ZONAUTARA.com – Hari mulai sore, pasar Sentral Timika, Papua tidak seramai pagi hari. Perlahan para pedagang mengemas sisa dagangan untuk dibawa pulang. Tak sedikit juga memilih kukuh berjualan, berharap ada pembeli yang singgah.
Mama Rita Tiaro (56), misalnya. Kepada Zonautara mama Rita bercerita biasa tiba berjualan di pasar pukul 9, sebab mama Rita harus ke kebun dulu untuk memetik buah salak. Mama Rita memiliki beberapa kebun yang diolahnya secara bergantian. Salah satu kebunnya ada di Pigapu. Kebun ini ditanami salak dan banyak pisang.
“Salak lebih mudah, hanya ditanam sekali saja, baru kita panen-panen terus saja to. Kalau kangkung atau bayam bikin capek. Pinggang sa retak semua saat mau bikin bedeng. Dulu sa dengan pace coba taman (kangkung) juga, tapi tidak berhasil, ” kata mama Rita, Rabu, (7/12/2021).
Sebenarnya, mama Rita tidak terbiasa berkebun. Mama Rita dari suku Kamoro yang biasa meramu, hidup dari hasil alam, terutama dari sungai-sungai. Mama Rita lebih dekat dengan 3S (sungai, sampan, sagu). Setelah suaminya meninggal mama Rita tidak ada pilihan lagi, selain menanam pisang dan salak. Hasil kebun inilah yang kemudian dijual di pasar Sentral Mimika.
“Paling sering jual daun pisang, Rp5 ribu saja tiga ikat. Kalau salak tidak lagi musim, Sa biasa cari pakis juga untuk dijual. Itu tinggal ambil-ambil saja di hutan,” cerita mama Rita.
Sulitnya transportasi umum
Untuk membawa hasil kebun ke pasar, mama Rita harus membayar ongkos ojek yang mahal. Dalam sehari saja mama Rita harus mengeluarkan biaya sekitar Rp300 ribu hanya untuk transportasi. Karena ongkos transportasi yang mahal itu, akhirnya mama Rita memilihi menukar salah satu kebunnya dengan sepeda motor keluaran tahun 2006, kepada salah satu kenalan anaknya dari Manado. Dengan motor itu, mama Rita diantar-jemput anaknya saban hari .
Mama Rita sendiri sudah berjualan di pasar sejak anaknya baru dua. Sekarang mama Rita sudah punya delapan anak dan tiga cucu. Namun hingga kini mama Rita belum memiliki lapak, dia belum kebagian saat ada pembagian lapak.
Mama Rita hanya menumpuk jualannya di pinggir jalan di atas tanah beralas karung. Meski demikian, dirinya tidak keberatan, sebab hampir semua mama-mama Papua di Pasar Mimika telah menjual kembali lapak mereka kepada pedagang lain. Mereka percaya tanah sama seperti seorang ibu yang memberi kehidupan, sehingga harus dihormati. Dan sebagai wujud penghormatan, mereka akan duduk jualan di atas tanah juga.
“Apa yang kita jual itu semua tumbuh dari tanah. Nanti kalau jualan di atas meja-meja, kita akan sial, tidak akan laku,” yakin mama Rita.
Mama Papua di mata pedagang lain
Kepercayaan dan tradisi terus dijaga oleh mama-mama orang asli Papua yang berjualan di Pasar Sentral Timika. Lapak-lapak di pasar terbesar di Mimika ini justru ditempati oleh pedagang dari luar Papua.
“Saya sudah berdagang di sini 12 tahun, ikut orang tua. Kalau lapak, kebetulan waktu itu ada mama yang menjual kembali lapaknya, saya bayar Rp600 ribu,” kata Suryati, (38), pedagang asal Pati, Jawa Tengah, Kamis, (08/12/2021).
Suryati menuturkan, sebenarnya pemerintah telah membagi lapak untuk pedagang orang asli Papua. Tapi para pedagang orang asli Papua lebih memilih meninggalkan lapak mereka.
“Saya juga tidak tahu, tapi mungkin karena kepercayaan yang kuat sehingga saudara kita (pedagang orang asli Papua) tidak terlalu nyaman berjualan menggunakan lapak yang disediakan pemerintah,” ujar Suryati.
