Artikel ini sebelumnya telah tayang di The Conversation, yang ditulis oleh: Erza Killian, Universitas Brawijaya dan Mireille Marcia Karman, Universitas Katolik Parahyangan
Setelah eskalasi konflik selama beberapa minggu terakhir, Rusia akhirnya memulai agresi militernya ke Ukraina pada tanggal 24 Februari lalu. Agresi ini dianggap sebagai ancaman keamanan terbesar di kawasan Eropa sejak Perang Dunia ke-II.
Negara-negara Barat bereaksi dengan menyatakan kecaman, menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia – contohnya Amerika Serikat (AS) yang telah membekukan aset beberapa bank utama Rusia dan memangkas impor barang teknologi dari Rusia – serta mendesak kedua negara untuk menempuh jalur negosiasi.
Sayangnya, sanksi-sanksi yang diberikan negara-negara lain tidak akan efektif untuk mendesak Presiden Rusia Vladimir Putin menghentikan agresi ke Ukraina.
Sanksi ekonomi tidak mempan untuk Rusia
Sanksi ekonomi adalah salah satu bentuk diplomasi koersif yang umum digunakan negara untuk menekan entitas lain tanpa perlu terlibat langsung dalam perang. Pengalaman historis menunjukkan bahwa meskipun sanksi ekonomi dapat mempengaruhi kondisi ekonomi negara target, praktik ini cenderung kurang berhasil dalam mengubah perilaku negara ataupun pemimpinnya.
Riset menunjukkan bahwa rata-rata efek sanksi ekonomi hanya berhasil di 34% kasus, dengan tingkatan yang berbeda-beda, tergantung tujuannya. Semakin sederhana tujuan yang ingin dicapai – semisal pembebasan tawanan – semakin besar probabilitasnya untuk berhasil, sementara semakin kompleks tujuannya, semakin rendah keberhasilannya.
Sanksi ekonomi terhadap Rusia yang bertujuan untuk menghentikan agresi ke Ukraina tergolong tujuan kompleks sehingga probabilitas keberhasilannya cenderung kecil.
Ini sempat terjadi ketika negara Barat memberikan sanksi kepada Rusia untuk kasus Krimea, di mana setelah delapan tahun berlalu, Krimea tetap diklaim sebagai milik Rusia sehingga sanksi ini kehilangan tujuan dan momentum.
Terlebih lagi, Rusia sudah ‘berpengalaman’ menerima sanksi ekonomi, sehingga ia cukup terlatih dalam mengantisipasinya.
Sejak tahun 2014, Rusia sudah dijatuhi sanksi ekonomi karena menginvasi Semenanjung Krimea di Eropa Timur. Sejak saat itu juga, Rusia telah mengadopsi kebijakan ‘de-dollarization’, yakni mengurangi penggunaan dollar secara bertahap, termasuk dalam cadangan devisanya. Saat ini, hanya 16% dari total cadangan devisa Rusia yang berupa dollar, jauh jika dibandingkan dengan 40% cadangan devisa dollar yang dimiliki pada lima tahun lalu.
Rusia juga telah mengembangkan sistem transaksi dan komunikasi finansial domestik – jaringan Mir dan SPFS – sejak tahun 2014, setelah penggunaan Visa dan Mastercard diblokir. Dari segi barang dan jasa pun, Rusia sudah cukup lama mengisolasi diri untuk mengamankan ekonominya dari goncangan global.
Sanksi ekonomi juga berpotensi kurang efektif mengingat Uni Eropa – selaku salah satu entitas pemberi sanksi – memiliki tingkat ketergantungan tinggi pada Rusia, yang memasok sekitar 40% kebutuhan gas Uni Eropa.
Sebagai contoh, Jerman yang merupakan konsumen gas terbesar Rusia memutuskan untuk menunda Proyek Pipa Gas Nord Stream 2 demi memberikan tekanan ekonomi kepada Rusia. Cara tersebut tidak hanya akan menekan ekonomi Rusia, tapi juga Jerman sendiri. Rusia memang akan kehilangan konsumen terbesarnya, tapi Jerman juga akan kehilangan komoditas yang sangat dibutuhkan bagi masyarakatnya.
Dengan kata lain, pemberian sanksi ekonomi kepada Rusia bukan langkah yang tepat dan efektif. Usaha Uni Eropa untuk mengurangi pengaruh Rusia di kawasan melalui penurunan tingkat ketergantungan ekonomi tidak dapat menekan agresivitas Rusia karena sanksi ekonomi juga merugikan negara-negara pemberi sanksi.
