ZONAUTARA.com – Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Sam Ratulangi (UNSTRAT) menggelar Seminar Ilmiah dengan mengusung tema Dimensi Kesehatan Masyarakat dalam Pengelolaan Tambang Berbasis Budaya untuk Pembangunan Berkelanjutan yang digelar di aula FKM, Manado, Sulawesi Utara (Sulut), Kamis (2/10/2025).
Dalam kegiatan tersebut, FKM mengundang pemerintah, akademisi, budayawan, serta aktivis lingkungan untuk bersama-sama mencari titik temu.
Dekan FKM UNSRAT, Vennetia Danes dalam penyampaiannya mengatakan, pihaknya memandang isu pertambangan sebagai persoalan yang kompleks.
Namun sebagai akademisi, FKM berada pada posisi tengah, di mana tidak menolak pembangunan, tapi juga wajib berdiri tegas dalam mengawal setiap kebijakan yang bersinggungan dengan derajat kesehatan masyarakat.
Menurutnya, pertambangan memang memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga membawa dampak negatif yang tidak bisa diabaikan.
“Pencemaran lingkungan, penurunan kualitas air, udara, dan tanah, hingga risiko penyakit kronis dan bahkan perubahan genetik akibat paparan zat berbahaya, merupakan ancaman nyata bagi masyarakat di sekitar tambang. Sayangnya, yang sering terlihat hanya kerusakan fisik di permukaan, sementara dampak jangka panjang terhadap kesehatan generasi mendatang sering terabaikan,” ujarnya kepada Zonautara.com.
Dalam kerangka itulah, FKM berusaha menghadirkan perspektif baru bahwa pengelolaan tambang harus memasukkan dimensi kesehatan masyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan.
“Lebih jauh, pendekatan berbasis budaya juga perlu diangkat, sebab kearifan lokal mampu memberikan panduan dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan, kesehatan, dan kelestarian lingkungan,” tambahnya.
Seminar yang digelar bertujuan merumuskan konsep pengelolaan pertambangan yang tidak sekadar mengejar keuntungan ekonomi, tetapi juga memastikan keberlanjutan hidup, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat di masa kini maupun di masa depan.
Secara umum, ada dua pandangan yang mengemuka dalam diskusi tersebut, yakni tentang tantangan dan peluang dalam rencana pembangunan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang saat ini sedang digenjot.
Tantangan
Dalam konteks ini, pembangunan WPR dipandang perlu memperhatikan berbagai hal dalam pengelolaannya, termasuk masalah kesehatan dan lingkungan.
Reiner Ointoe selaku budayawan Sulut yang menjadi narasumber dalam diskusi menyampaikan pentingnya pendekatan kebudayaan dalam diskursus ekologi.
“Kekuatan budaya inilah yang harus menjadi pondasi di dalam pendekatan terhadap ekologi,” ujarnya.
Selain itu, ia juga memaparkan beberapa dampak pencemaran akibat aktivitas pertambangan di Sulut, seperti yang terjadi di Teluk Buyat, Bolaang Mongondow Timur (Boltim) awal tahun 2000-an dan Kepulauan Sangihe saat ini.
“Lingkungan di Buyat tercemar merkuri. Waktu itu ada seorang bayi yang lahir, ia meninggal setelah dilahirkan, wujudnya aneh,” ucap Reiner yang juga mantan Direktur WALHI Sulut.
Sementara di Sangihe saat ini, sesuai dengan penelitian ilmiah, kandungan merkuri di tiga lokasi yang diteliti (Bowone, Tahuna, dan Salurang) cukup tinggi.
“Seluruh lokasi yang diteliti, kandungan merkurinya sudah di ambang batas,” tambahnya.
Hal itu juga diperkuat dengan penyampaian dari Direktur WALHI Sulut, Ridel Pitoy. Ia mengingatkan, tidak boleh adanya aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil.
Aturan tersebut sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil.
Ia memberi contoh pulau kecil yang ada di Sulut seperti Kepulauan Sangihe dan Pulang Bangka.
“Jadi pulau-pulau kecil itu tidak boleh ditambang,” ucapnya.
