Artikel ini terbit lebih dulu di The Conversation, yang ditulis oleh: Wengky Ariando, Chulalongkorn University dan Dedi Supriadi Adhuri, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)
Artikel pertama dalam serial “Menjaga Kelangsungan Gipsi Laut.”
Kita mungkin pernah membaca sebuah artikel ataupun menonton film dokumenter tentang kehidupan masyarakat yang sepenuhnya bergantung pada laut – kerap disebut “gipsi laut” atau “nomad laut”. Di Indonesia, mereka adalah masyarakat Bajau yang hidup di bagian tengah hingga timur, dan Orang Suku Laut yang hidup di perairan sebelah barat tanah air.
Sejumlah media tersebut menayangkan kearifan lokal masyarakat Bajau yang memiliki rumah di atas laut, menerapkan praktik larangan pengambilan ikan di lokasi tertentu, ataupun kepandaian menyelam mereka. Riset yang kami lakukan juga menganalisis beraneka kebiasaan Orang Suku Laut yang bermanfaat untuk proses adaptasi terhadap perubahan iklim.
Setelah melakukan penelitian lapangan dan studi berbagai dokumen sejak 2018, kami justru menemukan bahwa praktik turun-temurun itu semakin tergerus oleh peradaban modern. Perubahan juga terjadi dari internal masyarakat gipsi laut sendiri.
Kita membutuhkan komitmen besar untuk meredam laju perubahan sosial ini melalui peran aktif pemerintah pusat maupun daerah untuk melindungi keberadaan dan menjaga kearifan lokal kaum gipsi laut.
Laju perubahan sosial gipsi laut
Dulunya, masyarakat gipsi laut kerap berpindah dengan mengikuti pola musiman. Selain untuk mencari penghidupan, berdasarkan pengamatan kami sejak 2018, kegiatan nomaden tersebut merupakan perwujudan dari prinsip kebebasan hidup. Motivasi spiritual dan ekologi juga melandasi perpindahan mereka.
Perubahan kaum gipsi laut berlangsung sejak sebagian dari mereka menerapkan pola pemukiman yang menetap sejak akhir abad ke-18 sampai dengan 1950-an.
Saat ini sebagian besar gipsi laut sudah memiliki permukiman tetap. Data dari organisasi nirlaba Yayasan Kajang (belum diterbitkan), menyatakan Orang Suku Laut nomaden yang beraktivitas di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, hanya tinggal sebanyak enam sampai dengan tujuh kepala keluarga saja.
Berdasarkan analisis data sekunder dan observasi lapangan, kami memperkirakan populasi Orang Suku Laut sekitar 28.000 orang dan Bajau sekitar 161.000 orang. Populasi mereka tersebar di 18 provinsi di Indonesia.
Namun, data ini belum divalidasi dengan data sensus terbaru. Jumlahnya bisa jadi jauh lebih besar dari angka tersebut.
Nah, semenjak menetap, kemampuan adaptasi masyarakat mulai berubah. Misalnya, warga Bajau awalnya hanya menganggap daratan sebagai tempat menjual hasil perikanan, mengambil air bersih, serta membeli kebutuhan pokok dan pemakaman. Sedangkan laut berfungsi sebagai ruang hidup utama yang dihormati.
Konsep ini menghasilkan ketetapan adat tentang wilayah sakral di laut yang dipercaya dihuni oleh mahluk-mahluk tertentu. Wilayah tersebut juga menjadi tempat berlangsungnya ritual-ritual untuk meminta kesembuhan.
Kini, laut mulai beralih fungsi lebih sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi. Berbekal kemahiran menyelam, mengambil ikan, ataupun kemampuan navigasi, sejumlah perkampungan gipsi laut bertumbuh menjadi sentra-sentra perikanan. Contohnya di Kampung Bajau Mola di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Namun, tak semua warga Bajau mewarisi kemampuan tersebut. Orang-orang yang tak mahir menyelam atau tak memiliki kecakapan melaut, misalnya, justru terlibat dalam praktik perikanan ilegal. Sebagai contoh, ada warga Bajau Saponda, Kabupaten Konawe yang menggunakan bom untuk mencari ikan di perairan Sulawesi Tenggara.
Kisah serupa juga terjadi pada Orang Suku Laut di Kabupaten Lingga yang bekerja sebagai penebang hutan bakau untuk dijadikan arang kayu.
Kebiasaan ini adalah dampak dari lunturnya kepercayaan “pantang larang”. Ini merupakan tata aturan turun temurun yang digunakan untuk menumbuhkan kesadaran hukum adat dari Orang Suku Laut yang terkait dengan sisi spiritual, misalnya pantang larang melaut, menebang pohon, ataupun menangkap jenis spesies tertentu.
Bukan muncul tiba-tiba
Perubahan sosial yang melemahkan kearifan lokal kaum gipsi laut adalah imbas dari keberadaannya yang tidak dilindungi sejak awal. Mereka dipaksa untuk bersaing dengan masyarakat darat (non-gipsi laut) tanpa adanya kebijakan perlindungan khusus untuk pelestarian adat istiadat mereka, misalnya akses khusus di kawasan perairan.
Ini terjadi pada Orang Suku Laut. Mereka terpaksa menjadi penebang kayu bakau demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan wawancara kami bersama warga setempat, aktivitas ini berlangsung karena adanya permintaan dari masyarakat sekitar dan tekanan ekonomi.
Sebaliknya, kaum gipsi laut yang menjadi minoritas di suatu wilayah masih mendapatkan stigma negatif sebagai kelompok dengan status sosial kelas dua. Mereka juga mendapatkan julukan yang bernuansa diskriminatif dari masyarakat dominan di sekitar perkampungan mereka.
Ada pula warga nomad laut yang diusir oleh masyarakat adat dominan di sekitar kampung lantaran masih dianggap sebagai masyarakat pendatang. Beberapa kelompok mereka juga tergusur oleh kebutuhan pembangunan daerah seperti pertambangan dan pariwisata.
Akhirnya, generasi muda kaum gipsi laut mulai meninggalkan tradisinya. Adanya tempat tinggal tetap dan kemajuan teknologi juga memungkinkan mereka untuk mencari alternatif penghidupan selain dari laut.
Demi meredam laju perubahan tersebut, pemerintah pusat dan daerah perlu segera memulai pemetaan partisipatif mengenai kearifan lokal kaum gipsi laut. Program pemberdayaan yang berbasis masyarakat lokal juga perlu direncanakan. Selain itu, regulasi untuk mengakui hak-hak adat serta ruang hidup juga sangat dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan kaum gipsi laut.
Wengky Ariando, PhD Student, Environment Development and Sustainability, Chulalongkorn University dan Dedi Supriadi Adhuri, Peneliti pada Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PMB) – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indonesian Institute of Sciences (LIPI)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.