Berkaca dari kegagalan masa lalu
AS, Jerman, dan Prancis telah melakukan berbagai usaha negosiasi dan diplomasi dengan Rusia, namun tidak ada satupun dari usaha tersebut yang berhasil membujuk Rusia untuk melakukan meredakan situasi. Usaha diplomasi yang dilakukan di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga tidak berhasil mengubah pendirian Rusia.
Jika berkaca pada sejarah, kegagalan diplomasi tersebut juga terjadi saat Rusia melakukan agresi terhadap Ukraina pada tahun 2014 dan mengambil alih Krimea. Saat itu, North Atlantic Treaty Organization (NATO) – organisasi pertahanan negara-negara Barat yang memiliki visi menjaga stabilitas dan keamanan kawasan Eropa – beserta negara-negara Barat hanya merespons sebatas pernyataan kecaman, dorongan untuk mengadakan pertemuan dan negosiasi di NATO-Russia Council, dan pemberlakuan sanksi ekonomi terhadap Rusia, persis seperti apa yang mereka lakukan terhadap invasi Rusia ke Ukraina kali ini
Respon tersebut terbukti gagal mencegah Rusia untuk tetap bertahan di Krimea. Maka, tidak menutup kemungkinan kegagalan serupa juga akan terjadi kali ini.
Liberalisme tanpa komitmen
Kegagalan-kegagalan tersebut terjadi karena permasalahan yang lebih mendasar. Mengutip Michael Doyle, seorang akademisi Hubungan Internasional asal AS, pandangan liberalisme yang menjadi kiblat negara-negara Barat cenderung menciptakan terjadinya supine complaisance, yakni kegagalan negara-negara liberal untuk mendukung sesama negara liberal yang terancam.
Menurut Doyle, visi negara liberal mendukung terciptanya kebebasan bagi semua bangsa seringkali tidak didukung dengan komitmen konkret untuk menyediakan pondasi ekonomi, politik, dan keamanan yang dibutuhkan negara-negara lain untuk mencapai kebebasan tersebut. Hal ini karena dalam prosesnya, biaya yang dibutuhkan dalam jangka panjang sangat besar, negara-negara liberal harus mengorbankan kebutuhan dan kepentingan domestik mereka.
Inilah mengapa dalam invasi Rusia terhadap Ukraina kali ini, AS dan NATO lebih memilih cara-cara yang berbiaya rendah seperti mengecam, memberikan sanksi ekonomi, dan mendorong usaha negosasi serta diplomasi, dibanding melakukan langkah konkret, seperti mengirimkan pasukan NATO untuk mendukung Ukraina secara langsung.
Bagaimana seharusnya langkah negara-negara Barat?
Diplomasi dan negosiasi merupakan langkah penting dalam menekan agresi, namun tanpa unjuk kekuatan yang konkret, yang akan terjadi hanyalah berulangnya kegagalan. Dengan pertimbangan kondisi yang terjadi saat ini, setidaknya negara-negara Barat perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, sekarang bukanlah saat yang tepat untuk hanya berpikir jangka pendek bagi kepentingan negara masing-masing karena dampak negatif dari konflik Rusia-Ukraina bisa semakin tidak terkontrol. Semua negara di dunia saat ini masih berusaha untuk membangkitkan kembali perekonomiannya dari dampak negatif pandemi COVID-19.
Keberadaan konflik saat ini pasti akan menambah tekanan kepada perekonomian global yang masih rapuh. Bagi Uni Eropa secara khusus, konflik ini akan menciptakan instabilitas kawasan yang akan menyebabkan berbagai masalah domestik baru seperti kelangkaan energi, peningkatan harga, dan peningkatan jumlah pengungsi yang melarikan diri dari daerah konflik.
Kedua, penting bagi negara-negara Barat untuk melakukan balancing terhadap kekuatan Rusia ketika usaha deterrence melalui sanksi ekonomi dan ancaman diplomatik tidak lagi efektif. Balancing dapat dilakukan dengan cara terlibat langsung dalam perang terbatas (limited war) namun tetap menjadi bagian dari resolusi damai karena bertujuan untuk mendorong Rusia kembali melakukan negosiasi. Tanpa adanya unjuk kekuatan yang konkret, tidak akan ada insentif bagi Rusia untuk kembali ke meja perundingan.
Dengan demikian, daripada hanya berfokus pada penggunaan jalur-jalur diplomasi yang ada serta pemberian sanksi ekonomi guna menghentikan agresi Rusia, negara-negara Barat patut mempertimbangkan untuk membuat perencanaan keamanan yang terkoordinir demi melindungi kebebasan masyarakat Ukraina.
Erza Killian, Dosen Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Brawijaya dan Mireille Marcia Karman, Assistant Professor, Universitas Katolik Parahyangan
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.