Indra S. S. Ketangrejo
Sekilas tak ada yang menarik dari gunung, atau lebih tepatnya bukit yang berjarak sekitar 500 meter dari ruas jalan AKD (Amurang-Kotamonagu-Dumoga) yang melintasi Kecamatan Dumoga itu.
Dumoga adalah sebuah wilayah yang subur di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong).
Bukit itu nampak biasa-biasa saja. Tapi itu bagi warga lain, tidak bagi warga yang bermukim di sekitar bukit atau masyarakat di sana menyebutnya Gunung Keramat Bubungon.
Keramat, begitu mereka menyematkan label bagi Bubungon, sebuah hamparan kawasan yang meninggalkan jejak sejarah penting bagi peradaban suku bangsa Mongondow.
Gunung ini merupakan situs budaya yang disakralkan bagi masyarakat Bolmong. Dari cerita para orang tua, di gunung keramat Bubungon itulah kerajaan Bolmong lahir. Dulu, sekitar abad ke-9, tepat di kaki Gunung Bubungon terdapat perkampungan yang diberi nama Dumoga. Penduduk di kampung Dumoga, kala itu terdiri dari beberapa kelompok. Diantaranya, Kelompok Tolot, Marag, Ponikian, dan Tapa’ Batang. Kelompok masyarakat itu kemudian belakangan berpindah wilayah dan melahirkan Desa Siniyung, Desa Pusian, Desa Dumoga, dan Desa Doloduo.
Meski begitu, sampai saat ini keempat desa itu tetap mengakui kalau mereka awalnya adalah warga Dumoga, yang tinggal di wilayah kaki Gunung Bubungon kala itu.
Menurut tuturan, di penghujung abad ke-13, di kampung Dumoga hidup sepasang suami istri yang bernama Kueno dan Obayow. Mereka juga biasa menyebutnya Amalie dan Inalie. Keduanya merupakan Bogani (pemimpin) atau penguasa penduduk di Bubungon.
Konon, pasangan suami istri ini, kala itu hendak mencari ikan di sungai kecil. Lokasinya tak jauh dari Gunung Bubungon tempat mereka tinggal. Setelah dalam perjalanan pulang, Bogani Amalie dan Inalie melihat burung duduk. Inalie meminta Amalie untuk menangkap burung duduk tersebut. “Domok ka in lagapan duduk tua, (coba tangkap burung duduk itu)” pinta Inalie.
Dari beberapa cerita, kata Domoka itu yang merupakan asal muasal nama kampung yang ada di kaki Gunung Bubungon, yang kemudian menjadi kata Dumoga.
Bersamaan dengan itu, Amalie dan Inalie melihat ada benda mirip telur burung terletak di tumpukan ranting yang ada di sungai kecil tempat mereka mecari ikan. Lebih dekat Amalie dan Inalie mengarah ke benda tersebut.
Rasa penasaran mereka terjawab, ternyata itu adalah bayi manusia yang masih terbungkus dengan selaput plasenta. Selang tujuh hari peristiwa ditemukannya bayi tersebut, terjadi dentuman keras disertai petir. Kejadian itu terpusat di tempat Amalie dan Inalie tinggal.
Mendengar peristiwa itu, hentakan kaki para Bogani dan penduduk bergemuruh menuju Bubungon. Mereka hendak mencari tahu apa yang terjadi di wilayah kekuasaan Amalie dan Inalie. Di sana mereka mendapati keberadaan bayi yang diletakkan di atas bakul. Dari situ, para Bogani bermusyawarah. Mereka mengambil kesepakatan untuk memberi nama bayi tersebut dengan nama Mokodoludut, yang artinya bergemuruh, serta mengakui bayi itu sebagai Punu (Raja) di wilayah Bolmong.
Peristiwa-persitiwa penting inilah yang membuat kecintaan warga Dumoga hingga kini terus terjaga. Mereka bagian dari masyarakat di Siniyung, Pusian, Dumoga, dan Doloduo, yang tetap menghormati Gunung Keramat Bubungon.
Prihatin
Sebagai bentuk keprihatinan warga Dumoga saat ini, ketika melihat keberadaan wilayah Gunung Keramat Bubungon yang sudah tak terawat lagi, mereka sepakat untuk mengingatkan lagi kepada masyarakat bahwa gunung itu harus dikembalikan seperti kondisi semula.
Hal itu dibuktikan dengan ratusan warga Dumoga berkumpul, dan kembali menyusuri gunung tersebut hingga ke puncak pada Sabtu, (10/10/2020) pagi pekan lalu. Banyak yang ikut mendaki, mulai dari anak-anak hingga orang tua berbondong-bodong naik ke gunung keramat itu.
“Gunung ini sangat kami hormati, ada banyak peristiwa penting sejarah Bolmong yang terjadi di sini,” ungkap sejumlah warga Dumoga.
Dalam perjalanan, mereka kembali mendengarkan cerita dari orang yang lebih tua, untuk mengingatkan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di sana.
Tokoh masyarakat Dumoga, yang juga sebagai pemerhati budaya dan sejarah Bolmong Donal Oday menjelaskan, bawah orang Dumoga Bolmong sudah berada di tempat ini sejak abad ke-9. Kala itu, gunung ini sangat cantik dan tak pernah dirusak oleh siapapun. Berbeda dengan saat ini, warga Bolmong pasti akan kecewa ketika melewati lokasi jejak para Bogani.
