Artikel ini sebelumnya sudah tayang di The Conservation, ditulis oleh: Nauli Aisyiyah Desdiani, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM)
Peran pemerintah daerah dalam sektot lingkungan hidup sangat penting, terlebih dengan semakin tingginya kejadian bencana alam yang berkaitan dengan perubahan iklim, seperti banjir dan tanah longsor.
Dalam sistem desentralisasi tata kelola pemerintahan, lingkungan hidup merupakan salah satu sektor yang sebagian kewenangan pengelolaannya telah diserahkan kepada pemerintah daerah (pemda).
Namun, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) pada 2021, empat dari tujuh daerah yang menjadi objek studi – yaitu Provinsi Gorontalo, Kota Cirebon, Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Sigi – belum memiliki peraturan daerah (perda) atau regulasi khusus untuk program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian perubahan iklim oleh pemda masih belum optimal karena banyaknya tantangan yang dihadapi dalam menjalankan program. Setidaknya, pemda menghadapi empat tantangan utama yaitu administratif, finansial, politis, dan pengetahuan teknis.
Regulasi yang tumpang tindih
Pemda menghadapi tantangan administratif karena belum adanya regulasi yang mengikat dan adanya tumpang tindih birokrasi yang menghambat kinerja dalam menjalankan program terkait lingkungan dan perubahan iklim.
Pembagian kewenangan pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 mengenai Pemerintah Daerah dan UU Nomor 32 Tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, regulasi tersebut belum memuat aturan pembagian kewenangan secara spesifik mengenai perubahan iklim.
Di Provinsi Kalimantan Utara, misalnya, pembagian peran yang kurang jelas antar pemangku kepentingan – seperti kurangnya sinkronisasi data dalam pelaksanaan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi – menjadi hambatan dalam pencapaian target lingkungan.
Di sisi lain, Provinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu daerah yang sudah memiliki perda khusus mengenai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Perda tersebut mencakup aturan mengenai pembagian kewenangan, koordinasi, evaluasi, hingga pendanaan.
Mengingat pentingnya peran aktif pemda dalam merumuskan kebijakan terkait perubahan iklim, adanya perda khusus sebagai arahan bagi otoritas provinsi maupun kabupaten/kota, serta bagi para pemangku kepentingan di daerah, menjadi sangat krusial dalam mewujudkan pembangunan rendah emisi dan meningkatkan ketahanan daerah.
Pendanaan yang minim
Tantangan berikutnya adalah tantangan finansial.
Anggaran lingkungan hidup bertujuan untuk membiayai berbagai program yang berorientasi pada lingkungan dan mitigasi perubahan iklim di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), seperti program pembangunan hijau maupun program konservasi.
Sayangnya, dari segi alokasi, anggaran yang dimaksud masih memiliki proporsi yang sangat kecil dibanding dengan pos belanja lainnya, seperti layanan umum dan pendidikan.
Hal ini membuat rencana dan program pengentasan isu lingkungan menjadi terbatas.
Padahal, banyak masalah lingkungan dan perubahan iklim yang secara langsung berdampak bagi kehidupan masyarakat, seperti bencana kekeringan dan banjir.
Selain alokasi anggaran yang kecil, pemda juga masih bergantung pada tunjangan dari pemerintah pusat.
Adanya guncangan pada anggaran pemerintah pusat secara langsung akan berdampak pada alokasi ke daerah. Akibatnya, usaha pengentasan masalah lingkungan dan perubahan iklim oleh pemda menjadi semakin terhambat.
Pandemi COVID-19 menjadi salah satu contoh nyata. Anggaran pemerintah pusat dan daerah difokuskan untuk penanganan masalah kesehatan sehingga terjadi realokasi di pos belanja lain, termasuk pada belanja fungsi lingkungan hidup.
Terakhir, pemda juga menghadapi kurangnya sumber pendanaan potensial berbentuk pendanaan publik maupun pinjaman.
Sebabnya, pendanaan dan investasi di bidang lingkungan hidup terlihat kurang menguntungkan secara ekonomi dibanding dengan investasi di bidang lain seperti pembangunan infrastruktur, meskipun pada dasarnya pendanaan program lingkungan dan iklim memiliki manfaat sosial yang besar.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) memperkirakan kerugian ekonomi nasional yang ditimbulkan akibat dampak perubahan iklim dapat mencapai Rp 115 triliun pada 2024. Jika pemda fokus dalam mencari dan meningkatkan pendanaan iklim dan lingkungan hidup, kerugian ekonomi akibat kerusakan lingkungan dan bencana akibat perubahan iklim dapat terhindarkan.
