ZONAUTARA.com – Setelah beristirahat penuh pada hari sebelumnya, akhirnya keinginan saya menuju Torosiaje terwujud pada Rabu (09/04/2025). Itu bertepatan dengan hari kelima saya berada di Gorontalo.
Torosiaje merupakan desa wisata yang terletak di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo.
Desa ini memiliki keunikan tersendiri dibanding desa-desa lain di Indonesia. Jika kebanyakan desa di Indonesia terletak di daratan, maka Torosiaje sebaliknya. Desa ini ada di atas permukaan air laut di kawasan Teluk Tomini. Desa Torosiaje dihuni oleh masyarakat suku Bajo yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.
Dikutip dari laman resmi Kemendikdasmen RI, suku Bajo dikenal sebagai ‘pengembara laut’ karena gaya hidup mereka yang sebagian besar dihabiskan di atas perahu atau rumah panggung yang terapung di laut.
Suku Bajo dipercaya berasal dari wilayah Filipina Selatan sebelum akhirnya menetap di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara.
Dalam catatan Ronny Buol disebutkan, menurut hikayat, putri Raja Elolo Bajo hanyut terbawa arus. Diutuslah Patta Sompa untuk mencari sang putri. Melintas di Teluk Tomini, sang utusan menunjuk sebuah tanjung untuk beristirahat.

“Kita pasemba matoro ore“, yang artinya “kita akan singgah di tanjung sana”. Yang ditunjuk adalah Tanjung Salam Penguh, yang kini lebih dikenal sebagai Torosiaje. Dan sejak perahu Patta Sompa terikat di batang pohon lolaro, sejak itu pula secara perlahan pemukiman suku Bajo di Torosiaje terbentuk.
Saya yang berangkat dari Marisa perlu waktu kurang lebih dua jam untuk tiba di Desa Torosiaje Jaya yang merupakan pelabuhan untuk menyeberang ke Desa Torosiaje. Dari sini perjalanan dilanjutkan dengan perahu berkapasitas kurang lebih tujuh orang yang ditenagai mesin ketinting.
Yani Pakaya yang mengemudikan perahu terlihat sangat terampil. Tak ada satu pun gurat keraguan di wajah pria paruh baya itu. Kepercayaan dirinya membuat saya yang tak kunjung mahir berenang merasa aman. Perjalanan kurang lebih sepuluh menit dengan lintasan lurus itu berlangsung mulus.
Dalam perjalanan dengan jarak kurang lebih satu kilometer tersebut terlihat hutan mangrove yang subur di kiri kanan. Nampaknya orang-orang di sini mencintai laut beserta seluruh makhluk yang tumbuh dan hidup di dalamnya.
Kekaguman saya makin bertambah saat perahu mulai ditambatkan di Torosiaje, dan terdengar orang-orang bercakap dalam bahasa Bajo sebab masih digunakannya bahasa lokal adalah bukti lestarinya budaya di tempat tersebut.
Setelah menapaki lantai yang terbuat dari kayu, saya seakan ada di dunia berbeda. Desa di atas air ini memiliki segala fasilitas umum yang cukup lengkap, mulai dari sekolah, Puskesmas, masjid, bahkan lapangan olahraga, dan masih banyak lainnya.

Di beberapa titik terdapat pemancar WiFi. Hal ini seakan menegaskan bahwa mereka berbeda tapi bukan tertinggal. Mereka pun sudah dapat menjamah segala jenis informasi dari dunia luar melalui internet.
Riuh anak-anak yang bermain menambah kemeriahan sore yang mulai mendung itu. Ada yang berlarian di lorong-lorong berlantai papan, ada yang duduk bercerita dengan teman, dan ada pula yang bermain sepakbola di lapangan. Sementara, beberapa lelaki terlihat sedang memperbaiki jaring dan mengecek kesiapan perahu.
Saya yang memang tiba sudah agak sore, bergegas menunaikan salat Ashar. Setelah mencari tahu keberadaan masjid, saya bergegas ke sana. Namun stok air di tong masjid kosong.
Setelah bertanya ke beberapa warga, saya menerima informasi bahwasanya sudah hampir sebulan terakhir air tak mengalir di wilayah tersebut. Sebagaimana penjelasan petugas berwenang kepada masyarakat, tak mengalirnya air di sebagian besar wilayah Kecamatan Popayato akibat penyumbatan di beberapa titik.

Alhasil warga Torosiaje harus mengambil air tawar untuk kebutuhan sehari-hari dari mobil tangki yang disiapkan pemerintah di daratan. Ada juga yang mengaku membeli air dengan harga Rp75 ribu per tong. Selain itu, ada pula yang terpaksa menampung air hujan.
Saya merasa seperti terjebak dalam situasi yang kontradiktif. Di satu sisi, air menjadi variabel yang berhasil menarik minat banyak wisatawan mengunjungi destinasi tersebut. Namun di sisi lain, air juga yang menjadi kerisauan masyarakat setempat dalam beberapa waktu belakangan.
Bahkan seorang warga mengaku, terpaksa harus menggunakan air isi ulang untuk kebutuhan wisatawan yang ingin buang air saat berlibur di momen Lebaran Ketupat beberapa waktu lalu.
Sungguh ironis, ‘suku air yang krisis air’.
Bersambung . . .