bar-merah

Laurens Koster Bohang (1913-1945): Sastrawan Sangihe, Angkatan Pujangga Baru yang Terlupakan di Tanah Kelahirannya

Oleh: Agrendy Saselah

 

K. Bohang dalam Dua Sajak Chairil Anwar

Bohang,
Jauh di dasar jiwamu
Bertampuk suatu dunia;
Menguyup rintik satu-satu
Kaca dari dirimu pula
———-Chairil Anwar 1945 (sajak; Kepada Penyair Bohang)

Kami berjalan sama. Sudah larut
Menembus kabut.
Hujan mengucur badan.
———-Chairil Anwar 1943 (Sajak; Kawanku dan Aku-Kepada L. K. Bohang)

Demikian penggalan dua sajak berbeda Chairil Anwar (Pelopor angkatan sastra 45) kepada sahabatnya L. K. Bohang. Penyair yang tenar dengan sajak AKU atau Karawang Bekasi ini nampaknya merupakan sahabat dekat dari penyair L. K. Bohang. Hal ini Nampak pada sajak yang berjudul Kawanku dan Aku.

KAWANKU DAN AKU
(Kepada L. K. Bohang)

Kami jalan sama. Sudah larut
Menembus kabut.
Hujan mengucur badan.
Berkakuan kapal kapal .
di pelabuhan

Darahku mengental pekat. Aku tumpah, pedat.

Siapa berkata?

Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga

Dia bertanya jam berapa

Hingga hilang segala makna
Dan gerak tak punya arti

5 juni 1943

Sajak ini menjelaskan mereka ada bersama-sama pada suatu malam, Sebagai pemuda yang sama-sama hidup dalam ruang berkesenian. Dalam buku yang berjudul Aku himpunan skenario film mengangkat sosok Chairil Anwar, Sjuman Djaya menggambarkan Chairil betul-betul merupakan sosok lelaki yang dekat dengan malam. Seperti halnya penggalan sajak Prajurit Jaga Malam (1949), ia menulis bahwa “aku suka kepada orang yang masuk menemu malam.” Tidak saja malam yang dilukiskannya sebagai ruang waktu. Bisa saja malam merupakan simbol kepekatan kehidupan yang dijalaninya selama kehidupannya yang Bohemian. Melalui sajak Kawanku dan Aku (1943), sangat jelas bahwa penyair Bohang merupakan sahabat karib dari Chairil Anwar, sehingga menjadi bagian dari ruang imaji kepenyairannya.
Kemudian pada kurun 1945, tahun dimana L. K. Bohang dipanggil kepangkuan yang maha kuasa, Chairil menulis sajak yang berjudul Kepada Penyair Bohang (1945).

KEPADA PENYAIR BOHANG

Suaramu bertanda derita laut tenang
Si Mati ini padaku masih berbicara
Karena dia cinta, dimulutnya membusah
Dan rindu yang mau memerahi segala
Si Mati ini matanya terus bertanya!

Kelana tidak bersejarah
Berjalan kau terus!
Sehingga tidak gelisah
Begitu berlumuran darah.

Dan duka juga menengadah
Melihat gayamu melangkah
Mendayu suara patah;
“aku saksi!”

Bohang,
Jauh di dasar jiwamu
Bertampuk satu dunia;
Menguyup rintik satu-satu
Kaca dari dirimu pula

Chairil Anwar 1945

 

Bisa saja, di hari-hari terakhir penyair Bohang, Chairil ada bersama-sama dengannya. Menyaksikan penderitaan sahabatnya. Chairil menggambarkan bagaimana kondisi Bohang dan kehadirannya mengantar sahabatnya keperistirahatannya terakhir.

 

Laurens Koster Bohang, Mentor Para Sahabat

Pada 16 Agustus 2016, Majalah Tempo memuat tulisan tentang L. K. Bohang dengan judul Berguru Kepada Mentor dari Timur. Sastrawan Pujangga Baru itu tak dikenal publik. Namanya tak setenar Sutan Takdir Alisjahbana, pendiri majalah Poedjangga Baroe, atau Hans Bague Jassin, kritikus sastra sekaligus redaktur Panji Pustaka. Ia juga tak seterkenal Amir Hamzah, raja penyair angkatan Pujangga Baru. Sastrawan itu, juga tidak banyak karya kecuali sejumlah tulisan yang menggunakan nama perempuan, Airani Molito. (Tempo,2016).

