bar-merah

Ruang ramah anak, tingkatkan rasa aman untuk anak

zonautara.com
Anak-anak di Desa Loli sedang bermain dan belajar di ruang ramah anak untuk menghilangkan trauma pascabencana. (Foto: Martin Dody/ ERCB)

PALU – Kondisi lingkungan pascabencana yang seringkali tidak layak biasanya akan menimbulkan permasalahan tersendiri. Rasa nyaman dan terlebih rasa aman akan lebih sulit dirasakan dalam kondisi seperti ini. Seperti halnya yang terjadi di Sulawesi Tengah pascabencana gempa, tsunami, dan likuefaksi.

Dalam kurun waktu dua bulan pascabencana, sebagian besar warga terdampak masih tinggal di posko pengungsian atau hunian-hunian sementara. Menghadirkan rasa nyaman dan aman bagi para warga terdampak tersebut menjadi pekerjaan rumah bersama.

ERCB – Emergency Response Capacity Building melalui Yayasan Pusaka Indonesia berupaya untuk membuat tempat layanan yang aman dan nyaman, terutama untuk anak-anak.

Pascabencana yang terjadi, anak-anak banyak yang kehilangan tempat belajar dan bermain. Sekolah banyak yang rusak sehingga mereka terpaksa belajar di sekolah-sekolah darurat di tenda. Mereka juga bermain di jalan dan tempat-tempat yang dapat menimbulkan bahaya.

Oleh karena itu, Ruang Ramah Anak (RRA) sebagai alternatif tempat bagi anak-anak untuk bermain sangat diperlukan. Melalui bentuk-bentuk permainan yang kreatif, anak-anak tersebut juga diajak untuk belajar.

Sebagai pelaksana tim di lapangan, Marjoko dari Yayasan Pusaka Indonesia (YPI) mengungkapkan, kelompok paling rentan ketika terjadi bencana adalah anak-anak, selain juga perempuan, lansia dan difabel.

Menurutnya, pengalaman traumatis akibat menyaksikan kejadian mengerikan dapat menyebabkan stres dan trauma yang dapat mengganggu perkembangan fisik, sosial dan mental anak.

Dalam implementasinya, ERCB mendapat dukungan dari masyarakat setempat. Hingga saat ini, ERCB melalui program RRA yang dilaksanakan YPI telah mendampingi 631 anak di tujuh desa dengan melibatkan 25 orang relawan pengajar dan tujuh orang dari unsur pemerintahan desa.

RRA yang didirikan ERCB di tujuh desa itu adalah di desa Kabonga Besar, Loli Saluran, Loli Pesua, Langaleso, Omu, Tuva dan Salua.

“RRA sebagai tempat menggerakan partisipasi masyarakat,” kata Marjoko.

Anak penyintas yang mendapatkan layanan juga menjadi tanggung jawab masyarakat sehingga masyarakat harus terlibat dalam setiap proses.

“Dalam hal ini bentuk tanggung jawab masyarakat diwujudkan dalam bentuk pembangunan RRA,” tambahnya.

“Jadi, intinya adalah bagaimana meningkatkan peran serta masyarakat dalam perlindungan anak,” kata Marjoko.

“RRA juga memberikan layanan hukum apabila terdapat tindakan yang menjurus pada tindakan kekerasan, eksploitasi maupun perdagangan anak khususnya di desa-desa dampingan,” tambahnya.

Selain melakukan aktivitas bermain, belajar, kreasi dan rekreasi, YPI melalui RRA juga melakukan pelayanan IDTVR (Identification, Documentation, Tracing, Verification, and Reunification atau Identifikasi, Dokumentasi, Penelusuran, Verifikasi dan Reunifikasi) untuk anak yang terpisah dari orang tua/ keluarga mereka.

“Selain itu, dengan pelayanan ini diharapkan kami bisa membantu mendata dokumen-dokumen yang hilang di saat bencana terjadi,” kata Marjoko. (mdk)

Sumber: Kareba Palu Koro Edisi II Desember 2018 (Newsletter terbitan konsorsium ERCB – Emergency Response Capacity Building)

Editor: Firmansyah MS



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com