Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation oleh: Nicholas Hardi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dan Astri Parawita Ayu, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
ZONAUTARA.com – Di tengah penyebaran virus corona varian omicron yang terus meningkat di Indonesia dan banyak negara, sebagian penyintas COVID-19 melaporkan gejala sisa berupa keluhan fisik atau mental setelah perawatan.
Dibandingkan pasien penyakit lain, sebagian penyintas COVID yang menjalani rawat inap menunjukkan gejala stres pasca trauma (post-traumatic stress disorder, PTSD) satu bulan setelah perawatan. Umumnya, penderita penyakit fisik berat khawatir memikirkan ancaman keselamatan nyawa, terutama bila dirawat di ruang rawat intensif dengan terpasang berbagai alat medis.
Mereka yang melihat atau berhadapan dengan ancaman kematian, cedera, penyakit berat, dan kekerasan fisik atau mental dapat mengalami trauma. Hal ini membuat seseorang rentan mengalami gangguan stres pasca trauma.
Di Indonesia, menurut data swaperiksa secara online Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dari April-Agustus 2020 menunjukkan 75% dari 4010 orang mengalami gejala PTSD. Kita perlu mengenali tanda gangguan stres pasca trauma dan menanganinya agar tidak semakin memburuk.
Kejadian PTSD pada penyintas COVID
Pengalaman sebagai pasien COVID-19 dapat menjadi stresor psikologis.
Riset di Italia menemukan kejadian PTSD pada 30% pasien pasca perawatan kondisi akut COVID-19 di rumah sakit. Riset ini mengungkapkan kemiripan jumlah kasus PTSD dalam kasus penyintas severe acute respiratory syndrome (SARS), Middle East respiratory syndrome (MERS) dan bencana badai Katrina.
Kejadian PTSD pada penyintas COVID juga lebih tinggi dibandingkan korban bencana gempa dan tsunami di Jepang pada 2011, dan serangan teroris pada World Trade Center di Amerika Serikat tahun 2001, yaitu 25% dan 7,5%.
Riset di Amerika Serikat menyatakan pasien COVID mengungkapkan beberapa kekhawatiran saat menjalani perawatan isolasi di rumah sakit seperti perpisahan dari keluarga dan tinggal di lingkungan asing. Mereka juga merasa takut meninggal seorang diri, serta tidak lagi berjumpa atau mengucapkan perpisahan dengan teman dan kerabat.
Dalam riset di Italia, PTSD masih dapat dijumpai pada 1 dari 10 penyintas COVID tiga bulan pasca-perawatan rumah sakit. Meski angkanya lebih rendah daripada kelompok penyakit lain yang dirawat di ruang rawat intensif, riset ini menyatakan hanya sedikit pasien yang kritis dan memerlukan perawatan intensif.
Studi lanjutan masih diperlukan untuk mengevaluasi perubahan kejadian PTSD dari waktu ke waktu pada orang yang sama, dalam durasi enam bulan pasca perawatan.
Fakta-fakta ini menunjukkan penyintas COVID perlu waspada akan kemungkinan PTSD. Kita perlu mengenali risiko dan tanda PTSD penting agar dapat mengurangi penderitaan mereka.
Risiko timbulnya PTSD
Level risiko terkena gangguan stres pasca trauma berbeda-beda tiap orang, tergantung jenis kelamin dan beberapa faktor lainnya.
Riset di Italia menunjukkan karakteristik penyintas COVID-19 yang rentan mengalami PTSD adalah perempuan, mempunyai riwayat gangguan mental, riwayat delirium saat perawatan, gejala COVID yang menetap, keparahan gejala pernapasan, dan kebutuhan perawatan intensif.
Tingkat keparahan peristiwa traumatis dan dampaknya, seperti ketidaknyamanan fisik, cedera, beban finansial, atau kecacatan turut berperan dalam terjadinya PTSD. Satu riset menemukan pasien dengan kondisi fisik seperti penyakit paru kronis dan obesitas rentan mengalami PTSD.
