4 analisis soal ketimpangan riset lingkungan di Indonesia timur yang perlu segera diatasi

Ronny Adolof Buol
Penulis Ronny Adolof Buol
Sampah masih menjadi salah satu masalah penting lingkungan hidup. / Foto: Ronny A. Buol



Penulis: Robby Irfany Maqoma, The Conversation

Menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni, kami merangkum analisis-analisis dari para pakar yang terbit di The Conversation seputar ketimpangan penelitian bertema lingkungan hidup di kawasan Indonesia timur.

Topik ini dipilih karena kawasan Indonesia timur yang membentang dari Papua, kepulauan Maluku, Halmahera, sebagian Sulawesi, hingga Nusa Tenggara, kerap disebut sebagai surga ekosistem dunia.

Misalnya, hutan Papua merupakan salah satu hutan alam terluas di dunia, termasuk juga rawa-rawa yang menyimpan begitu banyak karbon. Ini belum terhitung kawasan laut dan pesisir yang memuat ekosistem karang, mangrove, dan padang lamun. Lanskap ini memperkaya biodiversitas flora dan fauna di kawasan tersebut.

Namun, kondisi ini terancam karena aktivitas manusia. Misalnya, ekspansi perkebunan, perikanan yang tak bertanggung jawab, hingga pencemaran sampah maupun karena perubahan iklim yang menambah tekanan bagi ekosistem di belahan timur Indonesia.

Guna mengatasi berbagai persoalan tersebut, Indonesia membutuhkan langkah yang berbasis bukti ilmiah agar kebijakannya tepat sasaran. Sayangnya, riset yang dilakukan di kawasan Indonesia timur ini masih sangat terbatas – jauh berbeda dengan penelitian di kawasan Indonesia barat.

Sampah plastik

zonautara.com
Sampah plastik di laut.
(Sumber: Shutterstock)

Peneliti sektor kelautan dari Universitas Padjadjaran, Noir Primadona Purba, bersama tim dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia, Universitas Maritim Raja Ali Haji di Kepulauan Riau, dan Mantawatch International – organisasi nirlaba yang berbasis di London, melakukan tinjauan sistematis riset-riset yang dipublikasi di Marine Pollution Journal selama 1986-2018.

Hasilnya, sebagian besar publikasi meneliti sampah plastik di lautan sekitar Jawa dan Bali. Hanya ada lima publikasi seputar hal tersebut. Dua di antaranya pun sudah berumur lebih dari dua dekade.

Sekitar 80% dari penelitian dilakukan di daerah pesisir pantai dan ekosistem laut, sementara 20% lainnya meneliti kolom air. Sebagian besar dari penelitian ini berfokus pada ilmu lingkungan dan manajemen sumber daya alam.

Hanya sedikit penelitian yang fokus pada kesehatan, sosio-ekonomi, teknik, atau kebijakan. Sangat sulit untuk menemukan penelitian yang mempelajari dampak sampah plastik pada manusia. Tim hanya menemukan beberapa makalah penelitian tentang limbah plastik di dalam perut ikan.

Hal ini sangat disayangkan karena keterbatasan penelitian membuat kita tidak tahu banyak bagaimana limbah plastik berdampak pada kehidupan laut di perairan Indonesia, khususnya di Indonesia timur.

Penelitian tentang dampak sampah laut bagi ekosistem perairan juga sangat penting sebagai bahan untuk membuat kebijakan dan aturan perusahaan, pemangku kepentingan, dan pemerintah akan urgensi untuk membebaskan laut dari sampah plastik dan turunannya.

Konservasi Satwa

zonautara.com
Foto landak semut spesies Achyglossus aculeatus. Simon Grove/iNaturalist.

Analisis selanjutnya berasal dari kandidat doktor dari University of Kent, Ardiantiono. Bersama rekannya, Irene Margareth Romaria Pinondang, Ardian mengulas lebih dari 300 publikasi ilmiah dengan topik populasi kelompok mamalia darat berukuran sedang dan besar (berat badan >1 kg), mulai dari musang hingga gajah.

Hasilnya (yang belum dipublikasi karena masih dalam tahap penulisan), mereka mendapati sebagian besar publikasi satwa di Indonesia mengulas spesies di kawasan Indonesia bagian barat.

