bar-merah

Covid-19 dan literasi media

Oleh: Stepanus W Bo’do*

Ada banyak salah faham, macam-macam stigma muncul di tengah masyarakat soal Covid-19. Ada yang menuding itu salah pemerintah. Otoritas lamban, kurang transparan serta tidak mampu bendung berita palsu.

Menurut saya, penilaian demikian kurang adil jika tidak menilik peranan media massa dan literasi media masyarakat kita. Saya melihat literasi media penting dan relevan sebagai bagian strategi kita menghadapi Covid-19.

Satu akun tetiba ngamuk di grup diskusi Facebook, gegara komentar saya mengkritik cara media melaporkan. Saya kritik cara memilih angle berita yang menurut saya cenderung kurang mendidik. Akun itu gagal faham, dikiranya saya kritik inisiatif mahasiswa itu. Padahal sama sekali bukan.

Yang diberitakan seorang mahasiswa dari luar kampung melakukan upaya isolasi mandiri. Di kebun keluarganya. Tentu inisiatif ini sangat baik, dan patut diapresiasi. Disiplin diri sangat penting dalam kita menghadapi Covid-19.

Tetapi setelah saya cek, rupanya selama isolasi mandiri itu dia juga berkebun. Merawat tanaman milik keluarganya sambil tinggal di pondokan kebun. Sayangnya, media yang beritakan gagal melihat aktivitas positif ini. Ditambah lagi, foto yang ditampilkan si mahasiswa itu sedang duduk bersantai, bersarung pula. Padahal, dia tidak sedang sakit.

Jadi apa yang sebenarnya ingin disampaikan media untuk difahami pembacanya? Apakah isolasi mandiri itu, sama dengan berdiam diri? Bukankah tetap butuh jaga imunitas tubuh?  Yang bukan saja dari asupan makanan dan vitamin, sebagaimana banyak disalah fahami, tetapi terutama aktivitas fisik? Menurut data, Covid-19 sangat efektif membunuh kelompok yang kurang aktivitas fisik, manula dan yg sedang sakit.

Tanggung jawab media

Jadi, kalau masyarakat sering salah faham, muncul stigma macam-macam, itu tak lepas dari kekurangcermatan media menyampaikan informasi. Bukan semata salah otoritas, pemerintah atau masyarakat itu sendiri. Tugas dan tanggung jawab media adalah melayani kepentingan publik. Bukan sekedar untuk tahu, tetapi memahami informasi dan bagaimana harus bertindak.

Ada wartawan dari media besar, pada tiap tulisan tentang Covid-19 gemar menuding  pemerintah. Seakan lupa bahwa pemahaman publik jauh lebih penting. “Jurnalis juga berfungsi sebagai anjing penjaga.” Begitu katanya.

Fungsi kritis penting. Tetapi jangan lupa, media juga berfungsi sebagai pembentuk agenda, agenda setting. Membentuk apa yang audien akan pikirkan (Shoemaker, 2005). Di sini media juga perlu kritik dirinya, agenda-agenda sendiri. Seringkali media keasyikan menuding, lupa bahwa sebagai entitas industri, mereka tak luput kepentingan bisnis.

Apa yang perlu kita lakukan?

Ayo belajar pada kerbau atau sapi atau hewan ruminansia lainnya. Hewan memamah biak atau ruminansia mengunyah makanan dalam dua fase. Fase awal rumput hanya dikunyah sebentar dan yang masih kasar itu disimpan dalam rumen lambung. Fase berikutnya ketika lambung sudah penuh. Sambil istirahat, biasanya rebahan, mereka mengeluarkan makanan yang disimpan tadi itu untuk dikunyah lebih lanjut menjadi lebih halus lalu dimasukkan lagi ke dalam lambung cerna.

Kerbau atau sapi tidak  serta-merta akan sakit karena keracunan, misalnya,  jika makan rumput yang terpapar pestisida. Rumput yang dimakannya tidak langsung masuk lambung cerna.

Terhadap berita, informasi dari media – terutama sumbernya dari media sosial –  kita perlu saring sebelum dicerna dan atau dibagikan. Seperti hewan ruminansia, manusia juga memiliki mekanisme psikologi, kebebasan menentukan sikap dan tindakannya. Psikologi Alderian, misalnya, menemukan bahwa antara stimulus dan respon terdapat mekanisme kebebasan memilih. 

Dalam kajian komunikasi, ada mekanisme coding dan decoding. Di antara mekanisme itu ada fungsi gate keeper, penjaga gawang. Suatu posisi yang sering dialamatkan pada fungsi media massa dalam sistem demokrasi.
Tetapi, sebetulnya audien secara pribadi juga memiliki fungsi penjaga gawang untuk diri sendiri dan orang lain. Secara ilmiah, fungsi  ini disebut literasi media. Literasi media adalah kemampuan memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi sajian media.

Berita itu kemasan yang sudah diramu, dibumbui. Masih perlu diproses untuk dikonsumsi. Sama seperti kemasan mie goreng, masih perlu direbus, ditiriskan, di-mix bumbunya. Barulah jadi sajian enak bergizi di piring yang siap santap.

Seorang ibu yang bijak, akan mengurangi bumbu tertentu agar makanan kemasan itu tidak buruk bagi anak-anaknya. Di sana fungsinya sebagai penjaga gawang itu.

Seorang ibu yang tingkat literasi media sudah bagus, akan tahu seperti apa media bekerja dan bagaimana menyeleksi sajian media yang layak bagi dirinya dan bergizi untuk keluarganya.

Literasi media patut dikedepankan dalam upaya kita menghadapi pandemi Covid-19 saat ini.

Stepanus W Bo’do, Pemerhati covid-19. Dosen Komunikasi Fisip Universitas Tadulako Sulawesi Tengah, dan mendalami ilmu sosial.



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com