ZONAUTARA.com– Mengapa penebangan hutan berkaitan erat dengan krisis iklim? Hutan memiliki peran krusial sebagai penyerap karbon alami terbesar di Bumi. Pohon-pohon dan vegetasi lainnya menyerap karbon dioksida (CO2), gas rumah kaca utama, dari atmosfer melalui proses fotosintesis, lalu menyimpannya dalam biomassa mereka (batang, daun, akar) dan juga di dalam tanah hutan.
Ketika hutan ditebang atau dibakar, proses ini terhenti. Lebih buruk lagi, karbon yang selama ini tersimpan di dalam pohon dan tanah dilepaskan kembali ke atmosfer dalam jumlah besar sebagai CO2. Ini seperti membuka “bank karbon” raksasa dan melepaskan isinya. Konsep ini kemudian dikenal dengan Green Carbon.
Dampaknya ganda: kita tidak hanya kehilangan penyerap CO2 yang efektif di masa depan, tapi juga secara aktif menambah jumlah CO2 di atmosfer saat ini. Penumpukan gas rumah kaca inilah yang memerangkap panas, menyebabkan suhu global naik, dan memicu perubahan pola iklim ekstrem yang kita rasakan sebagai krisis iklim: gelombang panas, kekeringan panjang, badai hebat, hingga kenaikan permukaan air laut.
Deforestasi adalah salah satu kontributor terbesar emisi gas rumah kaca secara global, seringkali menduduki peringkat kedua setelah sektor energi.
Lebih dari sekadar pohon: Pentingnya hutan bagi dunia dan penghuninya
Pentingnya hutan jauh melampaui perannya sebagai penyerap karbon. Bagi planet ini secara keseluruhan, hutan adalah “paru-paru kedua” setelah lautan, menghasilkan oksigen yang kita hirup. Hutan juga berfungsi sebagai pengatur tata air alami; akar pohon menahan air, mencegah erosi tanah, dan menjaga ketersediaan air bersih bagi jutaan orang.
Hutan hujan tropis, misalnya, memainkan peran penting dalam mengatur siklus hujan global. Tanpa hutan, tanah akan terkikis oleh hujan atau angin, sumber air mengering, dan risiko bencana alam seperti tanah longsor dan banjir bandang meningkat drastis. Hutan juga merupakan “gudang” keanekaragaman hayati terbesar di darat, rumah bagi lebih dari separuh spesies tumbuhan dan hewan di dunia.
Mari bergeser pada penghuni hutan – satwa liar. Bagi mereka, hutan adalah segalanya: rumah, supermarket, tempat berkembang biak, dan benteng perlindungan. Dari serangga sekecil ujung jari, burung-burung berwarna-warni, satwa endemik hingga mamalia besar seperti orangutan, harimau, gajah, dan badak, semuanya bergantung pada hutan untuk bertahan hidup.
Setiap spesies memiliki ruang hidup spesifik, sumber makanan kesukaan, dan cara berinteraksi dalam jaring-jaring kehidupan yang kompleks di hutan. Hutan yang sehat menyediakan semua kebutuhan ini.
Tragedi kehilangan rumah dan runtuhnya keseimbangan
Namun, ketika hutan ditebang untuk dijadikan lahan sawit, perkebunan kayu, area tambang, atau permukiman, tragedi dimulai. Bagi satwa liar, ini berarti bencana. Mereka tidak hanya kehilangan rumah, mereka kehilangan sumber makanan, tempat berlindung dari predator, dan jalur migrasi mereka.
Satwa-satwa ini seringkali terpaksa melarikan diri ke wilayah yang tidak aman, berkonflik dengan manusia, atau kelaparan karena habitatnya hancur. Banyak yang mati dalam proses pembersihan lahan, terbunuh oleh pemburu, atau perlahan menghilang karena tidak bisa beradaptasi di lingkungan yang rusak.
Kehilangan habitat ini adalah penyebab utama dari kepunahan spesies di seluruh dunia. Ketika satu jenis satwa, katakanlah orangutan atau harimau, kehilangan hutannya, mereka bukan hanya kehilangan “hidup” mereka sebagai individu, tetapi kita kehilangan populasi kunci yang berperan penting dalam ekosistem.
Baru-baru ini tim Zonautara.com memperlihatkan grafis singkat bagiamana tutupan hutan yang hilang akibat ekspansi lahan masif yang terjadi di Kabupaten Bolaang Mongondow Raya. Hal ini memperlihatkan bahwa manusia adalah kontributor terbesar terhadap deforestasi dan pemicu bagi satwa kehilangan “rumah”. Lihat disini
Efek domino: Rusaknya ekosistem akibat hilangnya satwa
Dan inilah bagian yang tak kalah penting: hilangnya satwa liar secara massal menyebabkan kerusakan serius pada ekosistem itu sendiri. Setiap spesies di hutan memiliki perannya, seperti “pekerja” dalam sebuah mesin raksasa. Lebah dan burung membantu penyerbukan tanaman, memastikan tumbuhan bisa bereproduksi.
Mamalia dan burung tertentu membantu menyebarkan biji-bijian, memungkinkan hutan tumbuh kembali di tempat lain. Predator menjaga keseimbangan populasi hewan lain. Mikroorganisme dan serangga di tanah membantu mendaur ulang nutrisi.
Ketika satu atau beberapa “pekerja” kunci ini hilang, “mesin” ekosistem mulai goyah. Tanaman mungkin kesulitan bereproduksi atau menyebar, hutan kehilangan kemampuannya untuk pulih, populasi hama bisa meledak tanpa predator alaminya, dan siklus nutrisi terganggu.
Hutan yang tadinya kokoh dan berfungsi penuh bisa menjadi rapuh, rentan terhadap penyakit atau kebakaran, dan kemampuannya untuk menyediakan layanan penting (seperti menyerap karbon, menahan air, dan menghasilkan oksigen) menurun drastis.
Kerusakan ekosistem ini pada akhirnya akan kembali berdampak buruk pada manusia, baik melalui perubahan iklim yang makin parah, bencana alam yang sering terjadi, maupun hilangnya sumber daya alam.
Menjaga hutan dan satwa liar di dalamnya bukanlah semata-mata soal melestarikan keindahan alam, tetapi soal menjaga keseimbangan fundamental bumi yang mendukung kehidupan kita sendiri.
Hubungan antara deforestasi, krisis iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati adalah lingkaran setan yang harus kita putus dengan tindakan nyata, mulai dari tingkat global hingga pilihan sehari-hari kita sebagai individu. Masa depan hutan, satwa liarnya, dan masa depan kita, saling terkait erat.