Catatan perjalanan ke Bandung #3: Kehangatan di kota yang dingin

Waktu terus berjalan hingga senja mulai ke peraduan. Dari balik jendela samar cahaya lampu di rumah-rumah warga mulai dinyalakan.

Editor: Redaktur
Suasana malam terlihat dari lantai 6 Hotel Neo, (Foto: Neno Karlina).

ZONAUTARA.com – Aku menghela napas panjang, mengamati sekeliling sambil mengumpulkan semua kemampuan terbaikku untuk mengingat. Dulu, saat aku mulai traveling bareng teman hidup, aku selalu diajarkan supaya mengingat titik-titik penting yang bisa aku tagging.

Semacam memperhatikan betul bagian-bagian atau momen penting yang harus ditandai (di-tag) selama perjalanan–baik fisik maupun proses kerja, agar bisa dipantau, dievaluasi, dianalisis. Kali aja tersesat atau ada hal buruk.

Catatan perjalanan ke Bandung #3: Kehangatan di kota yang dingin
Suasana Jalanan di Dipati Ukur, Bandung, (Foto: Neno Karlina).

Bandung, aku eja per-huruf-nya. Masih di sekitar counter pemberhentian shuttle bus Cititrans, dari jauh terlihat Fatma, rekan sejawat dari Aceh. Siapa sangka dari Jakarta kita menumpangi bus yang sama, dia duduk di seat 1 membelakangiku, wajar kami tak saling tahu.

“Aku akan dijemput teman, mau bareng?,” tanya Fatma. Aku tersenyum dan bilang kalau aku mau jalan kaki saja. “Terima kasih ajakannya,” sahutku.

Seperti itulah aku, biasanya kalau mendatangi tempat baru aku lebih memilih berjalan kaki, agar proses tagging bisa aku lakukan. Kadang kalau sudah capek, aku naik ojek, jarang sekali menggunakan jasa supir mobil.



Catatan perjalanan ke Bandung #3: Kehangatan di kota yang dingin
Rumah warga dari balik jendela kamar lantai 6 hotel Neo, (Foto: Neno Karlina).

Cimol, es cendol, dan berbagai jajanan kaki lima berjejer di sepanjang jalan. Jaraknya mungkin 100 meter dari counter Cititrans, cukup beberapa langkah saja aku sudah tiba di Hotel Neo, Dipati Ukur.

Hotel bintang 3 ini cukup nyaman. Yang aku kaget, di lobi masih ada surat kabar tersusun. Setelah proses migrasi koran ke media online, di Kotamobagu aku sudah sulit sekali menemukan surat kabar lagi, kecuali koleksi pribadiku saja. Di resepsionis, aku kembali dikejutkan oleh Fatma, ternyata kami akan jadi rekan sekamar dalam kegiatan kali ini.

Setelah mendapatkan akses ke kamar kami berdua menaruh barang bawaan. Kamar kami di lantai 6. Ada dua ranjang, aku memilih di samping jendela. Sepertinya akan indah melihat Bandung malam hari dari sana. Aku yang langsung melemparkan tubuh ke kasur akhirnya bisa bernapas lega. Perjalanan hampir 2 hari 1 malam telah membuat tubuhku sangat lelah.

Catatan perjalanan ke Bandung #3: Kehangatan di kota yang dingin
Memilih langsung istirahat ketika tiba Hotel Neo, di Bandung, (Foto: Neno Karlina).

“Aku sudah sampai, ingin mandi dan tidur, cars energi agar maksimal mengikuti agenda esok,” kataku mengabarkan keluarga dan tentu teman hidupku.

Waktu terus berjalan hingga senja mulai ke peraduan. Dari balik jendela samar cahaya lampu di rumah-rumah warga mulai dinyalakan. Aku yang sejak tadi ditinggal Fatma, benar-benar memanfaatkan waktu untuk rehat sejenak. Tak lama handphone bergetar, sebuah pesan singkat masuk. Di grup, kakak kesayanganku, Betty dari Bengkulu, berkabar kalau dirinya sedang menikmati kudapan yang dibawakan oleh teman, kakak kesayanganku yang lainnya dari Palembang, Kak Nila.

Mereka baru tiba di Bandung dan sekarang sedang berada di lobi hotel. Aku bergegas menghampiri. Ternyata Kak Betty dan Nila tidak sendiri. Mereka juga sudah bersama kakak kesayanganku yang lain dari Bandung, Kak Catur. Kali ini sebagai tuan rumah, dia sengaja datang berkunjung. Dan ya, begitulah kami kalau ketemu. Selalu saja hangat, saling dukung dan saling menguatkan.

Candaan terlempar menghadiahi seisi ruangan dengan suara tawa kami. Batagor, susu murni dan strawberry buah tangan dari temannya Kak Nila, kami santap. Konon, Kak Nila dulu menghabiskan masa kuliah di sini—wajar temannya banyak, semua mampir lengkap dengan kudapan.

Hingga malam benar-benar datang dan Kak Catur harus pamit. Meski menjadi salah satu peserta kegiatan yang aku ikuti: Constructive Journalism Lab, tapi dirinya tidak menginap di hotel. Dia memilih pulang ke rumah.

Aku pun ijin pamit ke kamar, membiarkan Kak Nila bernostalgia dengan sahabat-sahabat masa kuliahnya. Kak Betty di samping juga dikunjungi temannya. Aku bergumam dalam hati mensyukuri nikmat tak terhingga yang terjadi. Di hari pertama, di Bandung yang dingin semuanya menghangat.

Di sudut-sudut ruangan, di antara riuh suara-suara terdengar jelas. Pertemanan tumbuh seperti cahaya lampu yang tak pernah padam. Ia menyusup di sela tawa, dalam bisik rahasia, di balik tatap mata yang saling mengerti.

Bandung ini bukan hanya deretan bangunan atau hamparan aspal—ia adalah ruang di mana kenangan bersandar, di mana setiap pertemuan menjadi cerita, dan setiap perpisahan meninggalkan jejak hangat di hati. Sebab kota yang dihuni dan diisi teman-teman baik tak pernah benar-benar sunyi; ia selalu penuh dengan bisik harapan dan janji untuk kembali. Semoga!

Bersambung……..

Suka berkelana ke tempat baru, terutama di alam bebas. Mencintai sastra fiksi dan tradisi. Berminat pada isu-isu ekofeminisme, gender, hak perempuan dan anak. Beberapa kali menerima fellowship liputan mendalam. Tercatat sebagai anggota AJI.
Leave a Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com