bar-merah

Setengah hatikah Pemerintah Kotamobagu melawan Covid-19?

masker covid-19
Ilustrasi dari Pixabay.com

 

HUJAN baru reda, aroma basah tanah masih tercium. Nur Rezkowati (29), mempersilahkan para mahasiswa keluar ruang kelas. Setelahnya, Ia memilih kembali duduk dan tak beranjak. Layar laptop dibiarkan menyala. Sebutir suplemen diteguknya bersama air dari thumbler yang sengaja dibawa dari rumah.

Sejak new normal, kuliah tatap muka terpaksa harus dilakukan. Sebagai dosen salah satu perguruan tinggi di Kotamobagu, Nur tidak bisa menolak. Ia paham betul, tak semua mahasiswa bisa ikut metode kuliah online. Banyak mahasiswa berasal dari pesisir. Tentu, selain kuota internet yang mahal, kebanyakan daerah pesisir di pelosok Sulawesi Utara (Sulut), masih belum terjangkau signal seluler atau punya koneksi internet. Keadaan ini mendorong Nur tak henti-hentinya mengingatkan para mahasiswa tentang pentingnya penerapan protokol kesehatan. Mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, dan menjaga jarak (3M), selalu jadi penutup akhir di setiap mata kuliahnya.

Semua itu dilakukan tidak hanya sebagai upaya pencegahan dan pemutusan mata rantai Covid-19, tetapi karena Nur telah merasakan betul bagaimana mimpi yang dirancang selama sepuluh tahun, pupus oleh kebijakan di masa pandemi. Covid-19 telah mengacaukan segalanya.

Nur menerima kenyataan pahit. Pernikahannya terpaksa mendadak harus dibatalkan. Tak ada pilihan lain. Sebab, jika pun tetap digelar, terlalu besar risiko yang harus diambil. Belum lagi, Satuan Gugus Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 pasti tak akan tinggal diam. Mereka tak sungkan membubarkan kerumunan.  Sekalipun, menurut Nur, bukanlah perkara mudah bisa berbesar hati. Terlebih, jika mengingat bagaimana segalanya telah dipersiapkan. Biaya gedung, konsumsi, gaun, dan souvenir terlanjur dibayar. Nur menuturkan, itu tak sebanding dengan rasa kecewa karena harapannya menjadi ratu sehari tak terwujud. Padahal dia telah membayangkan selama bertahun-tahun selama masa pacaran.

“Tidak mudah, tapi karena ini menyangkut hidup orang banyak, saya legawa. Walau kadang sering kesal melihat orang-orang masa bodoh. Barangkali mereka belum merasakan langsung dampak pandemi ini, sehingga merasa biasa-biasa saja,” ujar Nur, Sabtu, (07/11/2020).

Ketika Covid-19 mengubah segalanya

Waktu itu Nur benar-benar dibuat repot. Keadaan dan lingkungan sekitarnya langsung berubah drastis sejak  Covid-19 masuk dan mulai menyebar. Syukur orang tua Nur tak henti memberi semangat. Calon suami dan keluarga mertua, tidak bisa berkunjung untuk sekadar memberikan penguatan. Semua perbatasan telah dijaga ketat, tak ada yang bisa bebas masuk keluar daerah.

Pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia. Penyakit ini disebabkan oleh virus severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) atau pernapasan akut berat. Di Indonesia, kasus positif Covid-19 pertama kali terdeteksi pada 2 Maret 2020. Kala itu, dua orang terkonfirmasi positif tertular dari seorang warga negara Jepang. Pada tanggal 9 April, pandemi sudah menyebar ke 34 provinsi. DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat dinyatakan sebagai provinsi paling parah terpapar virus ini.

Hingga 30 November, Indonesia telah melaporkan 538.883 kasus positif (sesuai data di website Pusat Krisis Kemenkes RI, yang diakses pada 20 November pukul 15.00 WITA). Angka ini membuat Indonesia, menempati peringkat pertama terbanyak di Asia Tenggara (data diakses dari Worldometers.com). Dalam hal angka kematian, Indonesia menempati peringkat ketiga terbanyak di Asia. Dengan total 16.945 kematian. Namun, angka kematian diperkirakan jauh lebih tinggi dari data yang dilaporkan. Lantaran tidak dihitungnya kasus kematian dengan gejala Covid-19 akut, yang belum dikonfirmasi atau dites. Selain itu sudah ada 450.518 orang diumumkan telah sembuh.

Menanggapi pandemi ini, beberapa wilayah telah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sebagian wilayah tersebut, telah mengakhiri masa PSBB dan mulai menerapkan kenormalan baru.