Kesadaran politis mengenai isu perubahan iklim
Dalam menjalankan programnya, pemda juga dihadapkan pada tantangan politis, seperti rendahnya kesadaran para pemangku kepentingan akan masalah lingkungan dan perubahan iklim.
Akibatnya, program perlindungan lingkungan hidup serta pengendalian perubahan iklim tidak menjadi isu strategis dalam RPJMD.
Tidak hanya itu, adanya konflik kepentingan juga menjadi salah satu penyebab program tersebut tidak menjadi program unggulan. Pemimpin daerah yang mendapat keuntungan dari kegiatan bisnis yang menghasilkan emisi tinggi menjadi contoh nyata dari isu konflik kepentingan.
Masalah politik lainnya yang menjadi tantangan adalah kebijakan pemda yang mengikuti siklus periode pemimpin daerah.
Periode kepemimpinan yang hanya lima tahun menyebabkan pemda berfokus pada permasalahan dasar seperti pembangunan infrastruktur, pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Permasalahan lingkungan dan pengendalian iklim kerap diabaikan.
Kebijakan seperti pengenaan retribusi untuk pengelolaan sampah atau kebijakan perbaikan lahan kritis, yang hasilnya baru dapat dinikmati pada jangka panjang (lebih dari lima tahun), dianggap sebagai kebijakan yang tidak populis dan dapat mengurangi elektabilitas politik pada pemilu selanjutnya.
Kalaupun kepala daerah menerapkan kebijakan perlindungan lingkungan dan pengendalian perubahan iklim, kebijakan bisa terhenti apabila terjadi pergantian kepemimpinan.
Rendahnya pengetahuan mengenai isu lingkungan dan iklim
Tantangan terakhir adalah tantangan teknis pada saat menjalankan program lingkungan dan pengendalian iklim.
Isu yang paling sering dihadapi ialah ketidaksetaraan pemahaman mengenai risiko iklim antar pemangku kepentingan daerah. Perbedaan pandangan menyebabkan tidak selarasnya perencanaan program-program yang berkaitan dengan isu tersebut.
Selain itu, perencanaan yang matang sulit tercapai karena kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas di bidang terkait. Pada beberapa daerah seperti Kabupaten Sigi (Provinsi Sulawesi Tengah), Provinsi Gorontalo, dan Provinsi Kalimantan Utara, pemda masih kekurangan personel yang paham mengenai mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Hal ini disebabkan belum banyaknya program pelatihan maupun pendidikan dalam rangka peningkatan kapasitas dalam bidang tersebut. Sosialisasi terstruktur dari pemerintah pusat juga masih sangat terbatas, sehingga pemda belum melihat urgensi dari program lingkungan dan pengendalian iklim.
Oleh karena itu, sering kali pendanaan untuk program lingkungan masih dilihat sebagai pembiayaan, bukan sebagai investasi.
Langkah yang bisa dilakukan ke depan
Upaya untuk mengatasi berbagai tantangan di atas dapat dimulai dari memperjelas pembagian peran antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal penanganan lingkungan dan mitigasi perubahan iklim.
Upaya ini harus didukung oleh regulasi di tingkat nasional yang mengikat masing-masing pihak, agar permasalahan lingkungan dapat menjadi salah satu isu prioritas di tingkat daerah dan mendapatkan alokasi anggaran yang memadai.
Permasalahan lingkungan hidup harus segera diatasi melalui perbaikan kebijakan pembangunan daerah, karena jika terus dibiarkan akan berdampak negatif bagi arah pembangunan lokal ke depannya. Dengan demikian, pemda harus mampu mendesain agenda dan strategi pembangunan yang berbasis pada pengelolaan lingkungan hidup secara baik dan terukur.
Selain itu, pemda juga perlu mengurangi ketergantungan finansial dari pemerintah pusat dengan cara mencari sumber pendanaan dari pihak ketiga untuk program lingkungan hidup dan mitigasi perubahan iklim di tingkat daerah.
Amalia Cesarina, Fachry Abdul Razak, Syahda Sabrina, Meila Husna (Asisten Peneliti LPEM FEB UI) membantu dalam proses literatur dan penulisan.
Nauli Aisyiyah Desdiani, Researcher, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.