Cuaca cukup cerah saat kami memacu sepeda motor matic. Saya mengenderai Honda Vario 125cc, Gita mengendarai Yamaha Mio Soul GT miliknya. Awalnya kami berencana membawa motor saya saja, tetapi karena bawaan saya cukup banyak, Gita setuju masing-masing kami membawa sepeda motor.
Sama halnya dengan Gita, saya belum memberitahu siapapun bahwa saya telah berangkat menuju Palu. Alasannya sederhana, kami tak mau kekhawatiran orang menghalangi niat kami.
Dua tetangga yang kebetulan keluar rumah dan saya titipkan kunci rumah, menatap kami dengan tatapan tak percaya dan keheranan. Berkali-kali mereka menanyakan keseriusan kami, dan baru percaya saat motor perlahan meninggalkan halaman rumah.
Gita Waloni lahir di pulau Manado Tua, pulau ikonik tepat di hadapan Teluk Manado dan setia menjadi objek foto kala sunset menggila di langit Manado.
Baca: Kisah Gita Bagian Pertama
Dia lahir pada 24 April 1998, masih sangat muda. Orangtuanya tinggal di pulau Siau, Kabupaten Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), sebuah wilayah eksotis di bagian Utara Sulawesi Utara.
Mahasiswi Pariwisata
Gita yang berkuliah di semester 5, Jurusan Hospitality dan Pariwisata, Fakultas Hospitality dan Pariwisata, Universitas Katolik De La Salle Manado ini menyukai wisata. Keindahan tanah moyangnya Siau menjadi alasan baginya belajar soal pariwisata.
“Saya ingin, potensi wisata di Siau itu lebih dikenal orang, sehingga bisa membawa dampak positif bagi warga di sana,” ujar Gita suata saat.
Dia telah mengexplore hampir seluruh wilayah Sitaro, dan mengunggah rekaman visualnya di account instagram marijokasitaro. Lewat account instagram itu, dia kemudian banyak mengenal orang.
“Ini saya dedikasikan untuk kampung yang saya cintai, Siau,” kata Gita.
Siau memang dikarunia pemandangan yang memesona. Negeri yang diberkati dengan hasil komiditi pala yang menjadi salah satu terbaik di dunia itu sangat layak didatangi. Apalagi Siau punya the real volcano Karangetang.
Gunung yang tak pernah tidur dan terus mengeluarkan lava pijar dari kawahnya yang menjulang tingii pada ketinggian 1800an meter. Gunung yang menarik wisatawan-wisatawan minat khusus untuk mendakinya.
Dan Gita adalah sedikit dari orang yang nekat mendampingi para wisatawan mendaki Karangetang. Remaja dengan ukuran tubuh mungil ini punya adrenalin yang tinggi. Dia punya tekad yang kuat untuk mencapai apa yang dia inginkan.
Itulah alasan mengapa saya mengajak dia menemani perjalanan ke Palu. Perjalanan darat yang cukup panjang, 1100 kilometer. Dan ini bukan perjalanan santai. Kami harus berburu waktu, tiba secepatnya di lokasi yang porak-poranda dihajar bencana.
Dalam perjalanan dari rumah, pikiran saya dihantui dengan kondisi Palu. Gempa bumi berkekuatan 7,4 SR dan terjangan gelombang tsunami bukan perkara main-main. Apalagi foto dan video menggerikan telah bersimpang siur di lini masa media sosial.
Dalam kondisi itu, saya memacu sepeda motor pada kecepatan rata-rata 100KM/jam. Saya terus melirik kaca spion, mengamati jarak dengan Gita yang membuntuti di belakang. Jika sudah cukup jauh, saya mengurangi kecepatan. Saya melengkapi dia dengan handytalkie, agar kami bisa terus berkomunikasi saat signal seluler tak ada.
Sejak dari Tateli, perjalanan kami cukup lancar dan sekali mampir mengisi bahan bakar di SPBU Tanawangko. Kami beristirahat pertama untuk makan di Inobonto dengan jarak tempuh sudah sejauh 128 KM.
Saat istirahat itulah saya kemudian memposting status di Facebook, bahwa saya sedang dalam perjalanan menuju Palu.
Berbagai komentar, pesan lewat inbox, sms dan WhatsApp pun berdatangan. Semuanya menginginkan kami berhati-hati dan mendoakan semoga selamat hingga tujuan.
Waktu menunjukkan pukul 17.30 WITA. Sudah dua jam setengah kami menempuh perjalanan.
(Bersambung ….)