Kini Gunung Keramat Bubungon sangat memprihatinkan. Telah dirambah warga untuk dijadikan lahan perkebunan dan nyaris gundul hingga ke puncak.
“Salah satu yang menjadi bukti sejarah kejayaan Bolmong yang diakui oleh Pemerintah jaman dulu adalah dengan adanya prasasti yang dibuat sekitar tahun 80-an dan diresmikan oleh Gubernur Sulut, Gustaf Hendrik Mantik pada masa itu,” jelas Oday.
Namun sayang sekali, prasasti itu sudah terlihat tak bermakna lagi, hanya seperti beton biasa tanpa ada tulisan identintas Gunung Keramat Bubungon lagi. Padahal, kejayaan Bolmong yang eksis pada abad ke-13 dimulai di tempat ini.
Oday menjelaskan, secara misteri kelahiran Punu Molantud atau Punu Mokodoludut yang merupakan Raja Bolmong pertama lahir di tempat ini, di kampung tua Dumoga tepat di bawah kaki Gunung Keramat Bubungon. Kejadian itu, tepat di penghujung abad ke-13.
Bahwa, ketika kesepakatan para Bogani yang hidup berkelompok, Mokodoludut dinobatkan sebagai Punu pertama dimana kejadian kelahirannya sangat misterius saat itu. Punu Mokodoludut juga sangat eksis memerintah sekira 60 tahun, dan dipercaya oleh orang Dumoga sebagai kelahiran pertama Raja Bolmong. Keramatnya Raja pertama Bolmong, hingga kesepakatan para Bogani waktu itu, lokasi ini tidak bisa disentuh.
Larangan menebang pepohononan juga diterapkan di gunung ini, karena Mokodoludut lahir dengan keadaan yang tidak sehat, ia sakit saat masih kecil. Atas petunjuk dan berdasarkan ilham ompu duata (yang empunya alam semesta), ia diobati di rumah adat Komalig, dan diminta untuk menggelar upacara adat seperti aimbu, mobondit, momantun dan lain sebagainya.
Dan atas petunjuk ilham, pepohonan di gunung itu seperti kayu al nunuklaiyan, atul, moyonggosian, dumalat, lomboit dan banyak lagi, harus disakralkan. Sebab kayu-kayu itu digunakan oleh para Bogani, para ahli pengobatan untuk menyembuhkan Mokodoludut, yang akhirnya dinobatkan sebagai raja Bolmong pertama .
“Ini sudah melanggar komitmen para Bogani bahwa Gunung Keramat Bubungon ini tidak bisa disentuh dan harusnya dijaga,” jela Oday..
Adapun tujuan kedatangan ratusan warga ke puncak Gunung Keramat Bumbungon menurut Oday, lantaran keprihatinan masyarakat Dumuga yang sudah berlarut-larut sejak puluhan tahun. Dorongan lain adalah karena melihat situasi dan kondisi gunung yang juga merupakan kampung tua masyarakat asli Bolmong yang ada di Dumoga.
“Wilayah kampung ini ditinggalkan oleh orang Dumoga sekitar tahun 1916. Keprihatinan kami adalah, gunung ini tidak terpelihara lagi, dan pepohonan itu sudah ditebang oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Sudah dijadikan lahan perkebunan,” tutu Oday.
Berbagai masukan termasuk orang di luar Dumoga, Siniyung, Pusian, dan Doloduo, yang lewat di lokasi ini beharap lokasi ini dapat menjadi situs sejarah Bolmong, yang patut dilestarikan.
“Kami, tergerak hati dan berinisiatif untuk menghubungi pemerintah di Kecamatan Dumoga, Kepala Desa Bubungon, untuk berkunjung ke tempat ini. Tujuan kami adalah menjelaskan kepada masyarakat Dumoga yang merupakan penduduk asli di Bubungon, bahwa inilah lokasi yang merupakan kampung tua Dumoga,” kata Oday.
Oday juga berharap Bupati Yasti Soepredjo dapat memberi perhatian, bahkan jika bisa Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara memperhatikan situs ini.
“Kalau kami melihat silsilahnya Bupati Yasti Soepredjo Mokoagow, beliau adalah keturunan Raja Loloda Mokoagow yang moyangnya adalah Mokodoludut, yang lahir di kampung Dumoga Bumbungon, pada abad ke-13 silam. Kiranya Bupati bisa memperhatikan kembali Gunung iniini,” katanya.
Mereka mengusulkan, dan berharap Pemerintah bisa mengadakan simbol kejayaan Bolmong di lokasi ini, karena Raja Bolmong pernah eksis di sana. Apalagi Raja Loloda Mokoagow pernah sangat terkenal di jazirah Sulut.
“Pemerintah juga bisa menetapkan wilayah yang layak mereka garap sebagai lahan pertanian, dan mana yang patut untuk dilestarikan sebagai cagar budaya,” tegas Oday.
Tentu harapan warga Dumoga, pemerintah bisa memberikan payung hukum agar wilayah di Bubungon dapat menjadi kawasan yang bebas dari perambahan.
“Seperti menjadikannya cagar budaya dan situs sejarah tempat dideklarasikannya Kerajaan Bolmong,” tutup Oday.
Indra S. S. Ketangrejo
Penulis adalah Jurnalis di Bolmong dan warga Dumoga)