Nama lengkapnya, Laurens Koster Bohang, lahir di Kepulauan Sangihe 1913, pendidikan A.M.S Jakarta. Pengarang cerpen dan esei Indonesia. Eseinya yang terkenal mengenai penyair Indonesia AMIR HAMZAH dan cerita pendek Setangkai Kembang Melati. Tulisan-tulisan lainnya ia tulis dengan nama samaran Airani Molito (?).

Jika dikatakan sebagai mentor, yah! Tentu. Barangkali Bohang memang mentor yang sangat disukai oleh sahabat-sahabatnya. Bohang, dikenal sebagai tipikal penyabar dan rendah hati, dan menginspirasi. Hal inilah yang diungkapkan Hans Bague Jassin, kritikus sastra Indonesia asal Gorontalo itu. Dalam perdebatannya dengan Amal Hamzah (adik Amir Hamzah) mengenai sikap hidup yang menurut Hamzah, Jassin adalah manusia yang tak punya ketegasan dalam hidup. Namun, Jassin merendah dengan membalas melalui suratnya.

“Saya sebut sikap saya itu kesabaran. Tapi pada perkataan lain, yakni Sintesa dan inilah pula yang kalau saya tidak salah dalam kitab kamus L. K. Bohang, kawan, guru kita itu, disebutnya keindahan. Dan saya merasa, bahwa saya akan sampai ke sana. Mudah-mudahan,” ujar Jassin dalam suratnya.

Demikianlah Jassin menggambarkan posisi istimewa Bohang di antara pergaulan seniman kala itu (Hasan Aspahani, 2016).

Bohang, memang ia tak seterkenal sahabat-sahabat sastrawan yang seangkatan dengannya atau penyair sedaerah dengannya yaitu Jan Engelbert Tatengkeng/J.E.Tatengkeng. Namun, Hasan Aspahani (2016) menjelaskan bahwa Tatengkeng pernah menulis makalah untuk kuliah umum di hadapan para dosen dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar, 30 April 1966; Tujuh Belas Tahun Sesudah Wafatnya Chairil Anwar. Tatengkeng mencoba melacak jejak persahabatan Chairil dengan Bohang dalam tiga surat Bohang yang terbit di Almanak Seni, 1957. Surat itu ditujukan kepada Jassin, ditulis dalam bahasa Belanda dan Jassin sendiri yang menerjemahkannya untuk diterbitkan.

Yang disebut sastrawan ataupun penyair, akan membawa kita pada perpektif berfikir ke arah produktifitas karya yang dihadirkan oleh genetik karya sastra itu sendiri. Bisa dikatakan L. K. Bohang tak seproduktif J. E. Tatengkeng pada waktu itu, atau pada hari ini Iverdixon Tinungki. Namun L. K. Bohang, menempati posisi yang sangat disegani hikmatnya oleh penyair dan kritikus sastra yang membingkai dalam perjalanan kesusastraan tanah air.

Pada suatu kesempatan Chairil Anwar begitu penasaran dengan tulisan yang nama pengarangnya Airani Molito. Dalam buku (Chairil/Aspahani, 2016) Chairil bertanya kepada Bohang.
“Siapa sebenarnya kau, penyair?

“Penyair? Aku tak pantas kau panggil begitu. Tak ada hasil kerjaku yang meyakinkan kau sebut penyair.”
“Kau yang merasa begitu. Aku melihat dari sisi sebaliknya. Aku membaca tulisan-tulisanmu. Airani Molito. Nama perempuan. Saya tahu itu kau, kawan.”

Dalam pembicaraan itu Bohang menegaskan dengan lembut kepada Chairil bahwa, “penyair itu bukan hanya cara berfikir, bukan hanya cara memandang dunia. Penyair tak akan pernah menjadi penyair kalau ia tak pernah menuliskan sajaknya.”

Chairil pun berkata bahwa, “Saya kira, sajak-sajak itu sudah ada banyak sekali dalam dirimu. Kau tinggal menuliskannya. Tentu dengan mengerahkan tenaga ciptamu. Itu tak akan sulit buatmu, kalau kau mau melakukan itu. Selanjutnya ia bertanya lagi, sebenarnya kau siapa?’

