ZONAUTARA.com – Deru mesin sepeda motor menandai perjalanan pulang, Sabtu (12/04/2025). Setelah sepekan berada di Marisa, Gorontalo, kini saatnya pulang.
Tadi pagi saya sempatkan menyantap sarapan dan tak lupa menyesap secangkir kopi hingga tak bersisa sembari menjepit sebatang bara di sela-sela jari. Ini akan jadi hari yang panjang. Terlalu naif jika hanya dimulai dengan harapan.
Setelah segala hajat selesai, saya berpamitan. Tak ada nada sendu mengiringi langkah melewati pintu. Ini bukan kisah percintaan anak ingusan.
Di depan, Burak sudah menunggu. Ia selalu siap kapan saja diajak bertualang. Ini tahun kedelapan kami bersama, dia masih Burak yang saya kenal sejak lama (di bagian pertama tulisan ini telah saya jelaskan sedikit siapa Burak).
Lambaian tangan dan ucapan salam jadi pengantar perjalanan. Dalam hati segala doa dirapalkan. Doa-doa baik sebagai bekal di jalan. Tak ada raut sedih di bawah langit yang sedang biru-birunya. Kicauan burung jadi pertanda sebentar lagi matahari membara.
Pukul 09.32 saya berangkat melewati jalanan yang cukup lengang. Tidur cukup semalam adalah lecutan semangat untuk memamah semua tikungan. Di trek lurus, saya yang berangkat sendirian mulai ‘hilang kendali’. Tanpa sadar Burak semakin kencang.
Tapi pengalaman adalah sebaik-baiknya guru. Tendon jempol tangan kanan yang telah putus adalah pengingat. Ia menjadi semacam limiter alami. Trauma saat menghantam Kijang Super dua tahun silam masih lekat di kepala. Burak mulai melambat, 80 km/jam.
Memasuki Boalemo, saya terpaksa harus lebih melambat akibat beberapa ruas jalan yang rusak berat. Kondisinya masih sama dengan tahun lalu. Bahkan kini beberapa di antaranya makin parah. Lubang di sana sini, cukup merepotkan.
Selepas menari-nari di atas lubang jalanan, saya kembali melaju. Pemandangan hijau di kiri kanan jalan memanjakan mata. Matahari sedang terik-teriknya. Debu-debu jalan beterbangan.
Putaran roda membawa saya menuju Isimu dengan segenggam ingatan di kepala; Habibie ada di depan.
Yang saya maksud adalah monumen B.J. Habibie. Patung setinggi tujuh meter itu terletak di depan gerbang utama Bandara Djalaluddin. Patung yang didesain berpakaian adat Gorontalo dan memegang miniatur pesawat tersebut merupakan bentuk penghargaan kepada Presiden ke-3 Republik Indonesia.
Semasa hidupnya, Habibie dikenal sebagai salah satu orang yang dianugerahi kecerdasan luar biasa. Melalui berbagai prestasinya, ia mampu mengharumkan nama Indonesia di mata dunia.
Dalam dunia penerbangan, Habibie punya nama besar. Pengembangan pesawat N-250 adalah salah satu karyanya yang paling diingat. Pesawat N-250 adalah pesawat penumpang pertama yang dirancang dan diproduksi di Indonesia.
N-250 dirancang dengan teknologi modern dan ramah lingkungan serta mampu membawa 50 penumpang. Proyek pengembangan N-250 menjadi simbol kemajuan industri dirgantara Indonesia dan menunjukkan bahwa Indonesia mampu memproduksi pesawat dengan kualitas internasional.
Saya menyempatkan singgah di monumen tersebut dan menyapanya. Dalam keheningan itu saya terpikir, bagaimana jadinya bila program pengembangan N-250 tidak dihentikan lantaran krisis ekonomi pada tahun 1997 silam? Akankah harga tiket pesawat semahal saat ini? Entahlah.
Sadar perjalanan masih jauh, saya segera bersiap. Di Tugu Tani Isimu bimbang melanda antara menempuh jalur selatan atau utara.