ZONAUTARA.com – Ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran mencapai titik didih setelah AS secara resmi mengonfirmasi telah melancarkan serangan udara terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran: Fordow, Natanz, dan Isfahan pada Minggu (22/7/2025). Serangan ini, yang diklaim dilakukan sebagai tindakan pencegahan terhadap potensi pengembangan senjata nuklir oleh Teheran, mendorong Republik Islam itu mendekati keputusan untuk melakukan pembalasan militer.
Juru bicara Organisasi Energi Atom Iran mengutuk serangan tersebut sebagai tindakan “kekerasan yang melanggar hukum internasional dan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT).” Pemerintah Iran menyebut bahwa fasilitas yang diserang bukan merupakan situs militer ofensif, melainkan bagian dari pengembangan energi nuklir sipil.
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, dalam pernyataannya di Istanbul sebelum serangan, telah memperingatkan bahwa keterlibatan Amerika akan membawa dampak “sangat berbahaya bagi semua pihak.” Kini, setelah serangan terjadi, pejabat tinggi Iran menyatakan bahwa hak untuk membalas adalah “bagian dari pembelaan diri yang sah.”
Iran siapkan langkah balasan
Mantan Panglima Tertinggi Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), Jenderal Mohsen Rezaei, memperingatkan bahwa jika Amerika terus terlibat secara langsung, Iran siap menyerang pangkalan militer AS di wilayah tersebut, menanam ranjau laut di Teluk Persia, hingga menutup Selat Hormuz—jalur vital bagi pasokan energi dunia. Sekitar 20 juta barel minyak mentah melewati selat tersebut setiap harinya.
Sementara itu, milisi sekutu Iran di kawasan, seperti Houthi di Yaman, telah menyatakan akan menyerang kapal-kapal dan kapal perang AS di Laut Merah jika Washington terus mendukung agresi Israel terhadap Iran.
“Jika Amerika terlibat dalam agresi terhadap Iran, target kami akan meluas ke aset maritim mereka,” kata juru bicara militer Houthi, Yahya Saree.
Sebelum serangan, Iran dan AS sebenarnya sedang terlibat dalam pembicaraan rahasia yang dimediasi oleh Oman, untuk membatasi program nuklir Iran sebagai imbalan atas keringanan sanksi. Namun, serangan Israel pada 13 Juni, yang kemudian diikuti oleh serangan AS, menggagalkan proses diplomatik yang telah disiapkan selama berminggu-minggu. Iran menyatakan bahwa penghentian pengayaan uranium di dalam negeri merupakan garis merah yang tidak dapat dinegosiasikan.
Presiden Donald Trump, dalam pidato yang disiarkan televisi pada Sabtu malam (waktu setempat), menegaskan bahwa jika Iran tidak menunjukkan keinginan untuk berdamai, maka lebih banyak serangan akan dilakukan terhadap target-target strategis lainnya di Iran.
Keterlibatan Amerika ini meningkatkan ketegangan yang sudah terjadi dalam konteks regional yang sudah rapuh. Israel sebelumnya telah melancarkan serangan besar-besaran terhadap posisi militer dan nuklir Iran. Milisi-milisi yang selama ini menjadi bagian dari “Poros Perlawanan” — seperti Hezbollah dan Hamas — telah melemah akibat operasi militer Israel, membuat respons utama kini berada di tangan Iran sendiri.
Namun, para analis memperingatkan bahwa Iran berada di posisi sulit: membalas bisa memicu perang besar dengan adikuasa militer dunia, namun jika tidak membalas, Teheran berisiko kehilangan pengaruh regional dan menghadapi tekanan diplomatik serta militer yang lebih berat di masa depan.
“Jika kita tidak bereaksi, AS akan semakin berani melakukan serangan di masa depan,” kata Reza Salehi, analis konservatif Iran. “Tetapi jika kita bereaksi, risikonya adalah perang besar yang bisa meruntuhkan tatanan negara.”
Situasi masih berkembang dan dunia kini menanti apakah Iran akan melancarkan balasan terbuka, atau memilih strategi tekanan diplomatik dan serangan tidak langsung melalui sekutu-sekutunya. Yang jelas, krisis nuklir Iran kembali menjadi pusat perhatian global, dengan potensi memicu konflik regional yang lebih luas.