Di Sulawesi Utara (Sulut), kasus positif covid-19 pertama kali dilaporkan terjadi pada 14 Maret. Seorang laki-laki, berusia 51 tahun asal Manado, yang baru pulang dari ibadah umroh diumumkan tertular virus. Kemudian, kasus baru terus berkembang. Pada akhir April, Sulut telah mengoleksi 45 kasus yang tersebar di beberapa daerah, yakni Manado ada 25 kasus, Kotamobagu 6 kasus, Tomohon 5 kasus, Minahasa 1 kasus dan Bolmut 1 kasus.

Jauh sebelum itu, Nur telah mendaftarkan dan menjadwalkan menggelar pasta pernikahan pada bulan April. Dia hanya bisa gigit jari. Pembatasan sosial tidak hanya membawa kesedihan bagi Nur atau calon pengantin lain. Para pengusaha dan pedagang juga turut merasakannya. Pasar, toko, dan pusat perbelanjaan di Kotamobagu ditutup. Meski kemudian dibuka lagi, dengan ketentuan pembatasan jam operasional. Pasar hanya bisa dibuka dari pukul 05.00 pagi hingga 15.00. Sementara toko, cafe, dan jenis usaha kuliner lainnya, hanya bisa buka hingga pukul 16.00, dengan sistem pesan bawa pulang.  Selebihnya, semua ditutup.

Tak hanya itu, warga dianjurkan tetap berada di rumah. Yang kerap terlihat di jalanan hanyalah petugas Satgas Covid-19. Hampir semua jalan dipasangkan portal. Pemerintah dari tingkat kota hingga kelurahan/desa tak henti keliling melakukan patroli. Sebagaimana aturan dari pusat, semua anak sekolah pun diliburkan.

Orang-orang mulai terbiasa bekerja dari rumah. Istilah work from home (WFH) pun menjadi kebiasaan baru. Nyaris semua tergantung pada internet. Tak hanya belajar, rapat dan pertemuan-pertemuan dilakukan secara online. Di jalan-jalan, ruang publik, dan halaman kantor pemerintahan, disediakan fasilitas pencuci tangan dan pengukur suhu.

“Ini adalah virus yang belum bisa ditemukan vaksinnya. Jadi, selain berusaha melakukan apa yang dianjurkan pemerintah pusat, kita berupaya untuk tetap memberikan rasa aman ke masyarakat,” kata Ketua Satgas Covid-19 Kotamobagu, Refly Mokoginta, ketika diminta keterangan pada Senin (11/11/2020).

Ditetapkannya pandemi Covid-19 sebagai bencana non alam nasional, dengan status darurat untuk jangka waktu tertentu, membuat pemerintah benar-benar mengalihkan perhatian dan fokus terhadap penanganan Covid-19. Di bawah koordinator langsung Walikota Kotamobagu, Tatong Bara, Tim Gugus Tugas Daerah dibentuk dan dikerahkan.

“Semua stakeholder harus saling membantu mengatasi keadaan ini. Baik pemerintah, maupun masyarakat. Ini semua bukan keinginan kita. Sehingga butuh kesabaran dan kerjasama yang baik,” ucap Refly.

Penerapan Protokol Covid-19

Sembilan bulan sudah pandemi Covid-19 berlangsung. Walau tidak masuk kategori zona merah di Sulut, kasus positif di Kotamobagu terus bertambah setiap harinya. Berdasarkan data pada website Satgas Covid-19 Kotamobagu, hingga Senin (30/11/2020), sudah 166 kasus positif secara kumulatif, 121 kasus sembuh, 8 kasus meninggal dan 37 kasus aktif, baik dalam perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pobundayan, Kotamobagu, dan di RSUD Prof Kandouw Manado maupun yang melakukan isolasi mandiri.

Pemerintah Kota Kotamobagu mengaku tanggap dalam menghadapi Covid-19. Banyak hal yang dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi penyebaran virus. Sebanyak Rp 82,8 miliar dana yang digelontorkan. Berbagai bantuan sosial ke masyarakat, dalam bentuk paket sembako disalurkan.

Dari segi fasilitas penunjang, RSUD Kotamobagu menjadi salah satu rumah sakit rujukan pasien Covid-19 Sulut. Tak hanya itu, di Kotamobagu juga sudah ada laboratorium tes cepat molekuler Covid-19, sehingga penanganan pasien Covid-19 bisa lebih cepat tinimbang daerah tetangga.