Hal ini mungkin berkaitan dengan pengetahuan publik bahwa kedua kondisi tersebut sering menimbulkan kematian bagi pasien COVID.
Persepsi terhadap COVID-19 dapat mempengaruhi kerentanan timbulnya PTSD.
Tanda-tanda PTSD
Gejala PTSD bervariasi antarindividu.
Ada beberapa gejala penanda PTSD yang umum. Misalnya, orang mengalami ingatan intrusif (ingatan yang menganggu) terkait kejadian traumatik berupa kilas balik (flashback) atau mimpi buruk. Orang dengan PTSD juga cenderung menghindari membicarakan, memikirkan, atau mengingat peristiwa traumatik.
Pasien juga mempunyai mood yang cenderung negatif, berpikir buruk mengenai diri sendiri, kehilangan harapan masa depan, hilang minat aktivitas atau bersosialisasi, atau mati rasa secara emosional.
Seseorang dapat bereaksi secara berlebihan berupa mudah terkejut, waspada akan bahaya, mudah kesal atau marah, berperilaku kasar atau membahayakan diri sendiri, hingga sulit tidur dan konsentrasi.
Gejala tersebut menimbulkan penderitaan dan kesulitan bagi individu beraktivitas dengan baik.
Jika Anda mengalami gejala tersebut, segera mencari bantuan atau bercerita dengan orang sekitar. Anda juga perlu berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater untuk memastikan diagnosis sehingga memperoleh bantuan yang tepat, terutama bila timbul pikiran mengakhiri hidup.
Data dari sampel 13.049 penyintas kasus dugaan atau konfirmasi COVID-19 di Inggris menunjukkan kaitan keparahan gejala pernapasan dan gejala PTSD.
Semakin berat gejala pernapasan menandakan seseorang semakin membutuhkan perawatan intensif. Mereka melaporkan kecenderungan lebih berwaspada, mudah terkejut, dan luapan emosi kuat.
Diagnosis segera dan vaksinasi
Diagnosis oleh tenaga kesehatan mental, seperti psikiater atau psikolog pada waktu yang tepat itu sangat penting. Waktu yang tepat adalah ketika sudah mengalami gejala PTSD yang menetap setidaknya satu bulan atau gejala tersebut telah menimbulkan penderitaan sehingga aktivitas sehari-hari menjadi terganggu, setelah seseorang terpapar peristiwa traumatis.
Gejala yang menghilang dalam satu bulan pasca terpapar trauma menandakan suatu reaksi stres akut. Bila gejala menetap lebih dari satu bulan, individu kemungkinan mengalami PTSD. Terkadang, ekspresi gejala PTSD dapat tertunda hingga enam bulan atau lebih sejak trauma.
Akhir pandemi belum pasti. Penyebaran virus masih mungkin terjadi secara endemik maupun pandemik. Jumlah kasus masih bertambah dan beberapa orang telah terinfeksi lebih dari satu kali.
Bagi orang yang mengalami PTSD terkait COVID, situasi ini berpotensi mencemaskan atau mengingatkan pada pengalaman traumatisnya. Penyintas COVID dan keluarga perlu memahami tanda PTSD sehingga dapat segera terdeteksi dan teratasi.
Dukungan keluarga penting dalam proses pemulihan pasien. Mereka perlu menjadi pendengar yang baik hingga memotivasi mereka untuk segera mengakses profesional kesehatan mental.
Kita harus melindungi diri dengan menjalankan protokol kesehatan dan vaksinasi untuk mencegah keparahan penyakit. Jika keparahan berkurang, maka kita dapat mengurangi kebutuhan rawat inap, menggunakan alat bantu pernapasan, serta kematian.
Upaya ini dapat membantu kita terlindungi dari COVID berserta dampaknya bagi kesehatan mental. ***
Nicholas Hardi, Peneliti dan Psikiater, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dan Astri Parawita Ayu, Dosen dan Peneliti, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya