Catatan perjalanan ke Bandung #4: Membuka cakrawala pengetahuan

Seperti persinggahan singkat yang menggoda untuk dilanjutkan di waktu lain. Namun lebih dari segalanya, aku pulang membawa lebih dari sekadar catatan pelatihan, aku membawa pulang keyakinan baru, bahwa menjadi jurnalis konstruktif adalah perjalanan panjang yang layak ditempuh.

Editor: Redaktur
Susana saat peserta diminta untuk berbagi pandangan tentang jurnalisme konstruktif, (Foto: Magdalene).

ZONAUTARA.com – Adzan Subuh merambat pelan lewat celah jendela, suaranya menggetarkan udara yang masih berat oleh sisa malam. Aku terbangun, mataku setengah terbuka, sadar bahwa tubuhku sendiri tak bisa diajak serta dalam panggilan suci itu–aku sedang menstruasi.

Dalam keremangan kamar, hanya lampu tidur di pojok yang menyala redup, menebarkan cahaya kekuningan yang mengaburkan batas antara mimpi dan sadar. Lampu utama tetap kupadamkan; aku biarkan begitu, takut suara saklarnya akan mengusik lelap Fatma, teman sekamarku dari Aceh, yang sejak semalam terlelap dalam balutan selimut. Nafasnya teratur, damai, seolah membawa sisa kampung halaman yang jauh ke sudut kamar ini.

Aku hanya bisa memandang langit-langit, membiarkan adzan menggema dalam hati tanpa gerakan wudhu atau sajadah terbentang, sementara waktu berjalan pelan, membasuh dini hari yang masih malas meninggalkan gelap.

Aku melangkah ke kamar mandi, membiarkan dingin lantai keramik menyentuh telapak kakiku yang telanjang. Air hangat mengalir pelan dari shower, menyentuh kulit seperti menghapus sisa kantuk yang masih melekat di pelipis.

Catatan perjalanan ke Bandung #4: Membuka cakrawala pengetahuan
Suasana Constructive Journalism Lab di Bandung, (Foto: Magdalene).

Meski di rundown acara Constructive Journalism Lab baru akan dimulai pukul sembilan, aku tak mau terburu-buru; ada semacam ketenangan dalam kesiapan yang rapi, dalam tubuh yang segar lebih dulu sebelum riuh hari menjemput.



Dengan ransel dongker di pundak, berisi laptop dan alat tulis aku yang berada di lantai enam, menuju lantai dua Hotel Neo di Dipati Ukur, Bandung–tempat kegiatan berlangsung.

Di dalam, panitia dan beberapa peserta telah duduk rapi. Setelah registrasi, aku memilih kursi di tengah, sengaja, agar pandanganku lurus ke layar monitor di depan, tak terhalang siapa pun.

Sambutan hangat dari Mbak Devi, pendiri Magdalene, membuka pagi itu dengan nada bersahabat, membuat ruang pertemuan di lantai dua Hotel Neo terasa lebih akrab dari sebelumnya. Suaranya tenang, mengalir pelan namun pasti, seolah mengajak kami merenungi kembali makna keberadaan media perempuan di tengah gempuran informasi yang kian riuh.

Usai Devi, Hani pemandu acara mengambil alih, memperkenalkan Mbak Eva Danayanti dari International Media Support. Sepatah dua patah kata meluncur dari bibir Eva, menyinggung pentingnya peran media dalam menjaga ruang publik yang sehat. Lalu tibalah Hendrik dari IMS, yang dengan mantap memulai materi utama: mengapa jurnalisme konstruktif menjadi kebutuhan mutlak di tengah tantangan industri media hari ini.

Catatan perjalanan ke Bandung #4: Membuka cakrawala pengetahuan
Memaparkan laporan yang dibuat dengan menggunakan pendekatan jurnalisme konstruktif dan simulasi penggunaannya dalam ruang redaksi, (Foto: Magdalene).

Sesi demi sesi mengalir tanpa jeda, seru dan menggugah. Pertanyaan muncul dari sudut-sudut ruangan, ditimpali jawaban yang memancing pikiran: mengapa media–terlebih media perempuan–harus mulai mengadopsi pendekatan jurnalisme konstruktif, bukan hanya di halaman depan, tapi juga dalam denyut ruang redaksi. Bukan sekadar menyampaikan kabar, tapi memberi harapan, ruang dialog, dan solusi.

Di sela obrolan, terasa bahwa para peserta membawa kegelisahan yang sama, bagaimana menjadikan berita bukan sekadar cermin kenyataan, tapi alat perubahan yang memberi daya hidup bagi pembacanya.

Catatan perjalanan ke Bandung #4: Membuka cakrawala pengetahuan
Jalan kaki ke Gedung Sate, (Foto: Nila Simbur Cahaya).

Semua itu berlalu begitu cepat, seolah tiga hari penuh ilmu, diskusi, dan percakapan hangat hanya sekilas tarikan napas. Baru kusadari saat sesi pitching proposal menandai penutup kegiatan–betapa menyelami kedalaman pengetahuan bisa begitu membahagiakan. Ada support system baru yang kutemukan di sana, wajah-wajah yang membawa perspektif segar, tak ternilai harganya.

Hari-hari itu begitu padat, nyaris tak memberi celah untuk menjelajah Bandung lebih jauh. Hanya sesekali, di sela waktu selepas kegiatan, aku sempat melangkahkan kaki ke Gedung Sate tempat Gubernur Jawa Barat berkantor, lalu mengitari kampus Universitas Padjajaran, atau mencicipi nasi timbel hangat di sudut Braga. Itu pun sebentar saja, seperti menyentuh permukaan kota yang diam-diam ingin kukenali lebih dalam, namun harus kutinggalkan terlalu cepat.

Catatan perjalanan ke Bandung #4: Membuka cakrawala pengetahuan
Mengitari Universitas Padjajaran di Bandung, (Foto: Nila Simbur Cahaya).

Kini saat hari-hari itu usai, rasanya seperti baru saja melewati perjalanan singkat namun padat makna, penuh percakapan hangat, pertukaran gagasan, dan pandangan baru tentang jurnalisme yang tak sekadar mencatat fakta, melainkan merawat harapan.

Tiga hari itu mengajarkanku bahwa menjadi jurnalis bukan hanya soal mengabarkan yang terjadi, tetapi juga bagaimana memberi ruang untuk solusi, untuk cerita-cerita yang bisa menggerakkan, menumbuhkan, dan mempertemukan pembaca dengan secercah kemungkinan baik di tengah dunia yang sering terasa muram.

Ada wajah-wajah dari berbagai penjuru yang membawa semangat serupa, mengingatkanku bahwa perjuangan untuk menghadirkan berita yang bermakna tak pernah sendirian. Seperti persinggahan singkat yang menggoda untuk dilanjutkan di waktu lain.

Namun lebih dari segalanya, aku pulang membawa lebih dari sekadar catatan pelatihan, aku membawa pulang keyakinan baru, bahwa menjadi jurnalis konstruktif adalah perjalanan panjang yang layak ditempuh–demi menghadirkan media yang tak hanya bicara soal dunia hari ini, tapi juga tentang dunia yang mungkin bisa lebih baik esok.

Bersambung…

Suka berkelana ke tempat baru, terutama di alam bebas. Mencintai sastra fiksi dan tradisi. Berminat pada isu-isu ekofeminisme, gender, hak perempuan dan anak. Beberapa kali menerima fellowship liputan mendalam. Tercatat sebagai anggota AJI.
Leave a Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com