabupaten Pohuwato, kira-kira tiga jam perjalanan dari Isimu. Malam kian pekat, daya lihat menurun. Kami menuju Pohuwato dengan kecepatan rendah, rata-rata hanya 50 km/jam.
salah pelabuhan WKWKWKWKKWKW