Alam balas dendam, krisis iklim musuh tak kasatmata

Krisis iklim: Saatnya bertindak, bukan hanya berbicara.

Eliana Gloria
Penulis: Eliana Gloria
Editor: Neno Karlina Paputungan
"Melintas" (FOTO : Denny Taroreh)

ZONAUTARA.com – Pernahkah Anda merasa cuaca belakangan ini terasa aneh? Musim hujan yang datang terlambat atau malah terlalu deras hingga menyebabkan banjir besar?

Atau, kemarau yang begitu panjang dan panas menyengat? Perubahan-perubahan ini bukan sekadar fluktuasi cuaca biasa.

Ini adalah pertanda nyata dari sesuatu yang lebih besar, yang para ilmuwan sebut sebagai “krisis iklim”.

Apa sebenarnya krisis iklim itu? Mari memahaminya.

Secara operasional, krisis iklim dapat dipahami sebagai situasi mendesak di mana perubahan jangka panjang pola iklim global, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia, telah mencapai atau mendekati titik kritis yang mengancam keseimbangan ekosistem bumi dan kesejahteraan umat manusia.

Ini bukan hanya tentang suhu rata-rata yang naik, tetapi juga perubahan ekstrem dalam pola cuaca, kenaikan permukaan air laut, pengasaman laut, dan gangguan serius pada sistem alam yang menopang kehidupan.



Batasan pembahasan kita dalam artikel ini akan fokus pada kontribusi manusia terhadap krisis ini (melalui emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dll.) dan respons yang bisa serta sudah dilakukan, baik di tingkat global, nasional, maupun individual. Kita tidak akan masuk terlalu dalam ke detail ilmiah kompleks tentang model iklim, melainkan lebih kepada apa itu, mengapa penting, dan apa yang bisa kita lakukan.

Suara hati bumi dan hukum internasional

Bumi ini adalah rumah bersama kita. Ketika “rumah” ini sakit, dampaknya terasa oleh semua penghuninya, tanpa memandang batas negara. Inilah mengapa krisis iklim menjadi isu global dan melahirkan hukum internasional yang mencoba mengaturnya.

Di tingkat global, payung hukum utamanya adalah Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang disepakati pada tahun 1992. Konvensi ini mengakui adanya perubahan iklim akibat aktivitas manusia dan menetapkan tujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim.

Kemudian lahirlah Protokol Kyoto (1997) dan yang paling penting saat ini, Perjanjian Paris (2015). Perjanjian Paris ini sangat penting karena menyatukan hampir semua negara di dunia untuk berjanji membatasi kenaikan suhu global rata-rata hingga jauh di bawah 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, dan berusaha keras membatasinya hingga 1.5 derajat Celsius.

Setiap negara diminta untuk menetapkan target pengurangan emisi mereka sendiri (disebut Nationally Determined Contributions/NDCs) dan melaporkan perkembangannya. Hukum internasional di sini berperan sebagai kerangka kerja, memfasilitasi kerja sama, menetapkan target bersama (meskipun tidak mengikat secara hukum dalam arti sanksi langsung), dan mendorong transparansi.

Ini adalah pengakuan bahwa masalah ini membutuhkan solusi kolektif.

Alam balas dendam, krisis iklim musuh tak kasatmata
Perbedaan Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris (FOTO:UNFCC)

Indonesia di garis depan krisis iklim

Tidak hanya masalah negara-negara industri besar, krisis iklim adalah kenyataan pahit bagi Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di cincin api dan memiliki garis pantai terpanjang kedua, Indonesia sangat rentan terhadap dampak krisis iklim.

Kenaikan permukaan air laut mengancam kota-kota pesisir dan pulau-pulau kecil, memaksa masyarakat untuk bermigrasi dan menghilangkan lahan.

Perubahan pola hujan menyebabkan banjir bandang di satu daerah dan kekeringan parah yang merusak hasil pertanian di daerah lain. Suhu laut yang menghangat merusak terumbu karang, mengancam keanekaragaman hayati laut dan mata pencaharian nelayan.

Kebakaran hutan dan lahan, yang diperparah oleh kondisi kering, melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar dan menyebabkan kabut asap yang mengganggu kesehatan. Indonesia benar-benar berada di garis depan dampak krisis iklim.

Payung hukum di tanah air

Pemerintah Indonesia bukannya diam. Sebagai negara pihak pada UNFCCC dan Perjanjian Paris, Indonesia memiliki komitmen internasional. Di tingkat nasional, komitmen ini diterjemahkan dalam berbagai regulasi. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi payung hukum utama yang mengatur berbagai aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan, termasuk yang berkontribusi pada krisis iklim.

Selain itu, ada peraturan khusus terkait kehutanan (untuk mencegah deforestasi yang merupakan penyumbang emisi signifikan), energi (mendorong energi terbarukan dan efisiensi energi), tata ruang, serta rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca.

Hukum-hukum ini bertujuan untuk membatasi aktivitas yang menghasilkan emisi tinggi, mendorong praktik berkelanjutan, dan menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengimplementasikan program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Tentu masih ada tantangan dalam implementasi dan penegakan hukum ini, namun kerangka hukumnya sudah ada sebagai landasan.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Melihat skala masalahnya, mungkin kita merasa kecil dan tidak berdaya. Namun, narasi krisis iklim bukanlah cerita tanpa harapan. Justru, ini adalah panggilan untuk bertindak, dan peran kita sebagai masyarakat Indonesia sangatlah krusial.

Pertama, mulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat. Kurangi penggunaan plastik sekali pakai, hemat energi di rumah (matikan lampu/alat elektronik saat tidak digunakan), hemat air, pertimbangkan penggunaan transportasi umum atau bersepeda/berjalan kaki untuk jarak dekat, dukung produk lokal yang ramah lingkungan. Aksi-aksi kecil ini, jika dilakukan oleh jutaan orang, akan memberikan dampak besar.

Kedua, edukasi dan advokasi. Pelajari lebih banyak tentang krisis iklim dan sampaikan pengetahun itu kepada keluarga, teman, dan komunitas Anda. Suarakan kepedulian Anda melalui media sosial, petisi, atau forum publik. Dukung kebijakan pemerintah yang pro-lingkungan dan awasi implementasinya.

Ketiga, terlibat dalam aksi kolektif. Bergabunglah dengan komunitas atau organisasi yang bergerak di bidang lingkungan.

Ikut serta dalam kegiatan seperti penanaman pohon, bersih-bersih pantai/sungai, atau kampanye sadar lingkungan. Kekuatan kolektif jauh lebih besar daripada aksi individu.

Krisis iklim bukanlah ancaman di masa depan yang jauh, melainkan tantangan yang sedang kita hadapi saat ini.

Pemerintah memiliki peran penting melalui kebijakan dan hukum, tetapi perubahan fundamental seringkali didorong oleh kesadaran dan tindakan masyarakat.

Dengan memahami akar masalahnya, mengenali dampaknya di sekitar kita, dan secara aktif mengambil bagian dalam solusi, kita tidak hanya beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, tetapi juga turut membentuk masa depan yang lebih lestari untuk kita dan generasi mendatang.

Saatnya bertindak.

Follow:
Daydreamer, typically ENTJ, compassionate listeners, long-life learner.
Leave a Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com