TOMOHON, ZONAUTARA.com – Baru-baru ini, warga Sulawesi Utara (Sulut) dihebohkan adanya proses autopsi terhadap jenazah korban pembunuhan yang diduga dilakukan secara inprosedural. Hal tersebut pun terjadi di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof Kandouw Malalayang, Manado.
Kejadian itu menyeruak kala pihak RSUP menyerahkan jenazah kepada pihak keluarga. Jenazah pun kala itu telah siap untuk dibawa ke rumah duka dari tempat pemulasaran jenazah di Rumah Sakit milik pemerintah tersebut. Namun, saat jenazah diterima oleh pihak keluarga, mereka mendapati adanya tanda bekas jahitan di bagian tubuh jenazah.
Sontak, keluarga dan kerabat korban yang tidak terima dengan hal tersebut pun langsung mengamuk. Mereka menganggap, tidak ada persetujuan dari keluarga bagi pihak Rumah Sakit untuk melakukan autopsi terhadap jenazah tersebut. Ada yang menduga, bahwa organ tubuh korban telah sengaja diambil.
Namun begitu, pihak kepolisian pun mengaku belum menerima laporan atas dugaan adanya autopsi inprosedural tersebut.
Lantas bagaimana sebenarnya autopsi itu?
Prosedur Autopsi
Autopsi diketahui merupakan pemeriksaan tubuh mayat dengan jalan pembedahan, untuk mengetahui penyebab kematian, penyakit dan sebagainya atau dengan kata lain bedah mayat.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia dr Ade Firmansyah Sugiharyoto SpF mengatakan, proses autopsi terhadap jenazah seseorang yang diduga meninggal dunia secara tidak wajar adalah hal yang penting.
Hal itu pun, kata dia, jelas diatur dalam Pasal 133 ayat 1, 2 dan 3 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di mana, khusus dalam Pasal 133 berisi tiga ayat yang berbunyi, dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
Kemudian, dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut. Dan ayat yang terakhir berbunyi, apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.
Artinya, proses autopsi tidak bisa dilakukan jika tidak mendapatkan persetujuan dari pihak keluarga atau ahli waris.
Hambatan Proses Autopsi
Berdasarkan kenyataannya, pihak kepolisian seringkali menemui hambatan saat hendak melaksanakan autopsy, di antaranya masyarakat kurang mengerti akan autopsi itu sendiri dan masyarakat kurang mengerti tentang administrasi autopsi.
Dalam menghadapi situasi tersebut, berdasarkan KUHAP, petugas harus menjelaskan dan menyadarkan pihak keluarga korban akan pentingnya autopsi yang hanya dapat dibuat berdasarkan hasil bedah mayat tersebut akan digunakan sebagai alat pembuktian dalam usaha mencari pembuktian kebenaran materiil dalam peristiwa yang menyangkut korban.
Pun jika ada pihak yang berusaha menghalang-halangi proses autopsi yang dinilai sangat penting untuk pembuktian di persidangan tersebut, pihak kepolisian pun bakal menggunakan Pasal 222 KUHP yang berbunyi, barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
Editor : Christo Senduk