Akademisi FKM UNSRAT, Sri Seprianto Maddusa dalam pemaparannya menyampaikan potensi pencemaran yang diakibatkan aktivitas pertambangan.
Dalam penelitiannya tentang risiko kesehatan penggunaan merkuri (HG) dan sianida (CN) studi kasus di beberapa lokasi di Sulut menemukan adanya potensi bahaya kesehatan dalam proses pembakaran untuk pemurnian emas yang menghasilkan senyawa metilmerkuri.
“Itu sifatnya neurotoksik. Menyerang sistem syaraf. Ketika metilmerkuri itu masuk lewat hidung (terhirup), tidak akan terdeteksi (oleh sistem syaraf). Begitupun dengan CN,” terangnya.
Ia mengingatkan, kontaminasi logam berat ke tubuh manusia juga bisa melalui beberapa cara, seperti lewat mulut (saat makan, minum) dan lewat kulit.
“Dampak kesehatan langsung bisa kita rasakan, seperti pusing, mual, muntah, dan kalau kronis bisa terjadi kanker,” ucapnya.
Sehingga dipandang perlu untuk tetap memperhatikan sektor kesehatan dan lingkungan dalam aktivitas pertambangan.
Hal itu juga sebagaimana disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Sulut, Rima Lolong. Menurutnya, pertambangan sangat berkontribusi pada ekonomi daerah namun berpotensi menimbulkan dampak bagi lingkungan dan kesehatan.
“Tentu yang menjadi tantangan adalah bagaimana kita memastikan lingkungan itu tetap sehat dengan pengelolaan tambang yang sesuai dengan aturan,” terangnya.
“Kita di Sulut kalau terkait dengan kesehatan lingkungan, kita ada Peraturan Gubernur terkait penyelenggaraan kabupaten/kota sehat yang di dalamnya ada tatanan terkait juga usaha pertambangan,” tambahnya.
Menurutnya, ada beberapa poin penting yang kedepannya menjadi fokus Pemprov Sulut, yakni penerapan aturan terkait kesehatan masyarakat di wilayah tambang, penguatan sistem kesehatan di tingkat premier, pelibatan masyarakat dalam monitoring lingkungan, dan integrasi data kesehatan dan lingkungan yang berbasis digital.
“Kebijakan daerah penting untuk menyeimbangkan ekonomi tambang dengan kesehatan masyarakat. Diperlukan komitmen pengawasan ketat dan kolaborasi lintas sektor,” ujarnya.
Peluang
Dalam konteks ini, WPR dipandang sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Sulut.
Staf Khusus Gubernur Sulut bagian pertambangan dan energi, Daniel Duma menyebut, selama ini ada 18 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Sulut yang kontribusinya bagi daerah dinilai kecil.
Latar belakang itulah yang menjadi dasar perencanaan dibangunnya WPR di Sulut yang direncanakan berkisar 30 hingga 40 blok dengan luas 1 blok sebesar 100 hektare.
Lanjutnya, sesuai izin yang berlaku, ada dua pihak yang bisa mengelola WPR, yakni perseorangan dengan luas 1-5 hektare dan koperasi dengan cakupan 1-100 hektare.
“Tetapi selama ini disepakati dan kemungkinan Pak Gubernur tidak akan mengeluarkan izin (untuk) perseorangan, yang disepakati mungkin akan dilahirkan izin koperasi. Itupun satu koperasi hanya 10 hektare, dan satu orang hanya bisa ada dalam satu izin pertambangan, dengan metode kerja open pit kedalaman 25 meter sehingga keselamatan kerja bisa termonitoring,” jelasnya.
Dengan adanya WPR diproyeksikan PAD Sulut akan meningkat yang juga berdampak pada peningkatan APBD.
“Kalau selama ini APBD kita sekitar Rp3,7 Triliun, kedepannya diperkirakan bisa Rp6-9 Triliun,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga menyampaikan, akan dibentuk Perusahaan Daerah yang nantinya akan bekerja sama dengan koperasi dalam rangka pengelolaan tambang dalam sektor jual beli hasil pertambangan dan pengadaan sarana pendukung.
“Kedepannya akan diambil alih oleh Perusahaan Daerah, satu pintu semuanya,” pungkasnya.