Namun, seiring berjalannya waktu masyarakat mulai terbiasa. Covid-19 dianggap tak semengerikan dulu. Pada Juni, orang-orang mulai keluar rumah. Penggunaan masker juga mulai dianggap mengganggu.

“Paling hanya tahan 15 menit, selebihnya sesak napas. Jadi sejujurnya saya lebih sering tidak menggunakan masker sih,” kata Masria Paputungan, (43), salah satu warga yang ditemui di pusat Kota Kotamobagu, Senin, (11/11/2020).

Meski ada pelarangan, masyarakat sudah mulai berani membuat kerumunan massa. Pesta pernikahan, ulang tahun, syukuran, dan banyak kegiatan yang mengundang massa dilakukan, tanpa memperhatikan lagi protokol kesehatan.

“Biasa saja, orang-orang sudah berkumpul, banyak tanpa masker. Sedang saya, kan hanya sendirian. Lagipula, kalau tertular sudah banyak yang sembuh,” ujar Masria.

Kebiasaan masyarakat yang mulai tak peduli, membuat Nur kesal. Keseriusan pemerintah dalam menerapkan protokol Covid-19 dianggapnya setengah hati. Nur menilai, kelonggaran ini tak hanya Ia dapati dalam kehidupan bermasyarakat. Di kalangan pemerintahan kelonggaran juga mulai terasa. Beberapa kantor yang sebelumnya menyediakan fasilitas pencuci tangan, misalnya, sekarang tidak lagi menyediakan. Jaga jarak tidak diperhatikan. Sementara, Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkup pemerintahan kota sudah mulai kembali masuk kantor.

“Keseriusan hanya terlihat pada awal kasus Covid-19 saja. Sekarang coba cek. Beberapa kantor dinas/badan di lingkup satuan kerja perangkat daerah (SKPD) justru tak lagi memperhatikan protokol kesehatan,” kesal Nur.

Belum lagi, gelaran Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulut pada Desember 2020, dianggap turut membuka potensi terjadinya kerumunan massa.  Kotamobagu kerap dijadikan wilayah kampanye. Banyak posko pemenangan dibangun. Kerumunan terjadi di mana-mana. Sementara patroli Satgas mulai jarang terlihat.

“Untuk penerapan protokol covid, ASN melakukan sistim shift sebagaimana aturan yang ada. Kami bekerja dari rumah dan bekerja di kantor juga. Walau memang sebagai manusia, beberapa penerapan protokol covid sering terlewatkan. Jadi, tidak ada bantahan soal fasilitas pencuci tangan yang tidak tersedia lagi di sini,” aku Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, (Kesbangpol) Kotamobagu, Irianto Mokoginta,  Senin, (09/11/2020).

Menurut Irianto, isu politik yang sedang berkembang jelang Pilgub Sulut, tidak menutupi persoalan atau keseriusan penanganan covid-19.

“Pengawasan kampanye itu sudah diatur dan merupakan kewenangan Bawaslu. Kecuali cakupannya ASN, tapi meskipun begitu, Kesbangpol sebagai bagian dari Satgas Kota, selalu mengingatkan soal penerapan protokol,” kilah Irianto.

Kepala Kesbangpol Kotamobagu, Irianto Mokoginta. (Foto: Neno Karlina)

Sementara itu, Kapolres Kotamobagu, AKBP Prasetya Sejati, mengatakan, kesadaran merupakan hal penting dan menjadi salah satu indikasi tertib atau tidaknya masyarakat. Dirinya menganggap perlu ada pendisiplinan, agar masyarakat taat menerapkan 3M. Selain itu, mulai maraknya pesta pernikahan akan menjadi perhatian tersendiri.

“Tentu akan kami tindak. Kami akan bekerjasama dengan Satgas untuk melakukan pengecekan, dan kemudian menyampaikan apa yang jadi ketentuan dalam Perwako. Dan untuk Pilgub, sudah ada aturan yang mengatur di PKPU 13. Yang pasti, kita akan berupaya semaksimal mungkin, untuk tetap menekan angka kasus positif Covid-19,” ujar Kapolres.

Di sisi lain, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) dan Damkar Kotamobagu, Sahaya Mokoginta, menangkis dan mengatakan bahwa kelonggaran dan tidak tertibnya masyarakat, terutama dalam membuat kerumunan tidak lepas dari tanggung jawab Lurah/Sangadi sebagai Satgas di tingkat kelurahan/desa.