Menurut Suryati, pedagang orang asli Papua memiliki jiwa juang yang besar dalam berdagang. Mereka teguh mempertahankan nilai-nilai yang mereka yakini, meski harus duduk beralas tanah beratap langit.
“Saya sendiri tidak tahan seperti itu, kan kalau di pinggir jalan memang benar-benar tidak ada yang melindungi kepala dari sinar matahari. Tapi mereka bisa tahan sampai sore bahkan malam hari. Mereka seperti telah menyatu dengan dingin angin dan panas matahari,” kata Suryati.
Meski terlihat lebih tertutup dan jarang berkomunikasi, Suryati mengatakan pedagang orang asli Papua sebenarnya sangat baik. Mereka tidak pernah mengganggu pedagang dari luar dan bisa berdagang bersama meski mereka lebih memilih tidak berjualan di lapak.
Butuh keseriusan pemerintah
Tahun 2019, pemerintah sempat membangun pasar khusus orang asli Papua di Distrik Wania. Pasar yang dibuka pada 23 Oktober 2021 ini bisa menampung 84 pedagang dengan desain lapak yang lebih rendah. Tujuannya agar pedagang bisa menaruh dagangannya tidak terlalu tinggi. Namun, pasar itu hanya digunakan beberapa hari saja oleh pedagang orang asli Papua, lantas ditinggalkan.
Meski ada persoalan lahan di pasar Distrik Wania atau yang lebih dikenal Pasar SP 4 ini, namun bagi pedagang orang asli Papua, yang menjadi persoalan dasar adalah pasar tidak ramah dengan kepercayaan dan tradisi mereka.
Terdapat keyakinan bagi orang asli Papua bahwa saat berjualan harus berada di baris paling depan, terutama bagi suku Amungme. Amungme sendiri terdiri dari dua kata “amung” yang artinya utama dan “mee” yang artinya manusia.
“Sa jualan saja di sini (pinggir jalan). Kalau di pasar, saya tempatnya di belakang. Sa harus duduk jualan di paling depan. Biar terlihat to,” kata mama Ony Magai, (45), pedagang orang asli Papua dari suku Amungme.
Hal serupa juga dikatakan mama Wenda Magai (57). Mama Wenda yang sehari-hari menjual umbi-umbian (keladi, batatas, singkong) sebenarnya memiliki tempat berjualan di deretan depan. Namun kondisi pasar yang jauh dari jalan dan sekarang justru dipagar beton membuat mama Wenda tidak nyaman.
Menanggapi hal ini, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Mimika, Reddy Wijaya mengatakan, penting bagi pemerintah untuk bersama-sama melihat ini sebagai tenggungjawab yang besar.
“Butuh pemetaan dan pembangunan yang lebih ramah dengan tradisi dan budaya. Hal ini penting untuk bisa mendorong ekonomi orang asli Papua. Sebab, tidak bisa dipungkiri, mama-mama Papua memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi,” ujar Reddy saat ditemui di salah satu acara kerukunan komunitas masyarakat, Kamis (8/12).
Menurutnya, selama ini pembangunan di Papua dalam banyak aspek belum menjawab persoalan yang ada di masyarakat asli Papua. Sehingga kelihatannya manfaat pembangunan hanya lebih besar dirasakan oleh pendatang yang memiliki tradisi yang berbeda.
“Saya yakin pemerintah sudah melihat ini. Dan tentu harusnya sudah tahu, karena sudah cukup banyak analisa dan penelitian soal ini, tapi pertanyaannya, apakah pemerintah benar-benar serius? Saya pikir masyarakat bisa menilai itu,” kata Reddy.
Secara terpisah Wakil Bupati Mimika Johannes Rettob mengatakan bahwa pembangunan di Papua harus dilakukan dengan hati. Sebab hanya dengan hati itulah pemerintah bisa melihat secara gamblang apa yang dibutuhkan oleh orang Papua, termasuk di Mimika.
“Salah satu pendekatan pembangunan di Papua yang harus dilakukan oleh pemerintah itu adalah pendekatan secara tradisi dan kebiasaan orang asli Papua,” kata Rettob saat ditemui Zonautara.com.