Melawan stigma bulu ketiak perempuan dan merayakan kebebasan tubuh

Editor: Redaktur
Ilustrasi, (Foto: Pixabay.com).

ZONAUTARA.com – Selama puluhan tahun, tubuh perempuan telah menjadi medan pertempuran wacana sosial, budaya, dan industri kecantikan. Salah satu bagian tubuh yang kerap menjadi sasaran stigma adalah bulu ketiak.

Meski secara biologis keberadaan bulu ketiak adalah sesuatu yang alamiah dan memiliki fungsi melindungi kulit dari gesekan serta membantu proses termoregulasi, dalam konstruksi sosial modern, bulu ketiak perempuan sering dipandang sebagai sesuatu yang “kotor”, “tidak pantas”, bahkan “jijik”.

Asal usul standar ketiak mulus

Sejarah standar kecantikan yang menuntut perempuan mencukur bulu ketiaknya tidak terlepas dari campur tangan industri.

Pada awal abad ke-20, perusahaan-perusahaan alat cukur di Amerika dan Eropa mulai mengiklankan bahwa bulu ketiak pada perempuan adalah sesuatu yang “tidak sedap dipandang”, mendorong lahirnya budaya cukur di kalangan perempuan.

Pada masa itu, iklan-iklan gencar menampilkan perempuan anggun tanpa bulu di bagian ketiaknya, menciptakan persepsi bahwa mulus adalah satu-satunya bentuk ketiak yang “layak” secara sosial.



Di Indonesia, pengaruh ini masuk melalui media, iklan produk kecantikan, serta budaya pop. Generasi demi generasi perempuan diajarkan bahwa ketiak mulus adalah simbol dari kebersihan dan keanggunan. Sebaliknya, bulu ketiak dianggap sebagai ciri “lelaki” atau tanda “kegagalan merawat diri”.

Stigma yang mengontrol tubuh perempuan

Stigma bulu ketiak perempuan bukan hanya soal selera estetika. Ia menyimpan lapisan makna patriarkal yang lebih dalam.

Tubuh perempuan terus-menerus dinilai, dikomentari, dan diatur untuk memenuhi kenyamanan visual orang lain, khususnya laki-laki.

Perempuan yang memilih untuk membiarkan bulu ketiaknya tumbuh sering mendapatkan label “tidak feminin”, “jijik”, bahkan “pemberontak” terhadap norma sosial. Tak jarang mereka menjadi sasaran body shaming, terutama di media sosial.

Padahal, membiarkan atau mencukur bulu ketiak seharusnya merupakan pilihan personal, bukan kewajiban budaya. Hak atas tubuh (bodily autonomy) adalah hak dasar setiap manusia, termasuk hak untuk memutuskan penampilan fisiknya tanpa tekanan sosial.

Perlawanan dan normalisasi

Di berbagai belahan dunia, gerakan body positivity dan feminisme telah berupaya melawan stigma ini.

Sejumlah tokoh publik dunia, seperti penyanyi Miley Cyrus, aktris Jemima Kirke, dan bintang film Barbie baru-baru ini, Hari Nef tampil percaya diri dengan bulu ketiak mereka di ruang publik, memicu diskusi tentang standar kecantikan yang menindas perempuan.

Di Indonesia, meski belum sepopuler di Barat, benih perlawanan mulai muncul.

Sejumlah konten kreator di media sosial secara terbuka mengampanyekan pilihan bebas mencukur atau membiarkan bulu ketiak, menantang komentar-komentar misoginis yang kerap muncul.

Perlu juga diluruskan bahwa bulu ketiak tidak identik dengan “jorok” atau “bau”. Bau badan dipengaruhi oleh kelenjar keringat dan bakteri, bukan keberadaan bulu itu sendiri.

Faktanya, mencukur bulu ketiak berlebihan justru dapat menyebabkan iritasi, luka kecil, dan risiko infeksi.

Sayangnya, miskonsepsi ini terlanjur mengakar dalam budaya populer, diperparah oleh iklan deodorant dan produk pemutih ketiak yang mengesankan bahwa ketiak alami perempuan adalah sesuatu yang “memalukan”.

Menuju tubuh yang merdeka

Perjuangan melawan stigma bulu ketiak pada perempuan bukan sekadar soal estetika, tapi bagian dari gerakan yang lebih besar yatitu menuntut penghormatan atas tubuh perempuan dan hak untuk menentukan pilihan pribadi tanpa paksaan sosial.

Membiarkan bulu ketiak tumbuh atau mencukurnya harus dipandang sebagai hak otonom setiap perempuan, Bukan ukuran kebersihan, kecantikan, atau martabat.

Dunia yang lebih adil bagi perempuan adalah dunia yang menghormati pilihan mereka, sekecil apapun itu, bahkan soal bulu ketiak.

Referensi:

(Fahs, 2011; Toerien & Wilkinson, 2003; Basow, 1991; BBC News, 2019; The Guardian, 2019; Psychology Today, 2013).

Suka berkelana ke tempat baru, terutama di alam bebas. Mencintai sastra fiksi dan tradisi. Berminat pada isu-isu ekofeminisme, gender, hak perempuan dan anak. Beberapa kali menerima fellowship liputan mendalam. Tercatat sebagai anggota AJI.
Leave a Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com