SANGIHE, ZONAUTARA.com – Cucuran keringat membasahi baju empat pengrajin pandai besi di bengkel produksi mereka, Kampung Lenganeng, Kecamatan Tabukan Utara.
Bunyi palu bersahutan dengan mesin gurinda, sementara bara yang meletupkan panasnya mampu membuat besi berkualitas prima memerah. Otot kekar tangan para pria ini lalu memalu berulang-ulang besi yang membara itu.
Mereka adalah para Kipung, sebutan untuk pewaris keterampilan pembuat peda sanger. Ini adalah parang khas yang sudah terkenal tak hanya di Sulawesi Utara, tetapi hingga ke beberapa provinsi lainnya.
Pada masa kerajaan-kerajaan Sangihe, para Kipung bertugas menempa alat perang kerajaan. Tuturan tetua, salah satu tempaan Kipung waktu itu yang kesohor adalah Pedang Kinawalang yang dimiliki Raja Tabukan, David Papukele Sarapil. Kesaktian Kinawalang mampu membuat perompak Mangindano gentar.
“Ya, kami belajar bikin ini sejak masih kecil, tidak ada sekolahnya. Belajar saja dari orang-orang tua,” tutur Joksan (43) salah satu Kipung.
Hari itu, akhir pekan lalu, Joksan di bengkel kecilnya yang dibangun di samping rumahnya sedang menyelesaikan 10 peda sanger. Semuanya merupakan pesanan orang.
“Semua pandai besi di sini sudah punya langganan. Setiap bulan ada yang memesan. Kami bahkan kewalahan menyelesaikannya,” tutur Joksan.
Pesanan selain datang dari Manado, juga datang dari Maluku, Maluku Utara hingga Kalimantan. Ribuan peda sanger dan beberapa jenis senjata tajam seperti pisau diproduksi para Kipung ini setiap bulannya. Hampir semua pria dewasa di Lenganeng mewarisi keterampilan Kipung. Dan hampir semua rumah punya bengkel produksi.
Leo, pengrajin lainnya menjelaskan bahwa bahan baku peda sanger adalah besi pilihan. Dulunya mereka memproduksi dari besi bekas. Tetapi sekarang bahan bakunya sudah dibeli dari toko di Manado, terutama pegas yang digunakan untuk mobil.
“Besi jenis itu kualitasnya baik. Hasilnya akan sangat baik pula,” jelas Leo.
Mewarisi kepandaian Kipung tidak bisa dibilang mudah. Ada kewajiban moral yang melekat di pundak mereka. Seperti yang diakui oleh Joksan sendiri, bahwa mereka harus bisa menahan diri dari penyalahgunaan senjata tajam itu.
“Kami setiap hari bikin senjata tajam, kalau tidak bisa menahan emosi bisa-bisa parang ini malah disalahgunakan,” ujar Joksan.
Belum lagi kepercayaan yang diyakini para kipung, bahwa besi yang menjadi bahan dasar tidak ditempa sembarangan. Ada hitungan tersendiri seperti kekuatan magis dalam setiap tempaan. Jika tidak peda sanger tidak akan berkualitas baik.
“Semuanya kami pelajari dari leluhur kami,” kata Joksan.
Joksan dan Leo serta ratusan para kipung lainnya kini bertekad menjaga warisan leluhur mereka. Mereka membesarkan anak-anak mereka dengan bermodal besi. Pilihan hidup mereka adalah mengais rejeki dari tempaan demi tempaan pada besi yang membara.
Walau demikian mereka tidak membesarkan anak-anak mereka dengan tangan besi.
“Ini hidup kami, sebuah perjuangan yang mungkin tidak akan usai. Kami menggantungkan hidup pada bara dan tempaan besi yang menyambung sejarah tanah kami,” tutup Joksan.
Laporan Suhandri Lariwu dan Ronny A. Buol