bar-merah

Jejak hutan bakau di Teluk Palu

zonautara.com
Foto: Kabar Sulteng Bangkit

PALU — Hutan bakau atau mangrove pernah tumbuh rapat di pesisir Teluk Palu. Jejak itu bisa ditemukan dalam bahasa kaili, yang menyebut bakau dengan popa.

Selain nama lokal dalam bahasa kaili, jejak hutan bakau bisa ditelusuri melalui penamaan daerah (toponimi) yang disebut Kale. Sejatinya, Kale berasal dari kata “kale popa” yang berarti akar bakau.

Kale terletak di daerah pesisir Kelurahan Layana Indah, Kecamatan Matikulore, Kota Palu. Kale menjadi salah satu daerah yang terdampak tsunami 28 September 2018. Mohamad Syarif, salah seorang pemilik lahan di Kale menuturkan kesaksiannya tentang bagaimana hutan bakau banyak tumbuh di Kale.

“Dahulu hutan bakau masih banyak di sini, mulai dari Salu Bai (sekarang menjadi kompleks pergudangan) sampai di depan Kebun Sari. Saat itu saya masih kelas tiga SD, sekitar tahun 1980-an,” tuturnya.

Kesaksian Syarif, sesuai dengan dokumentasi foto Marine Luchtvaart Dienst Indië papa 25 Desember 1946. Foto termuat di laman Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) dengan judul; ”Luchtopname van Paloe, Midden-Celebes” yang artinya foto udara Palu, Sulawesi Tengah.

Pada foto tersebut memperlihatkan sisa-sisa hutan bakau di sekitar wilayah Kale sampai perbatasan Mamboro, setelah peristiwa tsunami tanggal 20 Mei 1938.

Syarif menjelaskan, setelah tahun 1980an, hutan bakau di daerahnya kemudian beralih fungsi menjadi rumah-rumah penduduk.

Hingga saat ini, hutan bakau Teluk Palu hanya tersisa di beberapa titik antara lain di Kelurahan Baiya, Kota Palu serta Kelurahan Kabonga Besar dan Kabonga Kecil, Kabupaten Donggala.

Ketua Relawan Mangrove Kota Palu, Ismail, menjelaskan, dari ketiga titik yang tersisa itu, bakau di Kabonga Besar adalah paling luas dan rapat, sekitar 10 hektar. Usia hutan mangrove tersebut lebih dari 15 tahun.

“Sedangkan di daerah Baiya usianya baru 2-3 tahun,” kata Ismail, pekan lalu.

Berkurangnya hutan bakau di Teluk Palu, kata Ismail karena berbagai faktor. Antara lain berubah fungsi sebagai lahan tambak garam, pemukiman, jalan dan proyek infrastruktur.

“Contohnya saat Jembatan Palu IV dibangun pada 2006, ada sekitar seribu pohon mangrove yang mati,” katanya.

Menurut Ismail, setelah tsunami 2018, konservasi mangrove di Teluk Palu seharusnya menjadi kebutuhan utama. Sebab mangrove juga berfungsi sebagai peredam tsunami dan menahan gelombang pasang.

Femke Tonneijck dari organisasi lingkungan Wetlands International, juga menguatkan, dalam banyak kasus, hutan Bakau melindungi kawasan pesisir dari terjangan badai, angin topan atau tsunami sekalipun. Karena ekosistem bakau mampu menyesap air dalam jumlah besar dan mencegah banjir. “Akar dan dahan bakau menahan gelombang air,” katanya.

Pada peristiwa tsunami di Teluk Palu 28 September 2018, bakau mampu menjadi benteng terakhir atas gelombang tsunami yang menerjang di Kelurahan Kabonga Besar dan Kabonga Kecil di Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala.

Pengamat Kebencanaan Sulteng, Abdullah, mengatakan, hanya enam korban meninggal di kedua kelurahan yang masih menjaga hutan bakau tersebut.[]

Penulis: Mohammad Herianto dan Ika Ningtyas
Editor: Ika Ningtyas



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com