Bohang menjawab dengan bijaksana, “Aku? Aku ini Cuma seorang kelana tak bersejarah, kawan!” tutur pemuda Sangihe yang terlibat dalam pertempuran dasyat di sekitar kota Bandung untuk merebut kemerdekaan.
Lauren Koster Bohang dipanggil keribaan Tuhan pada 14 Febrari 1945. Sungguh suatu kesedihan yang pedih dialami para sahabatnya. Sang mentor telah menemui ajalnya dengan menggenapi waktu yang ditentukan Ilahi.

In Memoriam L. K. Bohang (1945)

Bohang,

Bukan aku tidak tahu, padamu soal mati dan soal hidup sudah bukan soal lagi. Tentang ini sudah acapkali kita pertengkarkan, engkau dan aku, di rumah ataupun di jalan, sewaktu kita berdua-dua berjalan-jalan dengan tidak tertuju, sore atau mala, hingga jauh malam, bintang di atas kita seperti sediakala.

Bohang, adakalahnya aku benci padamu, karena engkau tiada mementingkan keadaan. Sebetulnya benci aku ini padamu, adalah benci seorang yang lemah terhadap orang yang kuat. Aku benci padamu, karena terasa-rasa padaku, matamu mengejek-ejek aku, aku yang suka kepada benda, setidaknya aku yang tidak mengecilkan harga benda. Di sinilah letaknya selalu pertengkaran kita itu Bohang, di sinilah terletaknya perselisihan pandangan hidup kita.
….

Bohang, sekarang engkau sudah tiada, tapi betulkah itu engkau sudah tiada? Aku tiada percaya, engkau telah tiada karena biarpun tidak banyak, sedikit tentu jiwamu telah mempengaruhi jiwaku pula dan oleh karena itulah aku katakan, engkau tetap ada dalam proses jiwaku. Badanmu betul telah dikuburkan orang, tetapi jiwamu tetap berada di dunia ini, berada dalam tulisan-tulisanmu yang engkau tinggalkan

Bohang, selamat, sampai ketemu, Aku kawanmu;

AMAL HAMZAH 1945

 

Kemudian Chairil juga menulis pada 1945. Sajak untuk Bohang, kawan, mahaguru, sahabat bertukar pikiran, sosok yang didengar nasihatnya.

KEPADA PENYAIR BOHANG

Suaramu bertanda derita laut tenang
Si Mati ini padaku masih berbicara
Karena dia cinta, dimulutnya membusah
Dan rindu yang mau memerahi segala
Si Mati ini matanya terus bertanya!

Kelana tidak bersejarah
Berjalan kau terus!
Sehingga tidak gelisah
Begitu berlumuran darah.

Dan duka juga menengadah
Melihat gayamu melangkah
Mendayu suara patah;
“aku saksi!”

Bohang,
Jauh di dasar jiwamu
Bertampuk satu dunia;
Menguyup rintik satu-satu
Kaca dari dirimu pula

Chairil Anwar 1945.

 

Mudah-mudahan tulisan sederhana ini dapat memberikan inspirasi bagi kita dan sekaligus mengingatkan bahwa, pada tahun-tahun sebelumnya ada manusia Sangihe yang sangat disegani di era 1945. Namanya Laurens Koster Bohang. Lahir di pulau kecil Sangihe, dihormati di Ibu Kota.
Harapan kiranya kedepannya, kita dapat memberikan apresiasi juga kepada L. K. Bohang, seperti kita memberikan penghargaan kepada Jan Engelbert Tatengkeng. Bagaimana bisa, dengan lantang kita membacakan sajak AKU, Chairil Anwar, atau dengan elok membacakan Padamu Jua, Amir Hamzah tanpa mengenal L.K. Bohang yang punya andil besar dalam menginspirasi dan menguliti karya-karya mereka.

 

Beberapa Refrensi:

Buku; CHAIRIL, Penulis Hasan Apahani, 2016.

Majalah Tempo Online, Berguru Kepada Mentor Dari Timur 16 Agustus 2016.

 

Editor: Iverdixon Tinungki



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com