bar-merah

Saat Herson memilih membuat huntara sendiri

zonautara.com
Foto: Kabar Sulteng Bangkit

PALU – Matahari sedang bersinar terik di Petobo, Rabu (19/12). Peluh Herson (43) bercucuran. Sambil menyeka keringat, ia terus memperhatikan tiga orang saudaranya yang sedang memasang dinding depan rumah panggung.

Herson bersama kerabatnya sedang membuat hunian sementara sendiri. Mereka mengambil kayu dan atap dari sisa reruntuhan rumah yang dilumat likuefaksi. Mereka tak perlu repot mengeluarkan ongkos kerja tukang. Sebab, sejumlah kerabat yang bekerja itu memang berprofesi sebagai pekerja bangunan.

Hunian yang Herson bangun seluas 80 meter persegi. Ukuran itu empat kali lipat lebih luas dibandingkan huntara pemerintah yang hanya seluas 17,28 meter persegi.

“Lebih baik bikin pondok saja sambil tunggu hunian tetap. Kita juga tidak tahu sampai kapan orang akan tinggal di huntara,” katanya.

Bila rumah panggung ini rampung, Herson akan memboyong lima kepala keluarga sekaligus untuk tinggal bersama. Mereka adalah kerabat dekatnya. Sama-sama senasib sebagai penyintas.

Herson dan istrinya, Mela (40), enggan tinggal di huntara pemerintah. Sebab huntara tersebut terlalu sempit untuk menampung seluruh anggota keluarga Herson. Padahal ia ingin tinggal bersama sanak keluarga dan kedua orang tuanya.

Selain sempit, Herson tak tahan apabila harus mengantri kamar mandi setiap hari di huntara pemerintah, seperti yang terjadi di kamp pengungsian. Sementara ia harus datang tepat waktu ke sekolah untuk mengajar.

Dengan berbagai alasan itu, Herson memberanikan diri membuat huntara sendiri. Berbekal sebidang tanah kosong pemberian keluarganya, ia mengajak beberapa keluarga penyintas yang tak lain adalah kerabatnya sendiri.

zonautara.com
Foto: Kabar Sulteng Bangkit

“Keluarga setuju bikin pondok. Jadi kita kerja gotong-royong saja,” kata guru sebuah madrasah tsanawiyah di Kabupaten Sigi itu.

Masing-masing kerabat laki-laki membawa alat sendiri. Ada yang membawa palu, ada juga yang membawa gergaji.

Praktis, ia hanya mengeluarkan biaya untuk membeli paku, beberapa potong baja ringan serta biaya makan. “Biaya makan juga tidak terlalu besar karena kami masak sendiri di sini,” timpal Mela.

Padahal normalnya biaya pembuatan sebuah rumah panggung bisa mencapai 50 hingga 70 juta rupiah.

Karena dikerjakan secara bersama, Herson juga tak mematok target kapan rumah panggung itu bisa rampung. “Kalau ada waktu dan ada biaya untuk beli paku baru kita kerja. Ini sudah empat minggu dikerjakan,” ujarnya.

Satu-satunya kekhawatiran Herson maupun Mela adalah ketersediaan air bersih. Untuk membuat sumur bor tentu akan butuh biaya yang tidak sedikit. Sementara sumber air bersih terdekat hanya dari kawasan huntara dan SMP 21 Palu. Jaraknya sekira 200 meter dari rumah panggung itu.

Tapi yang paling penting bagi Herson, rumah panggung itu akan menjadi kehidupan barunya setelah impian mereka sempat hilang ditelan likuefaksi.

Penulis: Zainal Ishaq
Editor: Ika Ningtyas



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com