“Semua ada tingkatannya, kalau ada yang sudah menggelar pesta, harusnya yang dipertanyakan adalah aparat setempat, termasuk juga camat. Karena koordinasi telah dilakukan hingga ke tingkat bawah. Sebagai yang bertanggungjawab di bidang Gakum, Satgas Kota, saya mengimbau agar aparat desa tidak tebang pilih dalam mengeluarkan izin terhadap masyarakat. Jangan, kalau duka dibatasi dan dilarang-larang, tapi kalau acara pernikahan, karena ada hubungan keluarga, justru diizinkan,” imbau Sahaya.

Kontroversi Terbitnya Perwako

Melihat kondisi perkembangan Covid-19 di Kotamobagu, pada tanggal 17 September, Pemerintah Kota Kotamobagu menerbitkan Peraturan Walikota (Perwako) Nomor 42 Tahun 2020, tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan. Dalam Perwako disebutkan, ada sanksi administratif bagi yang tidak mengindahkan protokol Covid-19. Sanksi perorangan ini berupa teguran lisan, teguran tertulis, dan sanksi denda Rp100 ribu bagi warga biasa, dan Rp250 ribu bagi pengusaha.

Namun Perwako ini dianggap bertentangan dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011, yang mengatur peraturan perundang-undangan. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kotamobagu, Meydi Makalalag, sebagai panglima pembuat regulasi di Kotamobagu, enggan berkomentar.

“Kita sudah ada Pansus Covid-19. Nanti segala hal yang berkenaan dengan Covid-19 bisa ditanyakan langsung ke Pansus,” singkat Meydi, Sabtu, (09/11/2020).

Berbeda dengan Meydi yang enggan berkomentar, Wakil Ketua DPRD sekaligus anggota Pansus Covid-19, Syarif Mokodongan dengan tegas mengatakan, berdasarkan aturannya penerapan sanksi administratif pada Perwako ini keliru.

“Hanya saja, saya melihat Perwako ini sebagai niat baik pemerintah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia, sebagaimana amanat Undang-Undang. Tapi, Perwako ini harusnya didorong menjadi Perda. Perda itu kan ada dua, atas usulan pemerintah dalam hal ini eksekutif, atau inisiatif dari DPR,” jelas Syarif.

“Yah, kita lihat saja. Siapa kemudian merasa lebih berkompeten untuk urusan ini. Sudah sepantasnya ini didorong oleh Pemerintah, karena ada instansi-instansi terkait yang lebih berkompeten, misalnya urusan kesehatan ada Dinas Kesehatan. Kan, begitu, walaupun bukan tidak boleh DPR menginisiasi. Tapi lebih elok jika eksekutif yang mendorong ini,” jelas Syarif, Senin (11/11/2020).

Selain itu menurut Syarif, Perwako juga belum tersosialisasikan dengan baik. Perlu ada yang mendorong seluruh stakeholder termasuk media yang menginformasikan ke masyarakat.

“Kita berbaik sangka dan mencoba melihat ini sebagai sesuatu yang positif, sebagai langkah cepat Pemerintah dalam menghadapi covid-19. Saya juga mengimbau, masyarakat Kota Kotamobagu yang hari ini mengakui kepemimpinan dari duet TBNK (Tatong Bara dan Nayodo Koerniawan) seharusnya patuh dan taat terhadap pemimpin,” ujar Syarif.

Menurutnya Pemimpin melakukan itu bukan untuk mencari-cari kesalahan, tapi untuk kebaikan bersama. Karena kalau masyarakat menjadi korban Covid-19, Pemerintah tidak akan lepas tangan.

Berbeda dengan Syarif, Wakil Walikota Kotamobagu, Nayodo Koerniawan mengatakan, Perwako itu adalah bagian dari tindakan persuasif dari Walikota.

”Adapun kekurangan dalam penerapannya, akan disempurnakan dengan mendorong Perwako ini menjadi Perda,” singkat Nayodo.

Sejak Perwako diterapkankan, sudah ratusan warga yang kena sanksi. Hasil denda itu akan dimasukkan sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kotamobagu.

“Ada sekitar 200-an yang telah disanksi administratif. Tapi kalau rinciannya, apakah warga biasa atau pengusaha, itu datanya ada di Satpol-PP sebagai yang mengurusi penindakan,” kata Ketua Satgas Covid-19 Kotamobagu, Refly Mokoginta.

Kepala BPBD Kotamobagu dan Ketua Satgas Covid-19 Kotamobagu, Refly Mokoginta. (Foto: Neno Karlina)

Sayangnya, Kasat Satpol-PP dan Damkar Kotamobagu, Sahaya Mokoginta justru mengatakan bahwa penjabaran secara pasti data jumlah warga Kotamobagu yang disanksi ada di Kaban BPBD yang juga merupakan Ketua Satgas Covid-19.