Informasi populasi mamalia yang berada di bagian tengah dan timur Indonesia masih terbatas. Misalnya, tidak ada satupun publikasi mengenai populasi tiga spesies landak semut atau ekidna : Tachyglossus aculeatus, Zaglossus attenboroughi, dan Zaglossus bartoni. Padahal, sebagian spesies ini merupakan satwa endemik pulau Papua.

Contoh lainnya adalah kuskus talaud, satwa asli Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, yang berstatus kritis. Satwa ini hanya tercatat di satu publikasi yang memuat informasi kepadatan dan sebarannya.

Pemerintah semestinya dapat memperkuat upaya konservasi dengan data satwa yang memadai di seluruh kawasan. Kerja sama perlu dibangun lebih erat dengan akademisi, pegiat konservasi, dan masyarakat setempat untuk memperkuat basis data satwa di Indonesia.

Riset ini diperlukan untuk mengetahui apa saja ancaman bagi populasi satwa di tanah air, ataupun melihat satwa yang paling terancam. Data yang kuat juga dibutuhkan agar upaya konservasi tepat sasaran, demi memperlambat dan menghentikan laju kepunahan satwa.

Spesies tumbuhan di Wallacea

zonautara.com
Pohon Leda (Eucalyptus deglupta) di kawasan Hutan Lindung Wakonti, Baubau, Sulawesi Tenggara.
(Sumber: Jojon/Antara)

Bukan hanya soal satwa, kesenjangan juga terjadi dalam penelitian seputar tumbuhan di kawasan Indonesia timur, khususnya di Wallacea. Hal ini disinggung dalam analisis dari pakar biologi konservasi asal Universitas Indonesia, Jatna Supriatna.

Wallacea adalah zona transisi antara daerah biogeografis Indo-Malaya Raya and Australasia. Jutaan tahun berada dalam relatif isolasi menghasilkan fauna endemik yang luar biasa untuk berkembang di sini.

Kawasan ini mencakup Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, berbagai pulau kecil dan sedang di timur Sulawesi dan pulau-pulau “Busur Banda”, serta pulau-pulau Sunda Kecil atau Nusa Tenggara, di selatan Sulawesi dan Kepulauan Maluku.

Nah, Jatna menyatakan bahwa tanaman di kawasan Wallacea tidak begitu dikenal seperti tetangga-tetangganya. Spesimen botani yang dikumpulkan di daerah ini lebih sedikit dibandingkan pulau-pulau besar lain di Indonesia.

Padahal, kawasan ini terancam karena Hutan-hutan dibabat untuk pertanian, hutan produksi kayu, dan skema pemindahan penduduk yang menempatkan ratusan ribu orang dari daerah padat penduduk Jawa ke pulau-pulau lain yang tidak begitu padat (dan kurang produktif).

Ini semua telah mengurangi habitat hutan, terutama di dataran rendah, dan mengakibatkan penurunan populasi spesies hutan secara dramatis dan parah (beberapa spesies penurunannya sampai 90%).

Bakteri laut Indonesia timur

Meski mengklaim sebagai negeri maritim, Indonesia belum banyak melakukan penelitian di laut Indonesia timur, khususnya laut Banda – laut dalam yang menjorok hingga 7 km ke dasar laut.

Kepada The Conversation – dalam podcast Sains Sekitar Kita – peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional, Yosmina Tapilatu menyayangkan hal tersebut. Berbasiskan risetnya yang dipublikasi pada 2018, Yosmina menuturkan sejak tujuh dekade silam, hanya ada delapan publikasi yang menyorot bakteri laut di Laut Banda dan Teluk Ambon.

Ini berbanding terbalik dengan riset topik serupa di perairan Indonesia lainnya, mencapai 27 artikel sejak 1970. Itu membuktikan bahwa eksplorasi bakteri laut di kawasan Indonesia timur belum ada apa-apanya dibandingkan dengan bagian barat.

Padahal, pengetahuan tentang bakteri laut juga penting untuk mengetahui dinamika di perairan, serta cara terbaik untuk upaya pelestariannya. Bakteri laut juga berpotensi besar untuk dimanfaatkan bagi industri mulai dari sektor pakan, pangan, hingga farmasi.

Guna mengatasi ketimpangan tersebut, Yosmiana mengatakan para akademisi perlu dukungan negara. Mereka membutuhkan kapal riset, laboratorium mikrobiologi, tenaga peneliti, dan tentu saja dana riset yang besar.The Conversation

Robby Irfany Maqoma, Editor Lingkungan, The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
Follow:
Pemulung informasi dan penyuka fotografi
Leave a comment
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com