“Datanya ada di BPBD. Kami tidak memegang itu,” kata Sahaya.

Menyikapi itu Pengamat Hukum dan Politik Kotamobagu, Hamri Mokoagow, SPd, MH menanggapi bahwa kebijakan Pemerintah sudah seyogyanya berpihak ke kemaslahatan, jangan sampai justru dianggap sebagai langkah yang lebih memberatkan masyarakat saat pandemi.

UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sudah sangat jelas. Pasal 15 yang mengatur soal sanksi pidana atau sanksi administrasi hanya dapat diberlakukan oleh undang-undang, perda atau perpu. Sedangkan perwako pada dasarnya hanya mengatur dan mengurai secara teknis peraturan lainnya yang kedudukan hukumnya lebih tinggi di atasnya.

“Saya memahami pemberlakuan Perwako dengan menerapkan sanksi itu adalah niatan baik dari Walikota dan Pemerintah Kotamobagu. Tujuannya agar masyarakat terhindar dari penularan Covid-19. Upaya ini perlu diapresiasi. Tapi, sebaiknya Perwako ini bisa didorong khususnya dalam penerapan sanksi ke lahirnya peraturan daerah hingga disahkan bersama oleh eksekutif dan yudikatif. Sehingga sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011,” jelas Hamri.

* * *

Konsistensi Pemerintah dan Kesadaran Masyarakat

Mata Nur masih sembab. Ia baru saja mengeluhkan segala keresahan hatinya. Setiap Nur melihat gelaran pesta pernikahan, Ia langsung bergegas sholat. Keputusannya waktu itu tetap melangsungkan akad nikah saat virus corona masih menjadi momok yang menakutkan dengan berbagai larangan yang sangat ketat tak bisa diralat. Dia tidak bisa mengutuk Pemerintah. Nur lebih memilih memberi pemahaman kepada para mahasiswanya soal nilai toleransi kerjasama serta membangun kesadaran dari dalam diri sendiri.

Patuh terhadap penerapan protokol kesehatan adalah bentuk ketidakegoisan. Berusaha tolong-menolong agar virus ini bisa segera berlalu. Atau paling tidak bisa menekan jumlah kasus positif.

“Bagaimana siklus ketergantungan sebagai makhluk sosial ini bisa bisa diatur agar menjadi kekuatan, bukan sebaliknya menjadi ancaman. Jangan sampai akibat ketidakpedulian kita, justru orang lain yang harus menanggung derita,” ungkap Nur.

Nur berharap keadilan di masyarakat selama pandemi akan dijaga oleh Pemerintah. Jangan sampai, pengorbanan dan kebesaran hati orang-orang yang telah mengalah demi kemaslahatan bersama agar situasi membaik dan pandemi segera berlalu, justru sia-sia.

Sebagaimana fungsinya, Pemerintah harus bisa melayani, mengatur, membangun, dan mengupayakan pemerataan bagi seluruh lapisan masyarakat. Sudah sepantasnya Pemerintah konsisten dengan apa yang telah dilakukan. Kepatuhan penerapan protokol kesehatan Covid-19 harus dijaga.

“Ketidakpatuhan bisa terjadi di masyarakat. Itu bisa jadi karena pemerintah juga yang tidak konsisten, atau tidak tegas dalam menindaklanjuti apa yang telah menjadi kebijakan. Padahal intervensi ini dianggap perlu, agar masyarakat patuh dan menghormati aturan,” kata Hamri.

Perilaku masyarakat bisa berubah menjadi lebih baik, jika Pemerintah dan para pemimpin mempertontonkan kepatuhan dan konsisten dengan aturan yang dikeluarkan. Teladan dalam penerapan protokol kesehatan akan menjadi salah satu kunci utama mempercepat pandemi ini berakhir.


Laporan ini didanai dari Beasiswa Liputan untuk Anggota AJI: Kepatuhan Pemerintah/Badan Publik Terhadap Protokol Covid-19, program kerjasama AJI Indonesia dengan IFEX.


Neno Karlina

Neno saat laporan ini dikerjakan masih sebagai wartawan di Totabuan.news, media yang dioperasikan dari Kotamobagu. Laporan ini merupakan kali keempat fellowship liputan yang dikerjakan Neno. Sebelumnya dia juga mengerjakan liputan soal bantuan sosial di masa pandemi.

Neno Karlina

 



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com